Sanggupkah kita kembali berkawan dengan tim capres sebelah?

10 Jul 2014 | Cetusan, Indonesia

Kakak dari nenekku adalah seorang jenderal purnawirawan. Tak perlulah kusebut namanya karena memang kalian tak perlu tahu. Setelah pensiun dari militer, beliau jadi wakil rakyat menjabat sebagai Ketua Komisi X hingga dua periode, wakil dari Golkar pada saat Soeharto berjaya.

Sekarang sudah sangat sepuh usianya, mungkin sekitar delapan puluh lima tahun, terakhir bertemu dengannya adalah sewaktu ia menghadiri pesta pernikahanku di Jakarta, enam tahun yang lalu.

Suatu waktu dulu? dulu sekali, dalam perjumpaan dengannya, aku pernah bertanya begini,

?Pakde??
Aku memanggilnya demikian karena aku ikut-ikut cara orang tuaku serta om dan tanteku memanggilnya.

?Pakde kenal Pak Harto, ya??
?Ya kenal tho, Lik!? balasnya. Ia memanggilku Lik, Lilik, panggilan hangat cara Jawa untuk anak kecil, mungkin asal katanya dari ?cilik? (Kecil).

?Kenal dimana??
?Kenal di Golkar, kenal juga di militer? Dulu kan Pakde pernah satu kantor, jadi bawahannya di Solo.?

?Hmmm, kalau Oentoeng kenal juga Pakde??

?Oentoeng? Oentoeng siapa??
?Oentoeng Samsoeri, yang mimpin Gestapu (Letkol Untung Samsuri, pemimpin pasukan G 30-S)!?

?Oh, dia! Kenal juga? Dulu sering main tenis bertiga di Solo. Pakde, Pak Harto dan dia!?

Untung Samsuri (kiri), Soeharto (kanan)

Untung Samsuri (kiri), Soeharto (kanan)

* * *

Kawan, pertama-tama bersyukurlah kalian karena masih kupanggil kawan setidaknya hingga terbit tulisan ini.

Bersyukurlah juga karena pada saat tulisan ini kupublikasikan, Pemilu Presiden 2014 telah dilangsungkan. Sejauh ini, Jokowi-JK memimpin pasti meski pihak sebelah juga pasti nggak mau kehilangan muka jadi ikut-ikutan mengklaim kemenangan.

Tapi terlepas dari itu semua, selesainya Pilpres ini semoga menandai babak baru. Babak yang tidak lagi bising oleh riuh kampanye copras-capres di sana-sini.

Semoga tak ada lagi dikotomi antara ?kita? dari ?mereka?, ?kalian? dari ?kami? karena sesudah segala riuh rendah ini, kita harusnya bisa bersatu sebagai bangsa mengawal pemerintahan siapapun presidennya.

Seperti Anis Baswedan pernah katakan, ?Lawan debat adalah teman berpikir, lawan badminton adalah teman berolahraga.?

Tapi pertanyaannya sekarang adalah bisakah kita benar-benar menganggap mereka itu kawan kita, dan kalian itu adalah bagian dari kami?

Katakanlah kita bisa, bagaimana pula dengan mereka? Bisakah mereka menganggap kita kawan tanpa harus menelikung di sana-sini?

 

Kampanye adalah cermin

Kampanye yang baru lalu, meski meriah dan menggairahkan, di satu sisi juga menjadi cermin yang mampu memperlihatkan bagaimana watak asli kawan kita.

Ada yang kreatif ada pula yang naif, menebar nilai-nilai positif tapi tak jarang yang menebar hal-hal berbau negatif. Ada yang mengusung prestasi, tapi sayangnya ada yang meletakkan kampanye pada serangan berbasis SARA.

Yang serba positif dan bersih tentu tak jadi soal, tapi bagaimana yang negatif?

Ada seorang, sebutlah Apete namanya, tentu nama samaran. Bukan kawan dan bukan pula musuhku.

Ia berprofesi guru namun perilakunya dalam berkampanye lebih buruk dari anak SD kelas satu!

Sebelum aktif berkampanye, dari gelagatnya di lini masa memang tampak ia bukan orang yang baik benar. Tapi yang amat disayangkan, ia malah menjadikan ajang kampanye untuk semakin meyakinkan publik bahwa anggapan itu benar sekaligus ia, Apete, mengolok-olok dirinya sendiri dihadapan publik.

Ia tak jarang mengunggah info yang jelas-jelas tak benar, intimidatif, berbasis SARA, kadang me-retweet foto-foto hasil editan, dan sejauh kucatat, dua kali dengan alasan lupa, Apete menggunakan akun sebuah perkumpulan blogger untuk me-retweet kampanye busuk dari capres yang dibelanya.

Dari semua itu, tak jarang membuahkan pertanyaan yang sangat dasar, ?Ini orang bego apa sinting?!?

Untung aku memutuskan untuk tak terlalu lama mengamati lini masanya, karena semakin kemari aku semakin berpikir dan bertanya-tanya bahwa hanya orang bodoh yang mengikuti percakapan orang bodoh.

Nah, pada kasus seperti si Apete itu, kalau kita paparkan kembali pada omongan Anis Baswedan dan beberapa rekan netizen senior yang sangat ?wise? untuk bisa berteman dengan mereka yang berseberangan, bagaimana kita mampu menjalin relasi dengannya?

Sanggupkah kita berkawan dengan orang yang meski kuyakin pintar tapi mau menjatuhkan kredibilitas dirinya sendiri di hadapan publik dengan melakukan tindakan-tindakan bodoh?

Sanggupkah kita berkawan dengan orang yang kasat nyata begitu culas dan tak ragu mengkhianati perkawanan meski dia selalu bilang, ?Lho, aku kan tim sukses! Setelah pilpres pasti beda lah, kita bisa berteman lagi??

Bagaimana kalau tiba-tiba setelah kita berkawan dengannya ia melakukan hal yang sama atau lebih buruk terhadap kita?

Bisa kalian bayangkan?
Bisa?

 

Unfriend gak berarti musuhan kok!

Jadi, kalau aku, menghadapi orang seperti Apete dan banyak kawan-kawan di belakangnya adalah unfriend! Habis perkara!

Kita memang harus tegas dan jangan pernah takut dibilang pilih-pilih dalam berkawan karena sejatinya hidup itu memang harus memilih.

Lagipula dengan tidak berteman itu sebenarnya bukan berarti kita otomatis bermusuhan. Ini mungkin susah dipahami oleh mereka yang hanya mengenal dua kata ?lawan? dan ?kawan? tapi mari simak contoh analogi yang agak ?nyeleneh? di bawah ini:

Kamu sedang antri pipis di toilet di sebuah mall. Ada sekitar lima orang di depan kamu dan ketika kamu menoleh ke belakang ada sekitar delapan yang lainnya.

Tiba-tiba seorang bapak menepuk pundakmu sambil memegang selangkangannya dan bilang, ?Dik.. maaf dik? saya boleh mendahului nggak? Bapak sudah nggak nahan nih!?

Kalau dia adalah seorang kawan, tentu kita akan bilang, ?Ah, bapak lupa sama saya? Saya kan Donny? silakan, Pak.. silakan!? Dengan ketulusan kita memberi jalan dulu kepadanya.

Tapi kalau dia bukan kawan, kita bisa meluluskan permintaannya karena iba tapi bisa juga bilang, ?Wah, maaf Pak, saya juga kebelet lagipula kalau memang benar-benar tak kuat bisa pipis di celana toh tinggal dilap atau beli yang baru!?

Kalau si Bapak marah lalu menampar kita, disitu ia telah terdegradasi sebagai musuh secara otomatis!

 

Kawan di muka, bisa jadi lawan di punggung kita, kenapa harus berteman?

Tapi aku tahu alam hidup di Indonesia itu kan penuh rasa ?sungkan? dan ?tepa selira?. Jadi, kadang gawal juga untuk tak menjadikan orang-orang seperti Apete itu kawan.

Kalau sudah terlanjur, hal terbaik adalah waspada terhadap perilaku mereka kepada kita terutama di belakang kita.

Coba ingat, apa yang kalian lakukan selama kampanye kemarin??Hiruk-pikuk euforianya kadang tak sengaja membuat adrenalin kita terpacu terlalu tinggi sehingga tak sadar kita kadang beropini yang terlalu menyudutkan capres sebelah sana.

Seperti yang dilakukan kawanku, Mimisan namanya, ya jelas ini samaran lagi.?Si Mimisan ini kalau nggak salah sudah dua kali nulis tentang capres ?yang itu? yang menurutku agak terlalu berani.

Anggaplah ia lantas harus berkawan dengan orang-orang sekelas Apete karena rasa sungkannya dan secara mengejutkan capres yang disudutkannya tadi benar-benar jadi presiden.

Pada awalnya mungkin, ini masih mungkin, orang-orang seperti Apete tadi merangkul Mimisan. Tapi mau sampai kapan?

Katakanlah tiba suatu waktu ketika Sang Presiden merasa sudah cukup kuat untuk menampakkan watak aslinya, Apete bisa jadi mulut yang memberikan asupan kepada telinga presiden bahwa si Mimisan itu adalah orang yang layak disingkirkan karena tulisan-tulisannya selama kampanye kemarin.

Kalau sudah begitu, apa yang bisa kita harapkan dari teman? Akankah ia yang kita panggil dengan sebutan Mas dan Mbak sebagai bentuk hormat terhadap mereka yang berseberangan itu akan melindungi kita dari popor senapan dan setrum dan mau memangku kita ketika harus duduk telanjang di atas es balok semalam-malaman?

Kalian bisa bilang aku terlalu berlebihan dan mengada-ngada, tapi biarlah kisah pilu dari seorang bernama Oentoeng Samsoeri menutup tulisan ini.

Sesaat sebelum akhirnya dieksekusi mati, Oentoeng masih percaya bahwa kawan main tenisnya di Solo yang namanya Soeharto itu pasti akan menolongnya dengan setidaknya mengubah hukuman dengan cara meringankannya.

Keyakinannya semata karena ia tahu bahwa Soeharto yang waktu itu adalah Panglima KOSTRAD pun tahu rencana apa yang akan terjadi di Lubang Buaya, dini hari 1 Oktober 1965.

Sebelum diringkus untuk ditembak, ia bicara dengan Soebandrio di sel sebelahnya, ?Selamat tinggal Pak Ban, jangan sedih??

Sayang, keyakinannya berujung hampa.
Tubuhnya koyak ditembus tajam peluru yang panas pada sebuah malam jahanam di kawasani Cimahi Jawa Barat, Maret 1966. Ia meregang nyawa ketika kawan? sekali lagi, kawan lamanya tadi melaju ke tampuk pimpinan tertinggi bangsa untuk 32 tahun ke depan lamanya…

Sebarluaskan!

15 Komentar

  1. UNFRIEND! habis perkara.
    Belum apa-apa saja sudah sinis menjawab: Udah kembali urus Jakarta yang semrawut sana.
    Tunggu sebentar saja, dia PASTI akan bilang: “Nah kan gue bilang apa kemarin…”
    Tahan dengar begitu? Bukannya sama-sama maju dan bekerja?
    Demi kekuasaan teman bisa jadi lawan… Ya seperti contohmu Oentoeng dan Soeharto itulah.

    Dari saya yang barusan unfriend orang yang kupikir Islam Moderat dan Cendekia, tapi ternyata sama saja….sinis juga. Tidak tahan mendengarnya… Unfriend dan blok. TITIK (bukan mantan istri lih)

    imelda

    Balas
    • Yup! keputusan yang kudukung.. hati-hati banyak musang berbulu domba!

      Balas
  2. Untuk Apete, aku panggilnya mbak, karena keliatannya dia perempuan dan lebih tuek dari aku :D

    Balas
    • Emang kamu tau?

      Balas
  3. Satu hari menjelang Pilpres, ada seorang kawan yg bikin status ttg kebohongan Jkw ttg Green City yg dianugrahkan untuk kota Solo, dan karena yakin tak mungkin Jkw bohong maka saya sempatkan mencari link berita pada saat penyerahan. Setelah ketemu, saya kasihkan linknya, dengan kata pengantar meminta kesediaannya meralat status dia karena kebenaran telah disampaikan padanya. Sayangnya, sampai pagi tadi, saya datangi lagi wallnya untuk melihat barangkali responnya terlewatkan olehku ehhh rupanya diantepin gitu aja. hmm… menyebalkan! Unfriend wesss….

    pertanyaan yg sama juga bercokol di benakku, sampai2 galau juga ketika membaca status seorang anak kawan yg masih SMP yang isinya menghujat Jkw, bikin saya berpikir, haruskah memusuhi anak kecil ini? Sementara bisa jadi dia dicekoki info ini itu oleh orangtua dan org2 di sekitarnya yg pendukung no.1? Untung kesadaran diri masih tinggi, ga di unfriend deh tuh anak, cukup di unfollow aja.

    Kampanye Pilpres bener2 momen yg paling pas menyortir kawan, bener deh :)

    Balas
  4. UNFRIEND! Sudah terlalu banyak hal negatif dalam hidup ini yang tidak bisa kita kontrol:)

    Balas
  5. sampe sekarang aku masih gak ngerti apa yg terjadi dengan beberapa teman yang berubahnya luar biasa gara2 partai-partaian dan pemilu-pemiluan ini. soal apakah akan tetep temenan atau unfriend, atau unfriend dan nanti berteman lagi, kita liat aja nanti. hahaha.

    Balas
    • Udah berapa yang kamu unfriend? Ajengkol masih jadi friendmu nggak?

      Balas
  6. Saya ndak setuju meng unfriend. Saya pribadi menggunakannya untuk tertawa…. Melihat opini teman teman yang berbeda2, ada yang bijak ada yang lucu, ada juga yang isi nya fitnah semua. Pada akhirnya meski tidak saya unfriend, saya laporkan content misleading ke fb jika fitnah nya udah bawa bawa SARA and berkata dalam hati “cukup tahu lah”.

    Balas
  7. Urusan beda kubu politik, aku tidak meladeni kawan-kawan yg “buta”. Lebih suka ramah, merangkul dan berteman dengan yg aku anggap pintar dan cerdas. Dia punya prinsip yg lurus kenapa berada di kubu sebelah. Yg kurang darinya (menurutku) dia masih belum tercerahkan.

    Tetapi setelah membaca ini, malah terpikir, kadang orang pintar bisa lebih kejam dari orang bodoh..
    **mikir lagi…

    Balas
    • Ah, kamu harusnya jauh lebih tahu dan berpengalaman dalam menengarai orang-orang pintar yang kejam yang bersaling-silang dengan orang baik yang dibodohi kan, Mas? :)

      Balas
  8. Maaf Pak DV, ijin komentar ya, kalo salah/ndak nyambung ush ditanggapi…
    Menurut saya jika sesuatu itu dihubungkan dengan politik maka semuanya akan menjadi kabur. Dalam hal pertemanan pun jika sudah “diboncengi” politik maka pertemanan itu pun menjadi samar. So, kembali pada diri kita masing-masing, pertemanan yang kita tawarkan atau ditawarkan itu atas dasar apa, terus bagaimana kita menyikapinya…tidak ada definisi baik dan buruk tentang segala sesuatu didunia ini, semuanya tergantung bagaimana cara seseorang memadangnya, karena segala sesuatu itu sama nilainya, kita tidak perlu membandingkannya dan merasa kurang/lebih, baik/buruk, benar/tidak, untung/rugi nya.
    …selama apa yang kita perbuat itu tidak salah (benar) kenapa harus takut berteman dengan “kawan sebelah”?.
    Ada sebuah kutipan dalam buku “The Root Of Wisdom” karya Tsai Chih Chung, berbunyi :
    “Pada dasarnya orang-orang di dunia menempatkan dirinya dalam suatu rantai keuntungan dan kemasyuran termasuk Kepentingan.
    Kemudian berbicara mengenai dunia debu, laut kepahitan.
    Mereka tidak tahu bahwa :
    Awan Putih, Gunung hijau, Sungai mengalir, batu tegak berdiri, Bunga-Bunga menarik perhatian, burung-burung berkicau dengan riangnya, Lembah menyambut, penebang kayu bernyanyi.
    Dunia, sekali lagi, bukan hanya debu;
    Laut, sekali lagi, tidak pahit;
    Hanya mereka sendirilah yang menaruh debu dan kepahitan dalam hatinya.”

    Sekali lagi……..selama apa yang kita perbuat itu tidak salah (benar) kenapa harus takut berteman dengan “kawan sebelah”?.

    Salam hormat pak DV… :)

    Balas
    • Pertanyaanku, kamu sudah baca keseluruhan tulisan ini atau cuma scroll langsung ke bawah dan berkomentar?
      Kalau kamu baca secara detail, disitu kusebut bahwa yang perlu dipertimbangkan soal bisa tidaknya menjadi teman itu bukan dari sisi kita sendiri tapi juga dari sisi mereka. Bisa nggak? :)

      Kalau kamu juga perhatikan contoh yang kuulas, Untung dan Soeharto, kamu juga harusnya bisa tahu bagaimana pola pertemanan bisa bergulir bisa berakhir.

      Balas
  9. Ngomong-ngomong saya belum menemukan art-ikel ulasan tentang segelintir orang dibalik layar alias orang-orang yang mendorong pak Jokowi menjadi capres sehingga piala dunia tahun ini tidak begitu meriah teredam oleh gemuruh pra pemilu pres-cawapres . Tulis dong Mas . Itu bagus diulas sebagai hidangan penutup sebelum membuka lembaran baru.

    Balas
    • Saya hanya menulis apa yang saya tahu atau kira-kira tahu…

      Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.