Semalam aku telah melakukan sesuatu yang beberapa saat sesudahnya baru kusadari bahwa itu adalah satu kesalahan yang sangat hmmm.. stereotipikal.
Sepulang dari kantor, semalam aku pergi ke gym untuk kembali beraktifitas sport di sana.
Well, nyaris sebulan ditinggal pergi ke Sydney, toh semuanya tampak tak begitu berubah. Trainers di sana ya masih ramah-ramah, mereka semua malah mengucapkan selamat atas pernikahan yang baru saja kulalui.
Setelah sekitar satu jam beraktivitas, aku pikir sekarang saatnya mandi karena masih banyak hal lain yang harus kulakukan di luar gym. Mengambil handuk besar dan aku segera bergegas ke kamar mandi yang biasa kupakai. Tapi alangkah terkejutnya ketika tiba-tiba seorang trainer melarang aku untuk menggunakan kamar mandi tersebut.
“Sekarang kamar mandinya dipisah, Mas. Yang ini buat cewek, Mas Donny ke sebelah sana saja.”
Aku pun terdiam sejenak.
Sebenarnya aku tak terlalu suka untuk mandi di bilik yang ditunjuknya karena suatu hal, bilik tersebut tampak menyeramkan kalau malam (dan, Aku memang penakut dalam keadaan-keadaan tertentu).
Dengan berang akupun menghapus keakraban yang baru saja tercipta.
“Ohhh… kenapa gitu? Kenapa kamar mandi cowok cuma satu dan cewek ada dua bilik?”
“Ya…. kami juga ndak tahu Mas. Ini perintah dari atasan.”
“Hmmm… OK”
“Saya tahu Mas Donny nggak suk..”
“Oh nggak papa! Jangan takut! Saya toh orangnya bisa ngikutin aturan yang dibuat!”
“Aturan kan memang ada untuk diikuti, Mas!”
Akupun benar-benar berang dengan omongan trainer yang sebenarnya cukup kukenal dekat itu.
“Iya! Saya sudah sangat tahu! Kamu ndak usah ngomong begitu. Saya ndak keberatan kok kalau memang aturannya begitu! Tapi… tapi apa yakin kamu kalau semua orang di sini seperti saya, mau mengikuti aturan sebagaimana mestinya?”
Trainer itu terdiam. Aku tahu benar di club itu ada beberapa senior yang sangat disegani dan bahkan terkadang terkesan diberikan banyak kemudahan dan pengecualian ketika sebuah aturan diterapkan pada kebanyakan anggota.
“Saya akan lihat nanti, Mbak! Kalau sampai trainer-trainer di sini berani konsisten saya salut! Tapi kalau saya lihat ada orang yang melanggar aturan ini dan didiamkan saja, saya protes!”
Trainer itu terdiam lagi. Saya tahu saya berada di atas angin.
“Ya… memang berat Mas kalau kita harus mengikuti aturann baru!”
Tiba-tiba telunjuk saya pun kuarahkan padanya. “Dan yang terberat adalah di tanganmu, karena kamu yang bikin aturan! Ingat itu!”
Lalu kubiarkannya sendiri dan bergegas mandi.
Keesokan harinya, aku hanya bisa geleng-geleng kepala mengingat semua itu.
Aku merasa betapa aku telah begitu dalam larut dalam satu cara penyelesaian masalah yang stereotipikal.
Maksudku, seperti sudah ada pattern dalam benak bahwa ketika aku menghadapi masalah dan keadaan seperti itu maka cara menyikapinya adalah sedemikian itu pula.
Tiba-tiba aku jadi ingat Romo Yudho, romo pamong di SMA Kolese De Britto dulu.
13 tahun lalu, ia pernah berbicara ke orangtuaku yang terpaksa harus dipanggil di sekolah berkait ulahku yang membuatku di skors (dilarang masuk) dari sekolah untuk beberapa minggu. Ia bilang begini “Tau, Pak!? Donny itu tipikal pendendam! Dia selalu mencari dan menanti kelemahan dari orang yang telah menyakitinya. Ketika kelemahan itu tiba, dia akan langsung menghajarnya balik tanpa ampun!”
Ah, betapa aku pengen ketemu si Romo itu lagi…
Cuk!
ampuuun mas…..
aku pernah dikasih tau orang kaya gini: kita kadang secara nggak sadar belajar sesuatu dan melekatkannya pada diri kita. kadang sesuatu itu baik, kadang buruk. masalahnya emang pada “kesadaran” sih, don. aku sendiri sering merasa nggak sadar telah melakukan kesalahan…. so, be aware is important matter! ngono sih mnrtku hehehe
Ngono yo ngono…ning ojo ngono don..
walah, Romo Yudho di Loyola mas sekarang. Sempet ngrasake dia jadi kepala sekolah selama 2 tahun di Loyola. Sekarang masih di Loyola tuh.