Aku bersyukur masuk ke tim kecil panitia pemilihan presiden Paguyuban Alumni SMA Kolese De Britto Yogyakarta meskipun dalam hati kecil aku agak sedikit merasa gimanaaa gitu karena kehilangan momen untuk berdebat, nyek-nyekan ala De Britto dan berkampanye untuk capres pilihanku.
Ada sekitar sembilan orang dalam tim panitia tersebut dan aku adalah yang termuda. Tentulah aku bangga!
Oh ya, salah satu keasyikan berada di tim tersebut adalah berkesempatan lagi bekerja sama dengan Valens Riyadi. Kalau kalian membaca tulisanku yang berjudul ?Aku?, kalian bisa mendapati namanya sebagai orang yang pernah menjadi atasan sekaligus kolega yang turut membidani perusahaan Citraweb Nusa Infomedia.
Nah, kebetulan nih karena sedang bicara soal Citraweb. Sabtu kemarin adalah tepat tujuh tahun aku meninggalkan perusahaan tersebut.
Kuingat betul ada perasaan hebat yang berkecamuk pada saat pengunduran diriku itu dan hari-hari ini, tujuh tahun sesudahnya, meski tetap ada rasa yang ?nggregeli? tapi aku mensyukuri keputusan besarku itu.
Secara lugas dan emosional, aku pernah menuliskan pengalaman di sore yang menggetarkan itu di sini.
***
Pelajaran terbesar dalam hidup, sepertinya memang tentang bagaimana untuk mampu bersyukur dalam kondisi seperti apapun dan bagaimanapun. Minggu lalu aku dikuatkan lagi tentang hal itu.
Seorang kawan yang biasanya hanya bicara soal becandaan memberikan pitutur yang sangat bagus ketika aku (dalam becandaanku) mengeluh soal pekerjaan.
?Don? kalau kupikir-pikir, kamu sebenarnya memang cocok di tempat sekarang. Gaji ok, jabatan ok, perusahaan gede dan rumahmu dekat banget!?
Kalau yang ngomong itu adalah orang yang biasa bicara serius padaku, tentu aku tak terlalu banyak memikirkan dan menganggapnya biasa. Tapi karena kali itu yang menyampaikan adalah orang yang biasa kuajak bercanda, tapi kali itu ia serius, tentu baginya hal itupun juga bukan hal yang biasa untuk diutarakan.
Kawan lainnya, seorang yang selama ini sudah kuanggap ?segendang sepenarian? dalam memandang suasana kerja Jumat kemarin juga bicara hal yang kurang lebih sama dengan kawan yang kusebut di atas.
?Seminggu belakangan aku agak merasa menyesal kenapa aku memutuskan pindah.? Jumat lalu memang hari terakhirnya karena ia mendapatkan pekerjaan baru di divisi lain.
Aku tersontak, ?Really? How come, K??
?Ya? selama ini ternyata aku hanya pakai emosi menilai tempat kerja kita sangat tidak menyenangkan padahal semua kuncinya ada di sini? Ia menunjuk batok kepalanya.
?…??
?Aku memandang dari sisi yang kurang tepat! Menganggap apa yang mereka lakukan adalah memusuhiku..?
?Padahal kamu yang memusuhi mereka??
Ia mengangguk.
Lagi! ini adalah petunjuk yang sangat keras bagiku bahwa semua adalah soal cara pandang.
Yang ketiga datang dari Joyce, istriku.
Dan ini adalah yang paling ?mengena?, meski kukatakan begitu bukan saja karena ia istriku, tapi apa yang ?dipaparkan? kepadaku amatlah kuat nan mengesankan.
Ia memberitahuku sebuah persoalan pada Selasa malam.
Karena masalah ini sifatnya personal, aku tak bisa mengungkapnya di sini. Tapi apa yang menjadi responku terhadap hal itu adalah yang ingin kuutarakan.
Aku cukup terpukul oleh soalan itu dan sepanjang malam aku seperti tak punya daya untuk menutup hari itu dengan tenang.
Aku seolah ada di ujung jembatan yang belum jadi.
Dan untuk melanjutkan pembangunannya untuk mengantarkanku hingga ke seberang, kami kehabisan bahan bangunan!
Doa malam pun terasa hambar, hanya sekadar umak-umik supaya anak-anak senang dan tugasku untuk memimpin doa bersama anak-anak dan istri tertuntaskan.
Pagi harinya ketika hendak berangkat ke kantor, langkahku segontai pergerakan awan yang pagi itu mengelabu.
Aku merasa ingin men-skip pagi itu, atau setidaknya melompati perputaran hari sejak sore hari sebelumnya lalu lompat ke pagi itu supaya tak mengalami hal yang membuatku tak berdaya malam sebelumnya!
Kekuatanku hanya Tuhan! gumamku.
Aku lantas mampir gereja yang setiap hari kulewati dalam perjalanan dari rumah ke bus shelter.
Kupikir, meluangkan waktu sependek sepuluh menit untuk di sana akan mengubah keadaan dan semoga membuatku mengerti solusi apa yang harus kukerjakan atas persoalan yang muncul sejak semalam. Atau setidaknya?.ya supaya tampak bahwa aku sudah melakukan hal yang seharusnya kulakukan.
Pintu gereja kubuka perlahan, ruangan masih sepi dan dingin sisa semalam meruap dari tembok gereja nan tebal.
Sementara sinar matahari menerobos dari jendela-jendela gereja, aku menempelkan ujung ibu jariku ke permukaan air suci yang disediakan di dekat pintu utama lalu membuat tanda salib.
Aku berjalan berjingkat meski tak ada satupun orang yang takut kubuat terusik karena langkah sepatuku di atas lantai kayu; lalu berlutut di baris kursi paling belakang dan membiarkan hening menguasai dan mendikte waktu yang tiba-tiba berjalan amat lambat.
Benar-benar aku tak tahu apa yang harus kukatakan dan doakan. Semua kejadian mengulas merangkai ceritanya sendiri-sendiri sedangkan bibirku beberapa kali mencoba merangkai kata tapi lidahku tak mampu mengucapkannya.
Yang kulakukan lantas hanya memandang tubuh Yesus yang tergantung di kayu salib yang letaknya di atas altar.
Loncatan-loncatan pikiran dan gejolak pikir mereda.
Setiap kali aku memandangNya, terutama dalam keadaan yang sedang sangat tidak menyenangkan seperti pagi itu, aku jatuh malu! Karena seberat apapun masalah yang kualami, salib yang kutanggung? apa yang dulu dialamiNya dan salib yang ditanggungNya tidaklah sebanding sama sekali!
Aku terbangun dari keheningan sependek sepuluh menit itu. Saat pintu samping gereja berderit terkena hembusan angin, aku mengakhiri permenunganku itu dengan senyum di wajah di antara kaca-kaca di mata yang kuusahakan semampuku untuk tak berjatuhan dan tercecer di lantai gereja.
Tiga jam kemudian, sebuah email terkirim kepadaku dan legaku bukan kepalang karena apa yang tertulis di dalamnya adalah solusi tak terduga untuk menuntaskan masalahku yang muncul sejak semalam.
Aku merasa email itu adalah jawaban yang datang dari Tuhan. Ia bekerja super cepat, mengerti keresahanku.
Tentu kalau dinilai dari kacamata logika, alasan itu adalah sebuah non sense! Tapi, hidup memang tak selalu harus bisa dimasukkan dalam sense toh! Ada kalanya ketika harus mengubah sudut pandang demi mendapatkan rasa syukur, ujung-ujung titik pandangnya toh keluar juga dari logika.
Tapi persoalannya sekarang mana yang lebih penting, semua harus sesuai logika atau hatimu terhangatkan karena rasa syukur kita?
Jadi, selamat menjalani minggu yang baru. Apapun dan bagaimanapun rasanya, pastikan untuk berada pada satu cara pandang yang baru untuk menerbitkan syukur!
Dipublikasikan pada Hari Minggu Biasa XXVI
Pada pesta peringatan Santo Vinsensius a Paulo, Pengaku Iman
0 Komentar