Sate Klathak, Gojek dan Bentor

28 Jun 2016 | Cetusan

Hidup itu perlu coba-coba asal tahu resikonya. Tak mencoba, tak kan tahu rasanya.

Selama pulang ke Indonesia, 10 – 17 Juni 2016 kemarin aku mencoba tiga hal yang belum pernah kurasakan sebelumnya.

BeNtor

BeNtor alias becak montor (entah kenapa orang Jawa lebih suka menyebut montor ketimbang motor!)

Hari Rabu sore (15/06), dari Ambarrukmo Plaza ke kantor Citraweb Nusa Infomedia di Papringan, aku memilih menggunakan BeNtor ketimbang taksi. Alasannya? Selain murah juga karena aku belum pernah mencoba.

Si pengendara (aku menyebut demikian bukan penarik becak) menyebut angka 25 ribu rupiah, ya ku-ayo-in aja!

Naik BeNtor lebih cepat dari becak karena si pengendara tinggal nge-gas lalu becak jalan begitu saja.

Tapi sebagai orang yang mementingkan ?rasa?, aku kehilangan banyak moment yang biasa kudapat ketika aku naik becak biasa.

Bentor

BeNtor. Sumber: http://www.500px.org

Moment mendengar suara dengusan nafas Tukang Becak yang capek menarik becak tidak ada.

Moment merasakan gerak becak yang tak beraturan lajunya juga hilang. Gerak tak beraturan yang didapat ketika naik becak muncul karena kayuhan yang juga kadang tak stabil terkait kontur jalan yang dilaluinya.

Sebaliknya, naik BeNtor, ketika masuk ke perkampungan yang memiliki polisi tidur rasanya lebih tidak menyenangkan, tremornya ketimbang becak biasa.

Hal yang lebih jadi bahan pikiranku adalah, aku tak tahu apakah secara undang-undang, BeNtor sudah diklasifikasikan sebagai jenis kendaraan tertentu dan apakah si pengendara sudah pula menempuh ujian SIM yang kupikir beda kelasnya dengan SIM C maupun SIM A.

(Rekaman di bawah kubuat saat masuk ke kawasan Papringan. Bangunan sebelah kiri adalah asrama Ampel 2, tempat tinggalku selama tiga tahun waktu SMA di De Britto dulu, 1993 – 1996)

Sate Klathak

Aku penasaran makan sate klathak! Bukan karena ia ada di AADC2 tapi jauh sebelum itu, di Facebook bersliweran istilah ?Klathak? atau ?ngLathak? sejak itu pula aku ingin mencoba.

Demi menuntaskan rasa penasaran, akupun menyantapnya bersama Kunto dan Teddy pada Selasa malam (14/06) silam di Jalan Imogiri.

Setelah makan beberapa tusuk, aku kehilangan selera meski aku berterima kasih rasa penasaranku hilang.

Rasanya tak ada yang istimewa. Hambar dan asin saja.

Sate Klathak

Sate Klathak. Sumber: http://www.maksindo.com

Aku lebih bisa menikmati sate kambing ala Samirono lengkap dengan sambal dan bawang merah yang dipotong-potong di atasnya ketimbang Sate Klathak.

Aku tak ingin makan Sate Klathak lagi…

Gojek

Ini mungkin yang paling cihuy!

Sebenarnya tak direncanakan.
Setelah meeting dengan para pengurus Paguyuban Alumni SMA Kolese De Britto Yogyakarta, aku harus menuju ke Djendelo Kafe yang ada di ujung Jl Gejayan demi ketemuan dengan Fr Ardi Handojoseno, SJ, seorang pastor yang pernah tinggal di Sydney dan kukenal cukup dekat.

Gojek

Gojek. Sumber: http://www.rezakurniawan.co

Tapi aku bingung mau naik apa?
Taksi sudah dipanggil tapi lama tak datang, akhirnya aku jalan kaki berharap ada becak atau? BeNtor.

Hingga di sebuah perempatan ada sebuah BeNtor tapi tak berpengendara. Aku bertanya pada seorang pemuda yang menjaga warung makan bebek goreng rica-rica di dekatnya.

?Mas, sing numpaki becake pundi? (Mas, pengendara becaknya dimana ya?)?

?Wah, nggak tahu Om!?
Entah, sejak aku pindah dari Indonesia, acap kali setiap ngajak omong orang pakai Bahasa Jawa, mereka menjawab pakai Bahasa Indonesia.

Lalu mereka berusaha membantuku mencarikan si pengendara tapi tak bertemu juga. Hingga akhirnya, ?Atau mau kupanggilkan Gojek aja??

?Ya, boleh!? Duh aku jadi ikut-ikutan berbahasa Indonesia!

?Lho, Om-e gak punya aplikasi Gojeknya pho??
Aku menggeleng. Mungkin menurut mereka aneh hari gini gak install aplikasi Gojek tapi aku tak sedang dalam mood ingin menjelaskan.

Ia lantas memanggil gojek dan bilang, ?Lima menit lagi sampai sini gojeknya, Om!?
?Maturnuwun!?

Beneran! Lima menit kemudian gojek pun datang. Amajinggg! Aku segera pakai helm dan membonceng. Sayang kejadiannya malam, kalau siang tentu sudah selfie sana-sini!

Tapi ada yang lucu, sekitar lima ratus meter dari Djendelo, supir Gojek tiba-tiba bilang, ?Mas, ini di aplikasiku bilang kok kita sudah sampai tapi kok belum ya??

?Waduh, lha mbuh Pak? Memang masih jauh, agak ke utara sana..?
?Oh ya udah, gak papa??

Begitu sampai aku cukup membayar 15 ribu perak saja! Gilingan! Murah banget!
Karena kasihan, kuberi dia tambahan lima ribu karena seharusnya aku berhenti saat aplikasi yang ia pakai menunjukkan aku harus berhenti, 500 meter arah selatan Djendelo.

Puas naik Gojek? Puas banget!
Next time kalau aku harus ke Jogja sendirian mungkin ketimbang naik BeNtor, aku akan memilih Gojek saja.

Sebarluaskan!

2 Komentar

  1. Aku malah urung pernah nglathak… tur yo ra pingin

    Balas
  2. Sate klathak yo enak tho mas … Ning yo kalau setelan lidahnya pas dgn yg samirono, berarti lidah lawas iku…hehhehe

    Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.