Ada rasa yang menggedor-gedor dari dalam dada setiap kali mengikuti acara yang berbau ke-Indonesia-an di tanah rantau ini.
Rasa yang dulu justru ketika masih tinggal di dalamnya tidak pernah ada. Rasa yang kusadari menjadi ada karena justru ada jarak antara aku dan Tanah Air, lalu udara yang meruang di antaranya terbaca sebagai rindu.
Begitu pula yang kurasakan minggu lalu.
Indonesia berulang tahun ke-70 dan Catholic Indonesian Community (CIC) di New South Wales Australia mengadakan perayaan ekaristi berbahasa Indonesia bertempat di St Joseph?s Church Newtown. Tak seperti biasanya, acara diawali dengan pengibaran Sang Dwi Warna, pembacaan naskah proklamasi disusul dengan mengheningkan cipta.
Aku bersama grup koorku kebagian tugas hari itu.
Jadi selain berlatih lagu-lagu yang biasa dipakai untuk ritual perayaan ekaristi, sehari sebelumnya kami juga belajar Indonesia Raya, Hymne Pahlawan, Indonesia Pusaka dan Hari Merdeka untuk mengiringi acara. (Baca risalah akhir pekan sebelumnya di sini untuk cerita selengkapnya)
Karena ingin tampil agak sedikit berbeda (selain costum yang tentu saja mengandung unsur merah putih), Joyce, istriku, menyaguhi untuk membuat bendera kertas ?Merah Putih? semalaman menggunakan bahan dasar kertas dengan gagang sedotan sebagai tangkai benderanya.
Untung bendera Indonesia itu gampang, cuma merah dan putih! gumamku. Coba bayangkan kalau seperti bendera Amerika, bagaimana mungkin bisa mengerjakannya dalam semalam, kan?
Lalu keesokan paginya, saat Hari Merdeka dilantunkan sebagai lagu penutup, kami, sekitar bersebelas bernyanyi sambil memegang bendera itu. Meriah? Pasti! Apalagi di bagian akhir aku sengaja memekik ?Merdeka!? secara spontan yang diikuti oleh peserta koor lainnya dan sebagian umat yang belum beranjak dari tempatnya.
Ada yang menarik dalam perayaan itu.
Aku diberi tugas untuk bernyanyi solo lagu Indonesia Pusaka (ah kalian penasaran dengerin aku nyanyi? kemarilah akan kunyanyikan karena aku tak mungkin bernyanyi di blog ini!).
Aku sangat suka lagu besutan Ismail Marzuki itu sejak dulu. Tapi sejak merasa krasan di negara ini, setiap mendaraskan larik terakhir lagu tersebut;
Tempat berlindung di hari tua,
sampai akhir menutup mata
tenggorokanku seperti tercekat; aku gagu lagi ragu.
Hingga kini, aku tak punya keinginan untuk kembali menetap ke Tanah Air, menghabiskan masa tua (jika diberi umur panjang) dan menutup mata di sana.
Namun pagi itu, atas nama penampilan koor supaya tetap utuh, jelas aku harus mengkompromikannya dengan terus bernyanyi.?Lalu pastor yang memimpin jalannya upacara berseloroh sesudah lagu itu selesai kukumandangkan.
?Tadi bagus sekali lagunya, Donny. Saya suka itu lagu Indonesia Pusaka apalagi itu ada kata-kata ?beta?? ujarnya. Ia orang Ambon.
Umat pun tertawa.
?Tapi, apa berarti kalian mau pulang ke Indonesia nanti untuk berlindung di hari tua sampai akhir menutup mata??
Gantian pastor yang tertawa. Sudut matanya tertuju kepadaku…
***
Hal menggembirakan yang terjadi minggu lalu adalah aku berhasil menuntaskan membaca sebuah buku!
Amba judulnya. Kalian mungkin pernah membaca atau setidaknya pernah tahu. Ia kubeli dua tahun silam ketika mudik ke Indonesia dan sekian lama kuanggurkan tanpa kubaca.
Amba adalah buku pertama yang kubaca hingga tuntas tahun ini!
Kalian heran? Ya, aku tak bohong!
Oh Donny, kamu pasti sibuk sehingga tidak membaca? Tidak.
Aku tak bisa membaca, bukannya tak punya waktu untuk membaca. Aku tak membaca karena waktu yang tersedia kugunakan untuk hal lainnya.
Akhir-akhir ini aku merasa sangat cepat lelah kalau itu menyangkut untuk menelaah kata demi kata dari lembar-lembar buku. Tapi uniknya, ketika membuka gadget, apalagi setelah mendengarkan nada ?ting tung? sebagai dering notifikasi pesan social media, jempolku seperti mendapat asupan steroid dan dengan lincah men-scroll linimasa di social media!
Maka dari itu, membaca Amba hingga tuntas itu tak sekadar mengagumi karya Laksmi Pamuntjak yang fenomenal! Tidak pula karena aku akhirnya menemukan novel tentang Pulau Buru yang ketika kusimpan di rak buku, tak malu untuk kusandingkan dengan Nyanyi Sunyi Seorang Bisu-nya Pram, tapi lebih dari itu karena novel yang kubeli dua tahun silam itu adalah penanda ternyata aku bisa juga mengalahkan social media dalam hari-hariku belakangan ini!
Seperti tak mau kehilangan momen, aku kini melanjutkan dengan buku baru, sebuah antologi surat-surat para pejalan bangsa barat yang menjelajah ke Jawa sejak tahun 1330-an hingga dua dekade silam. Bagiku buku ini penting karena aku orang Jawa. Semoga tuntas dan tak macet di tengah jalan!
***
Alamamaterku, SMA Kolese de Britto Yogyakarta berulang tahun ke-67, 19 Agustus 2015 yang lalu. Adalah menyenangkan untuk tak hanya mengingat tentang apa yang dulu pernah kurasakan ketika studi di sana tapi juga mengikuti kiprah sekolah didikan Jesuit itu pada masa-masa selanjutnya hingga kini.
Apa sih menariknya? Nah, coba kalian simak video di bawah ini dan jangan bohong kalau kalian tertarik ya!
Kami tak hanya diajari tentang belajar menuntaskan persoalan-persoalan soal ujian di De Britto. Kami juga diajari untuk srawung, hidup bersama dan mengisi kebersamaan itu dengan sesuatu yang berguna bagi sesama utamanya ketika berada dalam kondisi tatanan yang jauh dari takaran ideal: ketidakadilan, ketidakberimbangan hingga bencana alam.
Coba simak bagaimana mereka seolah tak mempedulikan identitas sebagai sekolah Katolik dengan mengundang siapa saja, termasuk kaum muslimin dan muslimah untuk berobat gratis? Bahkan paramedis yang melayani pun juga berjilbab? Mana ada sekolah Katholik seterbuka itu? Mana ada sekolah berasas agama lain yang seterbuka De Britto?
Bagiku, kalaupun ini semua dirangkakan dalam ?pertunjukan keberagaman? apa yang dilakukan SMA Kolese De Britto itu lebih pada tempatnya ketimbang misalnya mengundang kyai atau ustad untuk berkotbah dalam perayaan di gereja yang akhir-akhir ini marak diadakan…
Simak juga bagaimana mereka memberikan bantuan buku-buku bekas melalui masjid. Mungkin ini sesuatu yang biasa, tapi bagiku, ini sebenarnya tantangan yang tak mudah karena membantu itu perlu strategi supaya tak jadi bumerang.
Waktu gempa Jogja dulu pernah ada kasus ketika ada sekelompok orang protestan yang menyumbang buku ke pedesaan tapi ada terselip buku rohani kristiani dan hal itu menimbulkan pertentangan di desa itu. Mereka dicap melakukan kristenisasi meski barangkali sebenarnya buku itu memang benar-benar hanya terselip tanpa disengaja.
Nah, bagaimana lantas anak-anak De Britto bisa diterima oleh kalangan dari agama lain, hal ini menunjukkan sikap konsistensi dalam membantu dengan tetap menggunakan takaran sensitifitas yang pas yaitu dengan memandang perbedaan sebagai sebuah kekayaan yang wajib dilestarikan.
Sekali lagi, selamat ulang tahun, De Britto! Semoga makin banyak lulusanmu yang tak hanya keren-keren tapi juga pintar dan memiliki kepedulian tinggi terhadap sesama!
***
Minggu lalu aku harus berterima kasih pada sosok burung rajawali.
Ada bagian hidupku yang memang sedang goyah meski semoga tidak koyak. Goncangannya tak cukup kencang sebenarnya, tapi justru akulah yang menambahkan goncangan itu sendiri efek dari gerakan yang kulakukan untuk menuntasi kegoyahan ini secepatnya dan sampai pada tanah yang lebih stabil.
Dan semua berlalu dengan sangat melelahkan.?Aku bimbang dan putus asa. Dan kupikir kedua hal itu adalah yang paling menyengsarakan.
Ternyata tidak. Pada fase selanjutnya aku merasa seperti pihak yang dibuang. Bagian yang remeh-temeh dan tak dipentingkan dan itulah siksa yang paling keji karena aku merasa sekecil noktah, tak bersudut, tak tampak sekaligus tak berarti!
Bersyukur aku bisa menyadari keadaan ini. Bersyukur aku memiliki keluarga yang mendukungku, bersyukur aku punya iman akan Tuhan dan bersyukur pula karena aku masih bisa bersyukur!
Rasa syukur itu lambat laun memupuk kepercayaan diriku kembali dan disitulah aku menemukan sang rajawali; sosok terkuat yang aku tatap yang kepadanya kutemukan diriku yang seharusnya.
Sosok petarung yang siap tempur.
Sosok yang terbang tinggi karena ia tahu ia tak perlu menyepadankan dengan burung-burung kelas lainnya.
Sosok yang menghargai dan melindungi bawahannya.
Dan ini yang terpenting, sosok yang tak pernah takut ketika menghadapi situasi terberat sekalipun.
Ketika jenis burung lain memilih untuk berlindung dan lari terbirit-birit, rajawali mendatangi gulungan badai dan dengan sayapnya ia memanfaatkan badai itu untuk membawanya terbang lebih tinggi lagi!
Dan jadilah aku kini yang dengan positif dan penuh semangat mengajak kalian semua untuk masuk ke minggu yang baru penuh suka cita dan rasa syukur.
Mari jadi petarung!
Jangan memilih jadi pipit yang manis atau cendrawasih yang indah. Jadilah rajawali dan kita sambut tantangan dengan kesatria karena sejatinya tak satupun dari kita dilahirkan sebagai pecundang apalagi pengecut!
Dipublikasikan pada Hari Minggu Biasa XXI
Pada pesta peringatan Santa Rosa da Lima, Perawan dan Santo Filipus Benizi, Pengaku Iman.
0 Komentar