Saint Patrick

20 Nov 2008 | Aku, Australia

Yang terkadang membuat aku begitu tertarik untuk melihat tata arsitektur bangunan pada sebuah kota adalah bagaimana bentuk gerejanya. Ini semata-mata bukan karena aku adalah seorang pemeluk Katolik, tapi lebih karena bagiku gereja adalah bangunan yang biasanya sudah terlebih dahulu ada ketimbang bangunan lainnya. Tentu pernyataan ini juga tak berlaku bagi semua tempat, tapi di beberapa tempat biasanya demikian.

Jogja misalnya.
Di sana ada banyak gereja dengan arsitektur yang unik. Gereja Bintaran adalah yang paling kusenangi.
Memiliki bentuk atap yang “antik” karena berupa setengah tabung dengan ornamen-ornamen kuno khas bangsa Belanda, kemudian Gereja St Antonius Kotabaru, meski dibangun pada masa Belanda juga, tapi dari sisi arsitektur bangunannya sudah jauh lebih modern ketimbang Gereja Bintaran. Yang terbaru tentu saja Gereja PringWulung yang merupakan bangunan baru, sudah cukup jauh meninggalkan “pakem” gereja yang biasanya dihiasi dengan ujung-ujung atap yang lancip, sudah berlantaikan keramik dan ornamen-ornamennya sudah sangat up-to-date.

Begitu pula di sini.
Kebanyakan gereja di Sydney adalah bangunan tua yang tetap dipertahankan bentuk dan ornamen-ornamennya.
Gereja Katedral St Mary (St Mary Cathedral Cruch) misalnya. Gereja Katolik terbesar di Sydney ini memiliki bentuk yang sangat “vintage” lengkap dengan warna cokelat bata serta ujung-ujung atap yang runcing dihiasi bel gereja yang selalu berdentang pada saat-saat tertentu.
Kemudian Gereja St Yoseph Newtown yang setiap minggu pukul 11.30 am selalu digunakan untuk para migran Indonesia mengadakan misa khusus berbahasa Indonesia, selain antik dan kuno, gerejanya juga memiliki bagian bawah tanah yang sangat nyaman dan longgar, sangat cocok untuk kegiatan-kegiatan sosial gerejani serta mudika setempat. Namun ada pula gereja yang hadir dengan arsitek modern seperti yang berada sekitar 1 kilometer dari rumah di sini. St Michael Church namanya. Sudah sangat modern dengan lantai keramik dan desain altar yang trendy.

Hari minggu yang lalu, 9 November 2008, bersama Irna, Jaya dan istriku, aku datang ke perayaan ekaristi mingguan di Gereja St Patrick, Sydney. Ini adalah untuk yang pertama kalinya aku pergi ke gereja tersebut.
Gereja yang dibangun tahun 1839 itu terletak di sudut pertigaan Grosvenor St dengan Harrington St pada permukaan tanah yang cukup menjorok ke bawah.

Seperti halnya gereja-gereja kuno lainnya, arsitek dan tata ruangnya pun tetap dipertahankan sama dengan apa yang ada sejak awal mulanya. Pilar-pilar yang menempel di dinding dengan patung santa dan santo serta malaikat Tuhan di atasnya, lukisan timbul yang menggambarkan peristiwa-peristiwa Jalan Salib di sekeliling tembok bagian dalam gereja, bangku kayu cokelat tua lengkap dengan bantalan untuk berlututnya, balkon pada lantai dua untuk koor, ornamen altar serta sakristi, hingga tempat peletakan Sakramen Maha Kudus, yang berada pada permukaan yang lebih tinggi dari altar di belakang.

Umat yang hadir di gereja itu kebanyakan adalah para bule tua dan orang-orang asia yang datang dari segenap usia baik tua maupun muda. Lambat laun, meski tak meng-amini, melihat kenyataan seperti ini aku jadi semakin sadar dengan ungkapan yang sejak dulu kukenal bahwa para bule muda tidak terlalu menikmati gereja. Tapi mungkin pula, terkait dengan keadaan itu, untuk itulah orang-orang Asia yang rata-rata masih menempatkan agama di prioritas yang nyaris sejajar dengan Tuhan sendiri itu dikirimkan ke tempat-tempat seperti Australia ini, untuk mengisi gereja.
Wallahualam ….

Imam yang memimpin perayaan yang dimulai pada pukul 12.00 pm itu adalah seorang pastor tua dengan bahasa Inggris yang sangat cepat, mumbling, dan tak terlalu keras suaranya mungkin karena faktor usia.
Tak hanya itu, faktor gaung yang tercipta karena tembok yang tebal dengan langit-langit yang tinggi membuat apa yang ia katakan nyaris tak satupun kubisa kenali artinya.

“Kamu tahu apa yang diomongkan romonya, Hon?”
Tanyaku pada Joyce pelan pada saat kotbah Romo berlangsung.

Joyce tersenyum tipis lalu berujar “Sedikit yang kutahu!”
Nah loh, akupun lega karena jangankan aku yang baru 1 minggu berada di Sydney, lha wong istriku yang sudah 15 tahun bermukim di negara ini pun ngga ngerti seratus persen dari apa yang diomongin kok.

Maka jadilah setiap bagian doa yang urut-urutannya kukenali itu kulafalkan dalam Bahasa Indonesia.
Mulai dari Tuhan Kasihanilah Kami, Kemuliaan, Aku Percaya hingga Bapa Kami, semua kuucapkan dalam Bahasa Indonesia sambil sesekali menengadah ke atas, mencari Tuhan yang kuyakin tak membutuhkan penerjemah untuk mengerti doa dalam bahasa ibuku itu.

Tak sampai satu jam ekaristi selesai kami lalu kembali ke mobil untuk pergi ke restaurant, santap siang bersama. Kami melewati jalan-jalan utama di Sydney yang ternyata sama halnya dengan di Jogja dan Jakarta yang selalu lebih lengang pada minggu pagi seperti ini.

Tujuan kami adalah Mie Pinangsia, masakan Indonesia yang terkenal enak mie dan nasi gorengnya itu.
Akan tetapi, sebelum sampai di sana kami mampir terlebih dahulu untuk menjemput Anton, teman Joyce yang baru pertama kali kukenal waktu itu, meski sudah cukup lama kudengar dalam setiap ceritanya melalui telepon waktu-waktu dulu. Anton adalah seorang Indonesian yang sudah cukup lama tinggal di Sydney namun 11 bulan terakhir ini ia pulang balik ke Jakarta. Ia pribadi yang ramah dan supel, tercermin dari caranya berbicara sepanjang perjalanan.

Setengah jam kemudian, sampai pula kami di Mie Pinangsia yang siang itu sangat ramai dengan pembeli.
Nyaris semuanya Indonesia, kalaupun ada bule ataupun orang asing lainnya, mereka datang bersama orang Indonesia atau istri/suaminya yang kebetulan orang Indonesia.
Aku memesan nasi goreng sea food super pedas dengan tambahan bakso kuah yang kita keroyok rame-rame.
Tak lupa aku memesan kerupuk dalam jumlah yang banyak serta… aha kecap manis!
Sangat Indonesia sekali, bukan ?

Usai makan, kami tak berlama-lama di situ mengingat antrian pembeli yang bahkan mengular hingga keluar restaurant. Dari Pinangsia lalu kami berjalan kaki menuju ke White Lotus, sebuah toko grocery yang khusus menyediakan banyak barang dari Indonesia.
Aku ingat betul, Februari 2008 ketika pertama kali aku menginjakkan kaki ke Sydney, keberadaan White Lotus yang sangat Indonesia itu yang membuat aku semakin yakin dan berani untuk memilih tinggal di Sydney. Kenapa? Karena aku membayangkan bahwa untuk “mendapatkan” Indonesia, mudah saja aku tinggal ke sana :)

Di White Lotus, Joyce belanja beras, kerupuk, berbagai bahan baku masakan serta penganan sementara aku mengamati majalah TEMPO, Gatra, dan beberapa majalah Indonesia edisi terbaru lainnya.

Keluar dari White Lotus dengan belanjaan yang memenuhi tangan, kami lalu pergi kembali ke tempat parkir mobil untuk menuju ke rumah Paul dan Rinda seperti biasa.

Oh ya, Irna memberiku IndoPost, sebuah majalah berbahasa Indonesia yang diasuh dan ditujukan oleh para Indonesian yang ada di Sydney dan dibagikan secara gratis. Lumayan bisa menemani waktu-waktu di closetku nanti malam, pikirku.

Sampai di rumah Paul dan Rinda kami kembali bercengkrama bersama, ngobrol ngalur ngidul sambil berkaraoke menghabiskan waktu. Terus terang, kebersamaan dengan beberapa teman dekat kami di rumah Paul dan Rinda membawa andil yang cukup besar dalam membuatku kerasan di tempat yang baru ini. Oleh karenanya, meski aku tergolong anak baru, sebisa mungkin aku aktif dalam obrolan mereka untuk membiasakan diri dan sedikit demi sedikit semakin mampu mengusir rasa sepi dan rindu tanah air, meski hmmmm kalian semua pasti setuju bahwa hal itu tak mungkin bisa benar-benar terusir bukan ?

Pukul 6 sore pun tiba dengan cepat, kami lalu pamit pulang.
Setelah mengantar Irna dan Jaya serta menurunkan Anton tepat di depan apartemennya, Joyce dan aku langsung tancap gas menuju rumah. Kami berkendara cukup cepat, lebih cepat dari biasanya karena ingat Simba seharian belum kita ajak untuk bermain di kebun belakang dan pup serta kencing di sana.
Bayangan Simba melakukan semuanya itu di rumah pun bermain di depan mata.

Jalanan di Sydney sore itu lumayan padat lagi.
Banyak diantara mereka yang baru pulang melancong ke tempat-tempat wisata sambil membawa berbagai macam perlengkapan yang tampak menyembul pada bagian atas mobilnya. Malah ada pula yang membawa papan surfing hingga water boat diletakkan di bagian belakang kendaraan mereka.

Ya, semua orang tak terkecuali kami tampak mulai menikmati awal-awal summer yang tampaknya memang menjanjikan sinar matahari yang lebih merata sepanjang hari dan cuaca hangat serta panas yang mampu mengusir dingin yang menggigil.

Ah, lagi-lagi aku kok pakai kata “mengusir” sih ?

Cathedral
Ini foto St Mary Cathedral, Sydney.
Foto ini kuambil waktu pertama kali datang kemari, Februari – Maret 2008 yang lalu.

St Patrick
Joyce and I di dinding tepian Gereja St. Patrick Sydney

Cheap Hotel
Asal jepret, ada hotel dengan bentuk bangunan unik di intersection Hassall St dan Station St Parramatta.

Sebarluaskan!

16 Komentar

  1. @edratna: tau nih si donny makan mie pinangsia aja jaoh2 banget, menggelikan emang :P Makanan khas sydney sebenernya adalah makanan thai, korea, jepang, chinese (pastinya), italian.. dan KEBAB yang saking gedenya makannya susah! Hehe abis sydney terlalu banyak imigrannya :P Kayaknya kalo makanan “khas” sydney (dalam artian yang belom tentu ada di tempat laen) ya makanan2 buat BBQ-an: sosis pake onion yang banyak dikempit di roti.
    *ngegantiin yg punya blog bales komen visitor :P*
    Ah gila kangen syd banget! Gimana interpiu nya don?

    Balas
  2. Saya geli deh…lagi-lagi akhirnya cari makannya mie Pinangsia…
    Makanan khas Sidney apa?
    Gerejanya indah ya….

    Balas
  3. Foto yang kedua keren jeh! :)

    Balas
  4. kpn indonesia bisa indah kyk gitu ya :)

    Balas
  5. kalo foto2 di luar tuh bagus ya langitnya bersih bangettt.. coba kalo di jkt.. butekkkk!! hehehe…

    Balas
  6. Don, Don…
    Photo-mu sama Istri tercinta itu cantik bener sih! Kayak photo pre-wedding aja! hehe.. padahal ini kan after-wedding-and-still-struggling-to-stay-together-forever.. :D
    Aku suka kata-katamu tentang Tuhan tidak membutuhkan penerjemah itu, Don. Aku sendiri lebih luwes dan nyaman kalau berdoa dengan bahasa Ibuku… bahasa Ingrris.. ups.. maksudnya, bahasa Indonesia. Atau apa saja deh, yang penting bisa menyalurkan isi hati yang paling dalam..
    Oh ya..
    ada sebuah gereja di Surabaya, dekat rumahku, yang walaupun bangunan baru, tapi dia mengadopsi arsitektur kuno! Seolah-olah, gereja itu adalah gereja katolik kuno yang terus dirawat dengan baik… Padahal, baru beberapa tahun mereka mengaduk-aduk semen dan pasirnya… :)
    Aku pernah ke sana, Don.
    Mengabadikan keindahannya lewat kamera di handphone yang cuma sedikit pixelnya itu… hehehe…
    Aduh, panjang!
    Have a great day, Don!
    Semoga kamu semakin betah di sana dan jadi suami yang baik buat Joyce! :) Salamku buat dia ya…

    Balas
  7. Pasangan bahagia…
    Di foto yang kedua itu, maksudnya ;)

    Balas
  8. Kubahnya katedral dalam foto itu yang berupa menara-menara lancip kecil itu mirip2 katedral di Jakarta ya. Unik. Apa memang gereja katedral itu punya khas sendiri ya, Mas ?

    Balas
    • Bukan gereja katedral yang punya khas, tapi seluruh gereja pada awalnya dulu emang bercirikan seperti itu.
      Pengaruh renaissance juga sih kayaknya..
      Tapi karena gereja itu mengikuti roda jaman, maka pada masa yang akan datang, desain-desainnya pasti akan mengikuti jaman pula.

      Balas
  9. kalo dari jauh, kayak Azies MS nya Jamrud Mas hehehe ..

    Balas
  10. Waduuh, bagus juga gerejanya.. Kirain Kathedral yang di Jakarta dah paling gede, ternyata ada yang lebih gede lagi ya? Hehehe..

    Balas
    • Wah masi banyak yang lebih gede lagi, Kris.
      Bahkan di Roma itu gedenya luar biasa :)
      Ah, akhirnya kamu nge blog juga.. Good!

      Balas
  11. wah…
    lama banget ya gk mampir kesini…
    masih inget ma aku kan kak..???
    wah…
    blognya makin keren aja..

    Balas
  12. senangnya dengar banyak nuansa indonesia di sana. di Jepang masih sedikit resto indonesianya.
    btw komunitas katolik indonesia di sana berapa banyak? trus ada pastor indonesianya?
    EM

    Balas
    • Wah komunitas katolik Indonesia di sini buanyak :)
      Malah keuskupan Sydney mengakui dan memfasilitasi gereja khusus untuk migran Indonesia. Kami mengadakan misa berbahasa Indonesia setiap seminggu sekali di Gereja St Joseph, Newtown.
      Romo Indonesia? Wah buanyak betul :)
      Dan mereka on call juga lho, i mean kalau ada komunitas katolik Indonesia seperti cell group atau persekutuan doa membutuhkan firman atau mengadakan misa, mereka siap diundang dan datang :)
      Pindah kemari aja.. Australia itu serasa sebuah kota besar di Indonesia :)

      Balas
  13. Dab, mbok aku dijak mlaku-mlaku di taman St Mary Cathedral kuwi lho. Kethoke uenak moco buku ning bangku tamane. Ayo tho, Dab…

    Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.