Romo Ardi dari sudut perjumpaan-perjumpaanku dengannya

9 Apr 2017 | Cetusan

Malam minggu ini harusnya kuakhiri dengan menyenangkan karena selain kembali bertemu dengan keluarga kawan sesama orang Indonesia yang tak bersua sejak awal tahun, aku juga nonton acara wrestling pro (gulat) yang seru dan mendebarkan. Tapi sebuah kabar mengejutkan datang dari seorang kawan yang tinggal di Jogja, Bertus namanya.

“Bro, ada berita duka! Romo Ardi Handojoseno meninggal dunia!”

Selama lima belas menit pertama aku tak percaya. Hingga akhirnya Joyce bilang, “Telpon Romo Ardi aja langsung untuk memastikan!” Aku langsung menelponnya dan tak ada jawaban. Akalku keluar. Kutulis sebuah status seperti di bawah ini dan pancinganku berhasil. Pastor Martin Situmorang yang bertugas di Sydney menanggapinya, “Saya juga baru terima kabar!

Beberapa menit kemudian, kabar itu makin terkonfirmasi, Romo Aloysius Maria Ardi Handojoseno, S.J memang telah tiada. Aku lemas. Aku sedih.

Hubunganku dengan pastor Yesuit yang berasal dari Surabaya itu sebenarnya tak dekat-dekat amat tapi ada banyak persinggungan hidupku yang bertemu dengannya dan aku amat terkesan dalam persinggungan-persinggungan itu.

Menik

Pertama kali mengenal nama Ardi Handojoseno melalui Menik, kawan lamaku. Ia tinggal di Jakarta, mengabarkan kepadaku sekitar awal tahun 2010 bahwa pastor parokinya bakal pindah ke Sydney untuk studi. “Romone ganteng banget, Don! Pernah sekali aku minta rosarioku diberkati, aku deg-degan banget hahaha!” Kulihat laman Facebooknya, memang ganteng.

Romo Dwiko

Setelah Menik mengabari, nama Romo Ardi memang mulai dikenal umat Katolik Indonesia di Sydney. Orang mulai menceritakan kiprahnya, “Ganteng dan pintar meski pendiam…” Tapi hingga sekitar setahun ia berada di sini aku tak kunjung menemuinya hingga akhirnya pada sebuah acara perayaan ekaristi yang diadakan di rumah seorang kawan dan aku bertemu dengannya. Tapi kami pun hanya ngobrol sebentar karena aku justru lebih banyak ngobrol dengan Romo Dwiko, SJ yang datang dari Jogja dan baru saja kelar bertugas di almamaterku, SMA Kolese De Britto Yogyakarta yang memang diasuh oleh para pastor Yesuit/SJ.

Tulisanku dipakainya

Perjumpaanku selanjutnya dengannya adalah ketika ia meminta ijin untuk menggunakan tulisanku ini ?sebagai bahan renungan. Aku lupa URL renungan Romo Ardi tersebut tapi seingatku situs web itu dimiliki sebuah komunitas katolik Indonesia yang tinggal di Amerika Utara sana.

Misa Setahun Papa Mertua

Persinggungan akrabku dengan Romo Ardi terjadi saat perayaan ekaristi diadakan dalam rangka memperingati satu tahun wafatnya Papa Mertuaku di Sydney. Waktu itu Romo Ardi kami minta untuk membawakan misa.

Aku menghubunginya melalui telepon dan mengatur penjemputan. Ia tinggal di biara di North Sydney sementara acara misa diadakan di area Castle Hill. Sialnya waktu itu karena aku meleng, aku lupa mengambil jalan keluar dari motorway ke arah tempat tinggalnya dan aturan lalu lintas kota membuatku harus melewati Sydney CBD terlebih dahulu menyeberangi Harbour Bridge baru kemudian membalik arah ke utara ke rumah biaranya. Sekitar 20 menit sebelum acara dimulai aku baru sampai di biaranya.

Wajahnya tampak murung mungkin karena aku terlambat dan aku mengaku salah, “Sorry Mo, saya belum terlalu terbiasa nyetir di Sydney jadi keblasuk. Maklum di Jogja dulu saya numpak montor hehehe…” Lalu suasana menjadi agak cair dan kami banyak ngobrol tentang apalagi kalau bukan tentang De Britto, Yesuit dan… Jogja.

Natal 2014

Romo Ardi tampaknya tertarik dengan suaraku yang kuunjukkan saat bernyanyi pada perayaan ekaristi peringatan satu tahun meninggalnya Papa Mertua. Ia menghubungiku beberapa hari kemudian, “Ayo bikin proyek kecil-kecilan tapi bermakna!”

Selain cerdas (dan tampan), Romo Ardi memang dikenal memiliki suara bariton nan menggelegar. Aku menanggapi ajakannya itu dengan hati-hati. Bukannya kenapa-napa, tapi aku tahu Romo Ardi adalah sosok pendiam yang sibuk dengan tugas-tugas kuliahnya. Kalau aku terlalu antusias menanggapi lantas ia tak melanjutkan aku tak mau kecewa.

Tapi rupanya niatnya benar-benar bulat, “Aku mau kita bikin rekaman video, kita ajak beberapa orang di paroki lokal saya, kita nyanyi lagu Natal. Kamu tahu tentang teknologi rekam video, Donny?”

“Wah, enggak Mo!”?Tapi ia tak kecewa. Ia bilang akan mencari tahu dari umat siapa tahu ada yang bisa bantu.

Hingga dua minggu sebelum Natal kami tak berhubungan lalu suatu malam ia menelponku, “Wah, nggak ada, Don! Gimana ya?”?Aku bingung mau jawab gimana. Ada rasa nggak enak juga karena andai saja aku dari awal mula berantusias barangkali aku yang justru bisa mendatangkan bantuan yang ia perlukan.

“Kamu ada acara apa Natal ini, Don?”
Kebetulan karena aku tak ada rencana kemana-mana, Romo Ardi menawariku untuk tampil bernyanyi bersama di pesta Natal di parokinya. Ya sudah, daripada nggak jadi ngapa-ngapain aku menyaguhi, bernyanyi bersama di acara Pesta Natal di parokinya.

Kami berlatih sekali di rumah tempatku tinggal di sini. Dua lagu kami bawakan dan konon dari rekaman latihan yang kusebar dan video yang kutayangkan di Youtube, Romo Ardi menyebarkannya pada kawan-kawan termasuk umat Katolik Indonesia di Sydney.

Rm Ardi

Latihan acara Natal 2014 di rumah

Perjumpaanku dengan Romo Ardi pada acara ini amat berkesan bagiku dan keluargaku, hingga kini dan mungkin untuk selamanya.

Simak rekaman video acara,

Dan ini adalah rekaman latihan waktu itu,

Pulang ke Indonesia

Romo Ardi akhirnya pulang ke Indonesia pada November 2015 setelah menyelesaikan studi doktoralnya. “Aku perlu pulang karena selain sudah selesai studiku, waktuku sejak ditahbiskan jadi pastor tahun 2008 lebih banyak kuhabiskan di luar negeri ketimbang di Indonesia.”

Rm Ardi

Aku dan Romo Ardi sebelum ia pulang ke Indonesia, November 2015

Seorang kawan mengadakan perayaan ekaristi yang dibawakan Romo Ardi sekaligus sebagai wujud acara perpisahan baginya. Ia ditugaskan ke Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Malam itu yang kuingat, ia mengajakku bernyanyi lagu Yogyakarta dan kami berfoto bersama.

Jogja, Juni 2016

Juni 2016 aku pulang ke Indonesia dalam rangka memperingati 100 hari wafatnya Mama. Romo Ardi menghubungiku via Facebook dan menyatakan niatnya untuk bertemu. “Ayo ketemuan, Don!” Di malam terakhir sebelum aku pulang ke Sydney, kami bertemu di Jendelo Kafe, coffee shop yang dulu waktu aku tinggal di Jogja kukunjungi hampir setiap malam untuk menghabiskan waktu.

Kami ngobrol banyak dan Romo Ardi tampak lebih gemuk dan segar.
“Aku menikmati Jogja karena sebagai Yesuit, tantanganku ya harus bisa ditempatkan dimana saja, Don!” Dari wajah dan penuturannya aku tahu ia tengah berjuang keras untuk beradaptasi dengan Jogja dan Indonesia setelah lebih dari enam tahun hidup di Australia.

“Yang aku sayangkan cuma satu, jarak dari rumah komunitas ke kantorku cuma 200 meter. Kadang aku harus jalan muter ke kampung supaya aku bisa berkeringat dan olahraga seperti di Sydney dulu…”

Setelah lebih dari satu jam ia memohon pamit. Kami bersalaman dan ia menuju ke motor sportnya. “Tempo hari aku dimarahi pastor kepala karena ketahuan pergi ke Semarang naik sepeda motor.”

“Kok dimarahi?”
“Dia bilang, ‘Ardi, kamu itu disekolahin mahal-mahal ke Australia, nanti kalau ada apa-apa di jalan gimana?'”

Aku tertawa. Kami bersalaman setelah sebelumnya berfoto dulu. “Sukses Mo untuk karirmu, pelayananmu semoga bukumu cepat terbit.”

“Kamu juga, Don! Sukses untuk tulisan-tulisanmu! Oh ya kalau kamu bisa, ada baiknya kamu menulis tanggapan tentang ensiklik Laudato Si-nya Paus Fransiskus pakai bahasamu sendiri pasti menarik.” Aku tersenyum. “Wah, sulit itu, Mo tapi kuusahakan nanti…”

Rm Ardi

Pertemuanku yang terakhir dengan Romo Ardi, Djendelo Kafe Yogyakarta, 17 Juni 2016

Ia lantas pergi memunggungiku dan pertemuan malam itu adalah pertemuan terakhirku dengannya sebelum akhirnya tadi sore ketika sedang joging, Romo Ardi terkena serangan jantung. Ia meninggal dunia sehari sebelum Gereja Katolik masuk ke dalam tradisi Minggu Suci Paskah.

Dalam perjalanan pulang dari nonton acara wrestling ke rumah, aku dan istriku tak berhenti berbicara tentangnya. Kesimpulan kami adalah seperti yang kutulis di atas, aku dan Romo Ardi tak pernah terlalu dekat tapi dalam momen-momen perjumpaan, aku merasa amat dekat dengannya.

Maturnuwun untuk pelajaran-pelajaran hidupmu, Mo!
Selamat berpulang dan berjumpa dengan Yesus yang kita cintai bersama. Beristirahatlah dalam Damai Tuhan. Ad Maiorem Dei Gloriam!

Rm Ardi

Romo Ardi bersama Odi dan Elo setelah Pesta Natal 2014

Sebarluaskan!

4 Komentar

  1. Aku kaget dan sedih. Nggak bisa ngomong banyak wis.

    Balas
  2. Dan Romo Ardi ini dekat dengan bapak mertuaku juga. Semoga beliau mendapat tempat terbaik di sisiNya. Amin.

    Balas
  3. Ijin share ya Mas… Salam kenal.. Mas Ardi ini kakak temanku… Dan temanku sepelayanan misdinar di Paroki St. Johannes Evangelista Kudus… Era 80an lalu….

    Balas
  4. Sungguh besar kasih Allah Bapa. DiciptakanNya pribadi yang menakjubkan seperti rm. Ardi.

    Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.