Roket harblognas

16 Des 2013 | Cetusan, Harblognas

Mengerjakan proyek iseng bertajuk #harblognas; aku membayangkan seperti meluncurkan sebuah roket.?Roket yang terluncur haruslah mengesankan, memiliki arsenal brilian yang menolakkan tubuh roket ke udara dengan luncuran kuat dan hentakan yang berdebam, membentuk lengkungan yang indah dan akhirnya menancap ke bumi dan menggelegar sebagai penutupnya.

Arsenal roket itu adalah Enda Nasution dan ‘gelegar’ penutupnya, kupercayakan pada Paman Tyo.

Siapa tak kenal Enda dan siapa yang melupakan Paman Tyo?
Yang satu adalah Bapak Blogger Indonesia, dan yang terakhir adalah ‘begawan blog’, sama kuatnya, sama tandingnya meski tak perlu diadu satu dengan yang lainnya.

Keduanya memberikan kesepakatan untuk kuwawancara dengan mudah bahkan Paman Tyo yang semula kupikirkan akan agak sedikit susah untuk ‘kudekati’ malah menawarkan metode interview lain yang lebih intim, chatting! Wah!

Tak lama sesudahnya, draft tulisan keduanya telah jadi kubuat dan kusimpan untuk kutayangkan setelah mendapat persetujuan dari masing-masing mereka.

Arsenal dan suara ‘gelegar’ penutup telah jadi sekarang tinggal bagaimana mencipta lengkungan indah itu??Awalnya kupikir serial #harblognas cukup memunculkan tokoh demi tokoh tak perlu mengarahkan arah pembicaraan dalam setiap interview tapi akhirnya kupikir hal itu hanya akan seperti sebuah ‘perang bintang’ saja, tanpa arah yang jelas.

Aku mengubah strategi. Beberapa nama narasumber yang sudah kugenggam kucoret dan beberapa yang lain kupertahankan. Alih-alih menampilkan sebuah ‘perang bintang’, aku hadirkan beberapa sub-tema sebagai alur yang terarah, sebagai apa yang di atas kutulis ‘lengkungan yang indah’.

Blogger lama
Sub tema pertama yang kutetapkan adalah blogger lama.
Lama di sini kuartikan sebagai hal-hal yang terjadi di dunia perbloggeran sebelum tahun 2006. Jangan tanya kenapa 2006 kujadikan patokan, iseng saja karena toh proyek #harblognas ini adalah proyek iseng juga.

Karena sub temanya adalah blogger lama, hal pertama kali yang menurutku paling patut kutampilkan adalah menuliskan tentang blogger tersenior, bukan dari sisi usia tapi dari seberapa lama ia aktif ngeblog.

Tentu kalau kita mencari soal yang ‘paling-palingan’ seperti ini, akan banyak orang punya opininya masing-masing. Dan benar saja! Ketika aku memunculkan tulisan tentang Sam Ardi yang kuanggap sebagai blogger tersenior karena ngeblog sejak 1999, beberapa baru menyorongkan suara kenapa bukan si A atau si B yang ngeblog sejak 1998 atau 1997 tapi ketika kutanya mana buktinya, mereka diam seribu bahasa. Bagiku kenapa Sam Ardi kupilih dan kududukkan di ‘kursi ini’ semata karena ia punya bukti otentik bahwa ia ngeblog sejak 1999, bukan ‘katanya-katanya’.

Herman Saksono, alias Momon, menyusul setelah Sam Ardi.?Blogger yang sekarang berdomisili di Amerika untuk kepentingan studi ini kuajak bicara soal peristiwa yang cukup menghebohkan waktu itu, penahanan dirinya terkait dengan postingan yang dianggap menyinggung presiden. Tak susah untuk menghubunginya karena aku kenal cukup dekat. Tapi yang agak sedikit menyulitkan adalah, ada esensi ‘cerita’ yang atas permintaannya tak boleh diungkapkan di tulisanku. Tantanganku dalam mengedit hasil interview-nya adalah bagaimana membuat menarik tanpa harus menceritakannya.

Awalnya susah karena kuanggap hal yang ‘ditabukan’itu adalah ‘gong’dari cerita penangkapannya. Tapi setelah berpikir akhirnya kupilih model tulisan menggantung dan membiarkan khalayak yang menilainya. Tak dinyana, tulisanku tentang Momon ditanggapi secara luar biasa di linimasa baik Twitter maupun Facebook. Lucunya, ada sebuah akun twitter yang aku tak mau sebutkan namanya yang justru menceritakan apa yang Momon katakan kepadaku sebagai sebuah rahasia.

Mas Budi Putra kutaruh di putaran selanjutnya masih di sub tema yang sama, blogger lama.?Dari dulu aku sangat terkesan padanya karena ia pernah mendeklarasikan diri sebagai blogger profesional setelah melepaskan pekerjaan ‘tetapnya’. Tapi itu bukan yang paling menarik untuk menjadikannya sebagai narasumber sebenarnya, alasan terbesarku kenapa memilih dia adalah karena aku penasaran kenapa ia lantas memutuskan untuk masuk lagi ke korporasi setelah sekian lama menjadi blogger profesional. Apakah ia gagal?

Menghubungi dan mengajaknya berdiskusi ternyata tak sulit. Karena kami saling follow di Twitter, tinggal kukirim DM, terbalas dengan persetujuan dan interview berjalan lancar.

Setelah Mas Budi, pilihanku untuk mengisi sub tema blogger lama adalah Thomas Ari Setiawan.?Aku adalah pengagum tulisan-tulisan dan kiprahnya dalam dunia perbloggeran masa lalu. Dibanding Herman Saksono dan Mas Budi Putra, aku punya hubungan yang lebih dekat dengan Thomas karena bersama dengannya dulu aku sering hangout di Jogja bahkan hingga melahirkan komunitas blog Jogja, Angkringan.

Mengajaknya interview jelas tak susah karena kami saling kenal, tapi menjaga konsistensi kirim dan balas pertanyaan serta jawaban dengannya adalah perjuangan yang tak mudah. Ia orang yang sibuk sementara aku mencoba untuk se-tak sibuk mungkin untuk mengejar #harblognas ini. Arsip interviewnya sempat lama terbengkalai hingga akhirnya ketika mendekati waktu yang telah kutentukan untuk ‘peluncuran arsenal’, aku membuka arsip lama tersebut dan mencoba menyusun dari yang sudah ada saja. Hasilnya? Ya kalau tak bagus tentu tak kumasukkan ke blog yang keren ini, kan? :)

Sub tema blogger lama akhirnya kuakhiri dengan sosok Imelda Mayashita.?Blogger perantau di Jepang ini bagiku kuanggap sosok yang mampu menjembatani antara blogger masa lama ke masa kini karena kenyataannya ia adalah blogger yang masih bertahan dari waktu lalu hingga kini dengan motivasi yang sejauh kutahu adalah tulus karena hobinya menulis saja.

Blog berbayar
Sub tema selanjutnya semula kupikirkan sesudah ‘blogger lama’ adalah blogger masa kini.?Tapi kupikir hal tersebut absurd karena yang pertama dunia blog sudah tak seramai dulu dan peran social media membuat dunia blog menjadi lebih terkhususkan lagi, setidaknya menurutku.

Maka kusepakati sub tema kedua adalah blog berbayar.?Sub tema ini kupikir menarik karena sekarang memang ada begitu banyak blogger yang tertarik ngeblog karena iming-iming duit. Secara prinsip aku tak setuju dan sepertinya tak kan pernah setuju; tapi untuk tak berhubungan baik dengan mereka adalah kesalahan terbesar dan aku tak mau sesat oleh pandangan picik seperti itu. Membuka diri untuk menempatkan orang-orang pelakunya berbicara tentang opini mereka adalah jalan keluar untuk tetap membuatku sebagai sosok yang demokratis, setidaknya supaya tampak demikian :)

Orang pertama yang kutempatkan untuk kuinterview, tak tanggung-tanggung adalah ‘bos’ ID Blog Network, Mubarika Damayanti.?Aku belum pernah bertemu muka dengannya tapi kami sangat sering berkomunikasi di linimasa di Twitter. Ada beberapa persinggunganku dengannya yang pada akhirnya membuatku berkesimpulan, Mubarika ini orang baik benar!

Tapi menginterviewnya ternyata tak semudah kami menjalin persahabatan.?Aku yang tak pernah mengirimkan pertanyaan dalam bentuk list sekali kirim, cukup kebingungan karena satu pertanyaan pembuka tak terjawab selama hampir sebulan selain dengan kalimat pendek, “Sebentar ya, Mas.. akan saya jawab!

Aku sempat kehilangan mood mengejar Mubarika hingga akhirnya ketika aku sedang berpikir mencari penggantinya, tiba-tiba ia mengirim email berisi jawaban panjang lebar yang akhirnya hanya dalam sekali email yang ia kirimkan itu, aku menyusun draft interview dan mengirimkan kepadanya untuk persetujuan.

Kira-kira seminggu sebelum menayangkan hasil interviewku dengan Mubarika, aku bertanya kepadanya bahwa aku perlu seorang blogger berbayar yang menurut anggapannya ‘berhasil’ untuk kuinterview menemani tulisan tentangnya. Ia menyebut beberapa nama baik yang kukenal maupun tak kukenal dan di antara mereka kutemukan nama Eka Situmorang-Sir, kawan blog yang sudah kukenal cukup lama, pernah bertemu muka langsung dan kupikir menginterviewnya akan jadi hal yang menyenangkan.

Mengajak Eka interview tentu amat mudah, tapi ternyata tema yang kusodorkan tak bisa diterima begitu saja olehnya karena menurutnya, ia sendiri bingung apakah dirinya adalah termasuk blogger berbayar atau tidak.

Aku sempat berpikir untuk mencari narasumber lainnya karena waktu yang kian mepet, namun akhirnya aku menemukan angle yang boleh dibilang menarik untuk menampilkan Eka dengan tetap mengindahkan keberatan-keberatannya.

Sub tema blog berbayar kusudahi hingga hadirnya Eka Situmorang.

Blog dan komunitas
Blog dan komunitas kuangkat sebagai sub tema sesudahnya dan kalau boleh kubilang, sub tema inilah yang paling sulit untuk kutaklukkan.?Aku memilih Blontankpoer dan Almascatie sebagai narasumbernya dan mau tahu seperti apa kerepotanku untuk ‘menaklukkan’ mereka?

Menginterview Blontankpoer tak semudah mengobrol dengannya ketika bertemu di kopitiam Solo, setahun setengah yang lalu. Jawabannya bisa dibilang agak tak nyambung dengan pertanyaan yang kuajukan dan ini merepotkan! Tapi hal itu terjadi tentu bukan karena ia pribadi yang tak nyambung, tapi pikiran positifku berkata, konsep dalam kepalanya tak sanggup kuperangkap dengan pertanyaan-pertanyaan standardku.

Akhirnya kubiarkan saja ia bicara apa maunya dan ketika kelar, aku hanya mnegkopi dan paste ke sebuah catatan tanpa kusentuh sekian lama. Baru setelah mendekati masa-masa penayangan, aku membuka lagi catatan itu dan kususun pertanyaan berdasarkan jawaban yang ia beri; sebuah metode yang berkebalikan. Meletihkan memang, tapi terselesaikan.

Almascatie beda lagi. Sosok ini ‘kutemukan’ atas saran dari Blontankpoer meski sebenarnya kami telah saling follow di Twitter.?Ijin interview juga telah kudapat darinya, tapi menginterviewnya tidaklah mudah karena berbagai kendala. Proses interviewnya sendiri sebenarnya dalam status unfinished, tapi tak mengapa karena aku berhasil merangkainya dengan cukup solid menghadirkan sesuatu yang menarik terkait dengan ‘pergerakan’ yang ia sulut di Maluku sana.

Konsep
Sub tema terakhir, yang kuanggap menjadi ‘gelegar’ dari #Harblognas adalah soal konsep atau kalau boleh agak berbau spiritual, sub tema yang terakhir adalah semacam pengendapan tentang esensi blog itu sendiri. Aku telah punya draft interview dengan Paman Tyo sejak saat awal serial ini kurencanakan, tinggal aku mencari satu lagi tulisan untuk menemani tulisan Paman Tyo menutup #harblognas.

Ada beberapa pilihan nama yang kupersiapkan tapi kupikir Abang Edwin SA adalah yang terbaik.?Alasanku agak unik untuk memilihnya; suatu waktu di linimasa aku sempat berdebat dengannya karena ia menganggap bahwa Twitter adalah bagian dari blog. Tak sulit untuk menginterviewnya, bahkan boleh dibilang aku hanya butuh dua hari untuk memulai interview lalu menuliskan draft jadinya dan mendapat lampu hijau darinya. Done!

Nah yang paling unik ternyata tetap Paman Tyo :)
Draft tulisan telah jadi jauh hari sebelum ditayangkan tapi ada satu kejadian yang sedikit mengubah alur penayangannya.?Aku harus pulang ke Indonesia mendadak per 1 Desember 2013 silam karena Papa mertuaku sakit keras (dan akhirnya meninggal dunia hari kamis lalu, 12 Desember 2013) sementara aku belum mendapat persetujuan Paman Tyo untuk penayangannya.

Aku telah mengirimkan email kepadanya untuk permintaan persetujuan atau kalau ada hal yang perlu ditambah-kurangkan, tapi ia menjawab bahwa ia belum mendapat email dariku. “Ah, tapi nggak papa, Don… nggak perlu persetujuan. Untuk apa?” tuturnya kepadaku.

Tapi karena aku tetap merasa perlu untuk mendapatkan approval darinya, kutelponlah ia dari coffeeshop di lobby rumah sakit tempat almarhum papa mertuaku dirawat. “Tayangkan saja, kan sudah kubilang..tak perlu pake persetujuan…” Hari itu adalah hari minggu, 8 Desember 2013, sehari sebelum tulisannya akhirnya kutayangkan.

Maka jadilah gelegar #harblognas itu benar-benar menggelegar karena aku tayangkan tanpa supervisi yang seksama daripadanya. Beberapa hari setelah aku menayangkan tulisan tentangnya yang banyak ditanggapi kawan di linimasa, pria bernama asli Antyo Rentjoko itu mengirimkan email kepadaku, begini isinya,

halo don!
suwun, aku sdh baca hasil wawancaramu.

bener kan, aku gak perlu approve sebelumnya. bahkan terima naskanya
juga untungnya belum.

sejak wawancara aku yakin hasilnya bagus. yang lbh mendasar: hanya
dengan kebebasan orang bisa diajak bertanggung jawab.

itu tadi prinsip umum. prinsip khususnya ya simpel: lha kalo ada yang
“salah” atau kurang jelas, aku bisa mengoreksi maupun menambahkan info
(japri maupun publik). it’s so simple :D

Dan lengkapnya sudah semuanya. Tapi karena ada beberapa permintaan dari kawan untuk menginterview satu orang lagi, hari kamis ini aku akan menghadirkannya di sini. Ia bukan arsenal, tak ada dalam lengkungan yang indah, dan kalah menggelegar ketimbang gelegarnya Paman Tyo.

Aku menyebutnya sebagai angin sepoi-sepoi yang hadir sesaat setelah gelegar roket yang kuluncurkan kehilangan gaungnya.

Siapa lagi dia ini? Ssstttt.. tunggu saja, jangan kemana-mana!

Sebarluaskan!

2 Komentar

  1. cuma mau bilang: Turut berduka cita juga kepada Joyce ya. Dia sudah sembuh dan kembali ke pangkuan Bapa.

    Balas
    • Thanks, Mel!

      Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.