Sejak Kapan Sebaiknya Anak Bersekolah ?

20 Agu 2008 | Cetusan

Setujukah kamu dengan pendidikan atau.. errrr program bermain atau apalah namanya bagi anak di usia balita, bahkan seperti yang kalian lihat pada gambar di atas, usia 1 – 2 tahun?

Jangan terburu-buru menjawab setuju atau tidak dulu karena aku pun semalam ketika memotret iklan ini di muka sekolahnya, pun terburu-buru secara emosional menjawab tidak setuju.
Kenapa tidak setuju, karena aku pikir bahwa ini adalah pemborosan, praktik kapitalisme pendidikan yang korbannya adalah anak kecil bahkan masih sangat kecil.
Anak-anak yang daya ingatnya pun belum terbentuk sempurna, istilah komputer sedang formatting dan installing, seharusnya masih butuh sentuhan-sentuhan awal dari ibu, ayah,
kakak, adik dan segenap anggota keluarga besar lainnya untuk me-recognize siapa orang-orang dekatnya,
kenapa justru harus “disekolahkan” demi “masa depan” yang sebenarnya masih sangat jauh berada di depan sana ?

Akan tetapi, sesampainya di rumah, setelah emosi tak lagi meninggi, aku jadi bisa berpikir lebih tenang dan tak melulu menyalahkan tanpa berpikir dari banyak sisi terlebih dahulu.
Bagiku, pengadaan program bermain bersama bagi anak-anak usia dini tidak bisa disalahkan begitu saja.
Pola pikirku simple, ia tak kan pernah ada jika tak ada yang meminati, bukan ?
Seperti halnya kita tahu pisang goreng-nya Mbak Yu Mar yang ada di dekat jalan depan situ tetap laku meski glepung-nya segede batu bara karena memang ada yang beli setiap sore.

Lalu kenapa program bermain seperti itu laku?
Karena menawarkan solusi! Menawarkan kebaikan dan pemecahan dari kebuntuan masalah.

Masalah apa?
Masalah bagaimana mendidik anak usia dini. Tak semuanya memang, akan tetapi kebanyakan para ibu dari anak-anak itu pun juga turut bekerja seperti suaminya, membanting tulang
untuk mencukupi susu dan perlengkapan bayi yang juga semangkin hari semangkin melambung tinggi harganya ini.
Sementara kalau ia harus menitipkan anaknya pada pembantu, waduh… jangan-jangan nanti malah bayi tersebut jadi kurang civilized karena harus bergaul dan diperkenalkan dengan cara-cara
yang mungkin tak sesuai keinginan orangtuanya.
So, program di atas jelas menawarkan solusi ini. Solusi dari kebuntuan-kebuntuan di atas.
Tinggal bayar per bulan ke pihak penyelenggara lalu si ibu dan si bapak pun bisa tenang bekerja karena si kecil sudah berada di tangan yang menurut mereka “benar”.

Apa pelajaran yang kudapat dari semua itu ?
Aku mencoba merenung, susah untuk tidak menyalahkan satu pihak ketimbang pihak lain, tapi bagaimanapun juga, semua ini adalah mata rantai yang masing-masing daripadanya memiliki
keterkaitan dan ikut urun dalam menentukan besar kecilnya permasalahan. Orang tua jelas memegang peranan terpenting tapi yang lebih penting yang harus diketahui,
anak kecil itulah korbannya.

Sebarluaskan!

22 Komentar

  1. Menurut saya, sangat tergantung pada situasinya. Yang jelas pada saat anak masuk kelompok bermain s/d TK, harusnya memang penuh dengan permainan.
    Saya akan cerita pengalaman saya. Saat si sulung balita, saya masih staf (asisten manajer), kebetulan bos baik, jadi saya tak mendapat tugas ke luar kota. Jakarta belum terlalu macet, jadi jam 5 sore sudah di rumah. Saya yang mengajar si sulung bernyanyi, bermain, sambil menghitung dan juga membaca… semua menggunakan permainan. Jadi si sulung langsung masuk TK, dan terus ke SD.
    Anak kedua, pekerjaan saya makin banyak, dan telah punya tanggung jawab besar, kalau soal masalah kepandaian saya tak kawatir karena tahu-tahu si bungsu sudah membaca dan berhitung, diajari oleh kakaknya. Tapi anak bungsuku sulit makan, akhirnya umur 2,5 tahun saya menitipkannya ke TK kecil, karena saat di TK, seminggu dua kali ada makan bersama. Jadi fungsinya benar-benar bermain. Pada umur 4 tahun, karena agak rewel terus (ternyata iri sama kakaknya yang sudah pandai main piano)…akhirnya si bungsu saya kursuskan piano…kakinya belum menjejak tanah kalau lagi duduk…..
    Jadi karena saya sibuk bekerja, anak-anak suka sekolah tapi sambil bermain…. sampai sekarang si bungsu memang rajin, dia hobi tidur di lab, ganti ayahnya yang kelabakan, dan malam-malam jam 1 mesti menjemput ke kampus atau membawakan makanan (sampai sekarang susah makan).
    Saya bukan latar belakang dari psikologi, menurut saya kapan saatnya anak sekolah, adalah sangat tergantung kondisi anak dan orangtuanya masing-masing. Dulu, hari Sabtu Minggu adalah hari, dimana anak-anak bisa bermain dengan ortu, berlarian di rumah, main tebak-tebakan…alhasil rumahnya berantakan, tapi semua happy.

    Balas
  2. .. pemborosan, praktik kapitalisme pendidikan yang korbannya adalah anak kecil bahkan masih sangat kecil

    Sangat menggelitik namun jika konteksnya tentang belajar dan bermain, pendapat saya sama dengan pendapat Ibu Edratna walaupun saya belum punya pengalaman berkeluarga. :D

    Balas
  3. ya don…. masalah spt ini memang dilema buat para org tua yg super sibuk, satu sisi anaknya ingin dapet yg terbaik utk masa depan satu sisi orang tua juga hrs mencukupi kebutuhan si anak sekarang ya kembali ke org tua masing2 lebih bagus sih klo kedua2nya seimbang jadi si anak pun gag tumbuh besar sendirian, gw malah berfikir kadang yg harus belajar bukan cuma si anak kok orang tua juga harus mau belajar malah klo perlu ikut2 kursus tambahan utk org tua jadi kedua2nya saling melengkapi…setojoo ?

    Balas
  4. tambahan ya don… sempet jadi pemikiran gw juga… kok anak2 tk sekarang udh belajar ya hitung2an dan membaca padahal jaman gw TK dulu yg namanya TK ya bener2 main belajar secara alami, jadi kadang gw berfikir apa memasukkan anak2 batita ke sekolah2 mahal memang sebagai tuntutan utk supaya pinter apa krn tuntutan gengsi orang tua ?

    Balas
  5. Makanya… makanya aku kan ndak langsung bilang program bermain seperti itu buruk atau baik.
    Di satu sisi, hal yang dialami Bu Ratna dalam mengasuh putra-putrinya itulah yang menjadi bahan petimbanganku untuk melihat hal ini dari cover both side lah.
    Getuuu!

    Balas
  6. ndak usah sekolah Mas..
    nunggu anaknya minta sendiri..

    Balas
  7. kalau perenungan saya (yang ingin segera punya anak dan sedang bekerja) itung-itungannya adalah opportunity cost seorang ibu bekerja dengan kualitas dan kedekatan emosional, seburuk apapun cara konvensional (mendidik sendiri) hasilnya terutama hubungan anak dan ortunya akan berbeda. Kalau masih ragu juga dengan pendapat itu, kita coba itung-itungan lainnya teman2 saya yang baru melahirkan mengeluarkan biaya untuk susu, pampers, dan baby sitter per bulannya Rp 2,5 juta sedang yang saya tau penghasilannya sekitar 3,5 juta, dikurang ongkos, nyalon dll tetap nggak ketutup untuk cost waktu pertemuan, ngedongeng dsb. Saya kira gaya hidup kita yang salah kaprah jaman ini, coba deh dihitung-hitung lagi…kalau masalah IQ, pada golden age itu penting juga untuk memberi keseimbangan EQ, SQ AQ dll, jadi nggak cuma punya anak cerdas, mau juga dong punya anak sholeh dan hormat kepada orang tua, yaaa jangan mau instan dong, pendidikan butuh waktu dan energi juga

    Balas
  8. termenung abis, mengingat betapa aku bener bener gak tau kapan anak pertamaku mulai sekolah…., tau tau kok kelas 4 esde.
    ah jadi kangen anak istri..

    Balas
  9. Wah dilema bener don.. disisi lain anak selalu minta untuk sekolah (play group) yg menurutku memang yg diajarkan tidaklah se-menarik dan tidak sedetail kalo kita (orang tua) ajarkan kepada sang anak. Kalo menurutku cuman ada 2 alasan yang bagus untuk menitipkan anak di playgroup tersebut.
    1. Karena kesibukan orang tua, daripada diasuh oleh pembantu yang kebanyakan cuman bisa menyuapin makanan tanpa memberi pelajaran.
    2. Adalah untuk belajar berinteraksi, bersosialisasi dan bermain bersama teman lainya (bagiku ini yg paling penting)
    Selain itu rasanya tidak ada alasan lain bagiku (pribadi) untuk menitipkan anak di playgroup.
    Dan lebih parahnya lagi, biaya playgroup sungguhlah teramat mahal. kalo aku bole katakan, biaya playgroup lebih mahal daripada biaya kuliah. Denagn uang masuk yang mencapai 4-7jt dan bulanan yg berkisar 300 – 500rb bayangkan saja sendiri, misal di playgroup 1 th saja sudah habis berapa uang :) bandingkan dengan kita masuk kuliah dan belajar selama 1 th (bukan univ. fav loh)
    Ahh bener bener dilema bagi sebagian keluarga, apalagi keluarga pas pasan.
    Solusi terbaik menurutku adalah sebisa mungkin orang tua menyempatkan membimbing dan mendidik sendiri anak anaknya selama ada dirumah, dan tidak menyerahkan sepenuhnya kepada pembantu / babysister.
    jadi kapan punya anak Don :D

    Balas
  10. ide deschooling mungkin menarik, tapi ndak diakui pemerintah. jadi?

    Balas
  11. Salam kenal DV
    Sebagai orang yang berkecimpung di dunia pendidikan, saya mengamati banyak pergeseran dan perubahan.
    Sebagai pengalaman, saya adalah produk anak yang disekolahkan ortu pada usia 1,5 tahun. Sekolah saya mengharuskan saya pada usia tersebut menggunakan bahasa Inggris dalam setiap aktivitasnya. Tidak ada perubahan yang berarti sampai saya berusia 15 tahun. Bahkan di kelas 3 SMP (bukan bermaksud sombong) nama saya termasuk 10 Danem tertinggi di propinsi saya.
    Perubahan yang signifikan terjadi pada saat SMA. Saya susah berkonsentrasi dan cara berpikir saya menjadi lambat. Bahkan Danem SMA saya lebih kecil daripada Danem SMP. Menyedihkan. Fokus berpikir saya mulai meningkat lagi saat kuliah.
    Saya berpikir bahwa sekolah dini yang menyebabkan penurunan2 itu.
    Tapi saya mengamati bahwa tidak semua anak mengalami gejala seperti yang dimaksud. Pada anak tertentu, sekolah dini bukan merupakan beban. Sehingga perlu kontrol orang tua untuk memahami pribadi, keinginan dan karakter anak sebelum mengambil keputusan untuk pendidikannya.
    Anak tetap pribadi yang berbeda dengan orang tuanya….Yang unik….yang menarik….
    Maaf DV, komen pertama amatlah panjang…

    Balas
  12. menjamurnya lembaga “Taman Bermain” atau TPA (Tempat Penitipan Anak) memang masih menimbulkan prok-kontra, mas donny. jangankan Taman Bermain, pola pembelajaran di TK aja masih menimbulkan banyak pertanyaan. mereka sering diberikan yang tidak sesuai dg dunianya. calistung, membaca, menulis, dan berhitung seyogyanya baru disajikan di SD. Namun, agaknya kini telah latah. yang repot, seleksi mausk SD pun tak jarang diikuti dg uji calistung. idealnya mereka lebih diakrabkan dg dunia bermain agar mereka lebih siap utk memasuki dunia selanjutnya.

    Balas
  13. @Ray: Punya anak? Heheheh nanti-nanti aja kalau udah punya penghasilan sendiri di Australia, Tuhan pasti tidak akan tinggal diam untuk memberikan anugerah itu :)
    @Ndorokakung: Jadi dilema, Ndoro hehehe
    @Prameswari: Wah akhirnya Anda berkenan urun komen di sini, matursuwun Mbak Nungki :)
    @Yunik: Makanya seperti saya bilang, ini ada mata rantai yang tak bisa dipecah siapa yang salah terbanyak… semua urun salah dan kesalahan termasuk tata matra ekonomi yang sedemikian tak berimbangnya khususnya di negri ini.
    @Angga: Bali bali.. bali wae nang Jogja!

    Balas
  14. Diajari sekolah ket cilik, ben suk pas gedhe le sekolah ra suwi-suwi, hehehehehe
    Ngemeng-ngemeng soal sekolah, kapan situ wisuda?? Hehehehehehehe piss dab

    Balas
  15. Kehidupan adalah sekolah itu sendiri.
    Bahkan sejak usia kanak.

    Balas
  16. periode emas 1-3 tahun memang periode yang menentukan. tapi apakah sudah bisa diinstal pendidikan??
    lha itu tantangan para pendidik. saya calon guru lho.
    pendapat saya. pembelajaran sambil bermain dengan porsi yang tepat tidak ada salahnya.
    yang penting tidak merebut kemerdekaan anak dan merebut waktu bermain anak. karena proses asosiasi dan edukasi juga terjadi pada saat bermain.
    sekarang banyak lembaga bermain sambil belajar. saya pribadi belum tahu apa dan bagaimana cara mengajar precil2 itu.
    nice article..
    nuwun

    Balas
  17. mmmmm… day care kali sebenernya bukan play group. emang cuma buat nitipin anak doankz. ya namanya kebutuhan akan waktu semakin berkembang, ya penitipan anak juga makin laris… nah… susahnya… ntar malah mbak-ibu penitipan lah yang makin akrab dengan si anak. hihihihi
    jangankan si anak jadi anak pembantu, itu kan kasus lama. nah ini kalo si anak makin gaul sama mba2 penitipan makin kacaulah dunia kekekekkekekekeke.

    Balas
  18. Tapi orang tua harus hati-hati. Jangan sembarang masukkan anak kalau mereka tidak profesional.

    Balas
  19. (aduh, ternyata komentar panjang lebar via ponsel waktu itu nggak berhasil termuat ya… ih, sebel!)
    Hai, Mas!
    Seperti yang sudah diulas sama Mas DV sendiri, bahwa hukum ekonomi sangat berlaku di sini. Ada karena diinginkan.
    Kalau menurut saya, sekolah tersebut akan sangat membantu saya kelak kalau sudah berkeluarga. Karena saya bukan perempuan yang bisa setiap saat ada di rumah, demikian pula (mungkin) suami saya. Jadi, daripada saya biarkan dia dengan pembantu atau baby sitter, saya lebih memilih menyekolahkan anak saya …
    Tapi…
    ini bukan untuk lepas tanggung jawab, karena saya musti mencari informasi sebanyak-banyaknya soal sekolah yang akan menjadi tempat belajar anak saya. Yang menjadi pertimbangan pastinya jarak tempuh yang tidak terlalu jauh, suasana belajar yang nyaman, dan sistem ppemberian edukasi yang mengutamakan bermain dan bersosialisasi untuk batita saya…
    Dan.. ya… satu lagi… yang harganya nggak terlalu mahal!! :D
    Kira2…. ada nggak ya sekolah yang seperti itu…. Apalagi belum jelas juga sampai sekarang kapan saya bisa nikah dan punya anak…hihihi

    Balas
    • Hmm, Lala thanks atas komentarmu.
      Kalau saya, semoga diperkenankan Tuhan, memilih untuk bekerja lebih keras dan meminta istri tinggal di rumah saja untuk merawat batita ketimbang menyerahkannya ke baby sitter dan sekolah seperti itu.
      Bagiku, perkaranya bukan soal benar dan salah tapi baik dan yang terbaik, kok. Sekolah itu mungkin BAIK, tapi kalau ada yang TERBAIK yaitu dididik langsung oleh ibunya, kenapa kita nggak ngejar ke sana ? Hehehe
      Ayo, buruan nikah.. hmm sama orang Rusia itu aja! Huahuahuahua….

      Balas
  20. Menurut saya, tergantung kebutuhan si anak sendiri. Bila ditawarin untuk play group mau dan si anak ternyata enjoy di situ..ya lanjutin aja. Dan dimasa usia pengenalan tsb (2-3 th) jg tlalu di push untuk brkt sekolah, krn anak usia segitu msh angin2an..kadang semangat brkt sekolah, kadang males banget bangun tidur..tp, klo malesnya gara2 hy mo nonton kartun di tv, mending ajak suruh brkt sekolah dech..

    Balas
  21. menurut saya bahwa anak umur 1-3 tahun itu membutuhkan perhatian dari seorang sang ibunya…… bagaimana perasaan kita kalau kita membiarkan anak tersebut………..??

    Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.