Seekor kuda penarik delman di Jogja nahas benar nasibnya! (Simak di sini cerita lengkapnya)
Ia kaget diklakson bus yang ada tak jauh darinya. Saking kagetnya, mak jenggirat, ia lari lepas diri nabrak kanan-kiri, nubruk kaca toko retail lalu tubuhnya terluka karena kaca-kaca itu. Darah mengalir dari tubuhnya yang lantas limbung dan beberapa jam kemudian mati, ko’it.
Sebagai orang Jawa, meski tinggal di perantauan, aku menganggap hal itu bukan peristiwa biasa sehari-hari. Ada sasmita, ada isyarat yang harus dimengerti dengan hati. Sesuatu yang harus direnungkan dalam-dalam, apa yang hendak disampaikan Tuhan melalui itu semua?
Sang kuda itu menurutku bertindak mesianis; mengorbankan nyawanya supaya kita bisa melihat lebih dalam sejauh apa dan bagaimana sebaiknya kita menyikapi modernisasi yang selama ini melanda kota-kota.
Klakson dan bus yang menjadi trigger dari peristiwa itu adalah simbol modernisasi itu sendiri. Bus berhadapan dengan delman, moda transportasi modern dihadapkan moda transportasi tradisional di kota yang dulu dikenal karena tradisinya tapi kini juga terkena imbas modernisasi.
Kuda itu seperti kita yang mencoba mempertahankan sisi-sisi ‘lama’, sisi-sisi tradisi dan menjunjung nilai-nilai luhur tapi tiba-tiba karena suara klakson sontak terhenyak seolah sebelumnya tak pernah mendengar suara senyaring itu.
Keterhenyakan itu membuat kita bangun dari tidur panjang yang melenakan dan yang membuat semakin kaget mak jenggirat adalah ternyata di sana-sini sudah terjadi modernisasi lain yang tak kita kenali wujudnya seperti kuda itu yang tak mengenal kaca pertokoan.
Karena bening, seolah ada ruang yang bisa dijadikan tujuan pelariannya… jadi ya tabrak saja.
Kalau kuda itu bisa ngomong (duh, kebanyakan nonton Disney nih!) barangkali…ya barangkali ia mengaduh menanti ‘sabda’ sang kusir yang diabdinya tiga tahun belakangan. Harapannya mungkin sama dengan tulisan yang ada di resep-resep apotik, “Semoga lekas sembuh.”
Tapi alih-alih menuruti kemauan kudanya, sang kusir berpikir ekonomis nan taktis, “Untuk apa disembuhkan, biayanya mahal dan belum tentu sembuh. Diikhlaskan saja.” Malah tukang jagal dipanggilnya entah untuk apa tapi barangkali daripada benar-benar mati sia-sia, lebih baik disembelih sebelum ko’it supaya dagingnya bisa dijual untuk dikonsumsi. Konon, sate kuda itu enak dan menyehatkan…
Jadi, siapa yang hendak melindungi ketika kita mencoba mempertahankan norma-norma dan budaya luhur kalau yang dianggap sebagai Yang Empunya Budaya dan Keluhuran malah berpikir sama dengan sang kusir yaitu dari sisi ekonomis dan taktis?
Daripada menjual tanah pada rakyat mending serahkan pada investor ibukota supaya beruntung lebih banyak. Ya, kan?
Daripada menghadirkan satu bentuk seni budaya tradisional, apa nggak bosan? Mending bikin sesuatu yang kekinian supaya bisa menarik wisatawan!
Jangan berpikir terlalu ‘jawa’, kita harus modern, ini abad 21, Bung!
Dan masih banyak lagi yang lainnya…
Kisah tentang kuda yang memilukan itu, meski terjadi di Jogja, tapi bagiku adalah pesan simpul yang tertuju pada banyak kota-kota lainnya yang sedang sibuk berbenah ke arah modernisasi.
Hidup ini memerlukan modernisasi dan hal itu tak bisa luput kita hindari.
Jadi mau-tak-mau, kitapun harus mempelajari modernisasi itu. Tak perlu terjun dalam-dalam memang, tapi setidaknya kita tahu wujud, bentuk, seberapa tajam lingirannya, dan seberapa nyaring suaranya. Jadi tak seperti kuda yang ko’it itu, kita akan tahu bagaimana nyaringnya ‘klakson’ dan tajamnya lingiran kaca-kaca yang pecah.
Aku tak tahu apa yang lantas bisa dikerjakan oleh pak kusir yang baru saja kehilangan kuda yang telah menemaninya selama tiga tahun bekerja itu. Semoga ia tak lantas melakukan apa yang kubayangkan ini… Ia mendatangi dealer sepeda motor untuk mengajukan kredit bermodal KTP dan uang muka hasil jual delmannya untuk dibawa pulang. Tak lupa ia mampir ke toko handphone membeli smartphone murahan lalu juga sebuah helm cakil yang dibeli dari toko helm pinggir jalan.
Ia menyulap dirinya menjadi sopir ojek online supaya kekinian. Siap mengantar tak hanya tamu tapi juga makanan kemana saja sejauh uang bisa membayar bensin dan service bulanan dan mencukupi kebutuhan keluarga di rumah.
Nggak takut bunyi klakson? Kali ini dia lebih siap kan pakai helm cakil yang kedap suara…
0 Komentar