Jokowi-Kalla (aku lebih senang menyebut demikian ketimbang Jokowi-JK -red) perlu 42 halaman meski kemudian dipangkas?menjadi 12 untuk menjabarkan visi dan misi mereka jika berhasil memenangkan Pemilu Presiden, 9 Juli 2014 mendatang sedangkan Prabowo-Hatta (setelah kupikir-pikir, aku lebih senang menyebut demikian ketimbang PRAHARA -red) percaya diri dengan sembilan halaman saja.
Pertanyaannya, keduanya hanya punya waktu lima tahun memerintah dan kalau ada umur dan dukungan, lima tahun yang kedua setelah yang pertama berakhir, 2019.
Berapa persen yang akan berhasil mereka implementasikan hingga Oktober 2019? Atau jangan-jangan mereka tak mengerjakan sama sekali sejak terpilih per Oktober 2014 mendatang?
Entahlah tapi yang pasti gara-gara ini aku jadi teringat kejadian lucu di masa kecilku dulu.
Kalau tak salah ingat sih medio 80-an karena waktu itu Simbah Buyutku masih ada dan beberapa om serta tanteku masih belum lulus kuliah bahkan ada yang masih duduk di bangku SMA.
Menghabiskan waktu di suatu sore, seperti biasa setelah mengudap kacang dan pisang goreng ditemani teh hangat, kami serumah berkerumun memandangi kotak kecil bernama televisi.
Tiba-tiba, Simbah Buyut memanggilku, “En?”
Nah, sebentar.
Kalian jangan kaget kenapa aku dipanggil ?En?.
Jadi waktu Simbah Buyut mulai pikun. Aku yang adalah buyut pertamanya selalu dipanggil Endar, cucu pertamanya yang biasa kupanggil Pakde Endar. Jadi dalam alam pikir simbah buyutku, aku adalah Pakdhe Endar barangkali karena sama-sama ?pertama? makanya dia pun memanggilku, En.
“Nggih, Mbah?”
“Mbok tulung dirindhike suara tivine.. kok banter bianget.. mbribeni tangga!” (Tolong kecilin volume televisinya? Keras sekali takutnya mengganggu tetangga -jw).
Aku lalu maju ke arah tv, karena waktu itu belum kenal istilah remote control atau setidaknya barangkali sudah ada tapi kami belum mampu membelinya, mengecilkan suaranya sedikit.
Sepuluh menit berlalu, Simbah berucap lagi.
“Sus?” kali ini dia memanggil Susanna, tanteku yang waktu itu masih kuliah dan sedang mudik ke Klaten.
“Nggih, Mbah? pripun?” (Ya Mbah, gimana? -jw)
“Kuwi Endar nyilike tivi kok kurang cilik.. tulung cilikne Ndhuk!” (Endar kusuruh ngecilin volume kok kurang kecil? tolong kecilin ya -jw)
“Oh, nggih?”
Lalu Mbak ?Us (aku terlanjur biasa memanggilnya demikian) mendekati televisi, meletakkan jarinya ke pengatur suara lalu berujar, “Pun? Sak menten?” (Udah, segini? -jw)
“Nah saiki wes cilik! Nuwun!” (Nah, sekarang sudah kecil! Makasih! -jw)
Mbak Us lalu cengar-cengir. Dia sama sekali nggak mengecilkan volume, ia hanya menempelkan jari di atas putaran pengatur suara lalu bertanya seolah ia telah mengecilkan suara.
* * *
Bagi seorang pemimpin, kunci untuk mendapatkan hati rakyat adalah bekerja sesuai jalur yang telah ditetapkan sendiri.
Tapi lebih daripada itu, komunikasi dan media adalah daya yang menggerakkan tangan untuk memasukkan kunci tadi ke lubangnya sehingga pintu terbuka.
Sehebat-hebatnya presiden nanti yang terpilih itu bekerja, kalau ia tak menggunakan komunikasi dan media yang baik, semuanya akan tampak biasa saja.
Demikian juga sebaliknya, semalas-malasnya presiden nanti yang terpilih, kalau ia menggunakan jalur komunikasi dan media secara brilian, ia akan tampak telah bekerja atau setidaknya ketika ia tak mampu karena malas, ia bisa menciptakan excuse (alasan) tentang kemalasannya itu yang magically bisa diterima oleh rakyatnya, kamu dan aku.. kita!
Perbedaanku denga tanteku tadi pun demikian.
Aku yang waktu itu masih polos, ketika diminta simbah mengecilkan volume, ya kukecilkan karena itu memang yang diminta.
Tapi aku lupa bertanya apakah Simbah sudah happy dengan pengecilan volume yang ?segitu? sementara tanteku pintar. Dia bertanya kepada simbah, “Segini?” meskipun sebenarnya ia tak melakukan kehendak simbahku tadi.
Siapapun yang terpilih nanti pada pemilihan 9 Juli 2014, harusnya ia mengadaptasi hal-hal baik dariku dan tanteku dan membuang yang kurang baik. Bekerjalah selalu tapi jangan lupa bertanya kepada rakyat tentang hasil kerja kita “Puas atau masih belum?” Jangan diam saja ketika berhasil tapi juga jangan pura-pura bekerja padahal diam saja.
Simak link untuk membaca visi misi Capres Jokowi di sini, dan lawannya di sini.
Gambar diambil dari Sahabat Prabowo dan Duetrakyat.com
Ini bukan semacam pencitraan kan mas?
Bukan…
Di lingkungan kerjaku, ini disebut dengan akuntabilitas. Suatu pekerjaan/tugas dianggap selesai jika ada hasil dan pelaporan.
Dimana-mana harusnya seperti itu.. bisa dihitung dan ada parameter yang jelas untuk menghitungnya :)
Analogi yang dipagit dari pengalaman masa kecil sungguh mengena, MasDhonnn…
Tergelitiik juga untukku berkomentar :)
Kalo kawan Prof mengistilahkan akuntabilitas, dalam service di perhotelan ini disebut “follow through”
Artinya, setelah ada follow up (seperti yang dilakukan MasDhon -mengecilkan volume TV- itu), tetap butuh follow through sebagaimana yang dilakukan Tante Sus itu jugak… :)
Wah, komentarmu berbobot karena memperkaya konten dan memperkaya khasanah yang membaca. Thanks, Mas Tri…