Sejatinya kita ini maling?

28 Feb 2013 | Cetusan, Indonesia

Di sebuah tempat tak jauh dari tempatku tinggal, ada gerai kecil menjual aneka macam penganan dalam kemasan seperti chips, chocolate dan aneka macam permen lainnya. Uniknya, gerai tersebut tak dijaga sama sekali oleh manusia. Hanya ada kotak karton berisi penganan-penganan itu yang dibiarkan terbuka serta sebuah boks berisi uang yang meski di-seal dengan plastik pengunci, tapi namanya juga plastik, kena pisau juga pasti robek.

Keberadaan gerai itu sendiri sebenarnya lebih ditujukan untuk pengumpulan dana ‘perbaikan hidup’ anjing-anjing pemandu yang kerap digunakan untuk membantu para penyandang tuna netra di sini. Harga barang dibuat sedikit lebih mahal dan dari gap keuntungan itulah sumbangan diambil lalu disalurkan.

“…pada dasarnya kita adalah maling, tapi sikon membuat kita menjadi seolah tampak baik?”

Cara belinya pun simple. Kita masukkan uang (coins maupun notes) ke dalam kotak lalu kita ambil apa yang kita mau seharga dengan apa yang telah kita bayarkan. Tak ada yang melihat dan menegur kalau kita akhirnya mengambil barang lebih banyak dari yang kita bayarkan atau sebaliknya, barangkali hanya Tuhan dan wajah-wajah anjing yang ditampilkan di gerai itu yang mencatat ketika kita berbuat kebajikan dengan memasukkan uang tanpa mengambil barang…

Semua memang bicara soal kejujuran, sesuatu yang barangkali selama kita belum bisa menemukan cara membaca pikiran dan hati orang, hal itu akan menjadi issue utama dalam kita berinteraksi dengan orang lain untuk selamanya.

blog_gerai

Aku sendiri terbilang cukup sering membeli penganan di situ.
Beberapa waktu lalu, ketika hendak beli chips dalam kemasan di sana, tak seperti biasanya, setelah memasukkan uang dan mengambil chips aku terdiam di depannya. Tiba-tiba aku berpikir oh, betapa baiknya aku ini; berlaku jujur bahkan ketika tak ada orang lain yang melihat, malah kadang-kadang menyumbang dengan cara meninggalkan uang lebih ke dalam kotaknya. Tapi sejurus kemudian aku berpikir, akankah aku akan tetap sebaik ini selamanya? Apa yang akan terjadi ketika misalnya aku (amit-amit sih) tak punya uang sama sekali sementara perut terasa sangat lapar dan aku harus melewati gerai yang begitu menggoda tanpa pelindung itu?

Tapi kalau hal itu benar-benar terjadi, barangkali awalnya aku akan tetap baik dengan mengingat segala kebaikan yang selama ini telah kulakukan dan melihat foto wajah-wajah anjing yang innocent di permukaan kotak itu. Pertahananku juga pasti lebih kuat lagi karena aku takut dosa dan aku beragama! Agama yang kuanut dan kuagung-agungkan, pantang menjadikanku penganut yang tercela dengan menjadikan dirinya maling hanya gara-gara lapar dan tak punya uang.

Tapi sejatinya ke-hanya-an pada perut lapar dan tak punya uang itu adalah dinamit yang siap meledak! Ketika semuanya semakin tak tertahankan, aku tak bisa menjamin diriku sendiri akan selamanya menjadi baik! Sebaliknya aku akan semakin mudah menjadi maling dengan begitu banyak pemakluman diri semisal, “Ah, nggak apa-apa.. sesekali nggak bayar tak mengapa toh kita sudah sering bayar! Nyumbang malah!” Atau yang lain lagi, “Tenang… tenanglah jiwaku! Nanti ketika kita punya uang, kita bayar semuanya!” dan yang lebih parah lagi, “Doooh.. jangan dipikirin! Dosa orang lain ada banyak yang lebih besar daripada kita yang harus nyolong penganan ini!”

Dan itu barulah awal-mula. Manusia adalah makhluk yang cerdas dalam hal menerapkan satu pola pada satu kejadian ke kejadian yang lainnya. Jadi, ketika aku sudah semakin ahli mempelajari pola mencuri pada hal-hal kecil seperti itu, mencuri hal-hal yang besar hanyalah perkara waktu dan pengalaman alias jam terbang! Satu hal lagi, semua bergantung pada situasi dan kondisi alias sikon dan sayangnya, setan, anggaplah ia adalah makhluk yang paling bersalah atas semua peredaran hawa nafsu termasuk nafsu maling ini, tahu betul bahwa manusia adalah makhluk yang meski memiliki motivasi begitu kuat tapi ia hanya terdiri dari daging, darah dan air… sosok yang lemah apalagi ketika sikon mendukung untuk pelemahannya!

Jadi kalau hari-hari ini kita melihat ada begitu banyak petinggi yang terseret dalam arus korupsi di Tanah Air, kita memang patut menyudutkannya terutama sebagai orang yang tak bisa menahan hawa nafsu untuk mencuri dan kebetulan yang dicuri adalah uang kalian; rakyat yang berharap begitu banyak kepadanya.

Tapi di luar itu semua, bukannya aku ingin membenarkan tindakannya, sadarilah ketika kamu berada dalam posisinya, ketika sikon mengijinkanmu untuk melakukan apa saja atas dasar apa kamu bisa bilang bahwa kamu tak akan seperti dia?

Atau jangan-jangan, kita sebenarnya telah sama seperti para koruptor itu, hanya bedanya kita mencuri hal-hal yang kecil yang tak diekspos media sementara mereka menjadi bulan-bulanan karena mencuri hal yang besar?

Pada dasarnya kita memang makhluk baik, tapi ada kalanya sikon membuat kita lalai dan menjadi maling. Setujukah kamu denganku? Tidak? Bagaimana kalau kubilang pada dasarnya kita adalah maling, tapi sikon membuat kita menjadi seolah tampak baik? Semoga kalian tak menjadi lebih tak setuju lagi!

Sebarluaskan!

9 Komentar

  1. Jadi inget jaman di Driyarkara dulu. Model gini juga. Bedanya yg dijual teh botol, lemper, bakwan, risol dan kroni2nya. Waktu pertama liat saya kaget nyaris nggak percaya. Dan pikiran pertama yang terlintas adalah, kl gak ada orang di sekeliling saya, masihkah saya akan jujur? Berarti dr cara awal berpikir saja, sejatinya saya juga maling. Doh…

    Balas
  2. Jadi ingat dengan rekan di kantor yang gak malu menerima hadiah dari vendor, padahal jelas dilarang oleh kantor karena itu sama dengan gratifikasi. Menurutku, saat perut sudah bicara, manusia akan mendahulukan perutnya…

    Balas
  3. selama kita sendiri masih rakus–atau setidaknya tidak bisa menahan diri atas kerakusan yang mengakar dalam diri kita–maka sebetulnya kita tidak ada bedanya dengan para koruptor yang sering diejek tersebut. menurutku begitu.

    mungkin yang diperlukan adalah jiwa/hati yang selalu merasa cukup. bersyukur. maka kerakusan itu perlahan sirna. dan ketika kerakusan itu sirna, apakah kita masih sempat menunjuk orang lain lebih buruk dari kita? bagiku, itu perjalanan dan perjuangan yang panjang–setiap waktu, setiap saat. senantiasa meneliti batin, mungkin itu kuncinya.

    Balas
  4. wah… pola2 sprt ini yg jarang banget skr d temui, skr mah polany lebih ke :ada kesempatan samberr…

    Balas
  5. Maaf don, kali ini diriku tidak setuju.. Sejatinya tidak semua orang itu maling. Banyak orang orang yang berprinsip dan mempertahankan prinsipnya walaupun harus tinggal di ‘rumah’ orang yang isinya koruptor.

    Jujur adalah masalah prinsipil.. mau di pegang teguh atau tidak tergantung orang yang menjalaninya.

    Di australia, masih ada pengemis yang tidak punya uang, tp tidak akan mencuri makanan seperti itu.

    Balas
  6. di sini ada juga seperti itu, meskipun bukan kotak amal, tapi benar-benar jualan.
    Dan cukup banyak di sekitarku. Kebanyakan hasil panen kebunnya.
    Dan… ntah aku ngga pernha berpikiran sepertimu Don, bahwa kalau tidak ada orang bisa saja aku ambil lebih tanpa bayar. Mungkin karena aku sejak kecil dididik keras untuk taat pada peraturan. Kalau harus membayar sekian ya harus pas, atau lebih. Kalau tidak ada uang ya tidak beli.

    Sekarang ilustrasiku : Ada jalan satu arah, kamu harus berbelok kiri tapi kelewatan 5 meter. Apakah kamu akan :
    1. Mundur 5 meter (toh tidak ada mobil di belakangmu) dan belok kiri …atau
    2. Teruskan jalan, berputar dan kembali lagi masuk jalan itu dengan resiko butuh waktu cukup lama untuk kembali ke jalan itu….

    Dan terus terang disiplin orangtuaku memaksaku mengambil langkah nomor 2, dan untunglah aku menikah dengan orang Jepang yang juga mengambil langkah nomor 2 :)
    Kebiasaan itu sulit untuk hilang, tapi sekali mencoba menghilangkannya memang ada kemungkinan untuk lenyap, setelah beberapa waktu yang tidak bisa diukur juga.

    Terbiasalah menaati peraturan, karena bagiku, agama sebetulnya juga (salah satu) peraturan.

    Balas
  7. Suka dengan komentar mbak em. orang tua dan pergaulan memang akar dari pemikiran dan kebiasaan..

    Balas
  8. Untuk para “pencuri” (baca: koruptor) kelas kakap itu, saya malah kadang berpikir, setelah sekian lama mengapa koruptor masih ada bahkan mungkin semakin banyak, jangan-jangan ada yang salah dengan diri kita (rakyat). Bukankah para pejabat itu juga berasal dari rakyat.

    Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.