Risalah Akhir Pekan XXXIII/2015

15 Agu 2015 | Cetusan, Risalah Akhir Pekan

blog_risalah33_1

Hawa hangat udara yang mengendap di awal pekan silam mendadak hancur berkeping-keping karena angin dingin meringkus hari-hari Sydney meski matahari terik bersinar.

Sejak tinggal di negeri sejuk ini, alam mengajariku bahwa terik itu tak selamanya berarti panas karena di bawah matahari dan di atas bumi, ada kolom udara yang bisa dimainkan angin untuk menawarkan pengaruhnya; membuat semua yang dipancarkan bola api raksasa berjarak 150 juta kilometer itu seolah sia-sia belaka.

Demikian juga dengan yang namanya harapan.
Apa yang tertera dan telah ditetapkan pada awal tahun lalu dan menyemangatiku hari-hari lalu dan kini, kurasakan memudar dan membuatku berpikir bahwa perjuangan ini rupanya cukup melelahkan, meletihkan meski aku yakin tak?kan mematikan.

Aku bicara tentang pekerjaan; dan aku tak bisa beranjak lebih gamblang dari paparan di atas. Pekerjaan adalah salah satu sisi hidupku yang tak ingin kutelanjangi di blog ini.

Paparan persoalan itu membuatku belajar tentang bagaimana memelihara mood, minggu yang lalu. Aku berhasil bangkit untuk tak lebur dalam kemurungan sejak hari kedua minggu yang lalu, Senin.

Mood baikku muncul setelah aku merilis tulisan Sepuluh Tulisan Terbaik Senin lalu. Bagiku, catatan tersebut adalah tonggak karena aku berhasil menentukan sepuluh dari seribu tulisan yang kupunya sejauh ini dan seperti kutoreh di sana, seleksinya berjalan tak semudah kalian membacanya.

Mungkin kalian berujar, ?Ah, ngapain dibikin susah? Blog aja kok dianggap sebegini serius?? senada dengan kata kenalan yang berkomentar di tulisan tentang tukang ojek kamis kemarin, ?…ya sampeyan mau ngomong apapun gak akan digubris.? dan jawabanku tetap sama, sama seperti yang kupaparkan sebagai jawaban dari komentar itu, ?Saya nggak butuh digubris; saya hanya perlu menulis!? Kalau aku hanya mengharapkan gubrisan dari orang lain, seribu tulisan tentu tak kan pernah ada!

Aku adalah tuhan dalam blog ini, sama seperti Tuhan yang ditafsirkan buku-buku suci terhadap semesta.

Tuhan menciptakan gunung, lembah, laut, hutan, tumbuhan, binatang termasuk manusia bukan untuk mendapatkan pujian atau gubrisan. Tuhan menciptakan karena Ia perlu mencipta. Sama sepertiku; aku menulis di blog ini, berjuta abjad kutumpahkan membangun kata; kata menjadi tulisan, bukan untuk sesuatu imbalan yang berlabel ?gubrisan?… aku menulis karena aku ingin menulis!

* * *

blog_risalah33

Sementara negeri utara, Senin besok akan berulang tahun ke-70. Sabtu kemarin, aku bersama koor tempatku bernaung, St Joseph Choir, berlatih untuk bernyanyi di perayaan ekaristi berbahasa Indonesia di Newtown, 90% lagu-lagunya adalah lagu-lagu perjuangan bahkan disertakan juga lagu kebangsaan, Indonesia Raya! Simak rekaman yang kubuat saat latihan Sabtu sore kemarin.

[soundcloud url=”https://api.soundcloud.com/tracks/219353300″ params=”auto_play=false&hide_related=false&show_comments=true&show_user=true&show_reposts=false&visual=true” width=”100%” height=”450″ iframe=”true” /]

Kami merayakan kemerdekaan Tanah Air, meski nyatanya sekelompok ormas masih terus berusaha memprotes kehadiran gereja St Clara di Bekasi sana. Jangan diam! Isi petisi ini!

Kami merayakan kemerdekaan Tanah Air, meski sekelompok orang-orang yang hanya karena mereka mengendarai motor gede dan dikawal polisi di Jogja tercinta merasa bisa merampas kemerdekaan pengguna lalu lintas yang lain!

* * *

Minggu yang lalu juga menerbitkan tanya yang tak berkesudahan tentang Frans Magnis Suseno menerima penghargaan Bintang Mahaputera dari pemerintahan Jokowi di Istana Negara.

Aku membayangkan wajah padri Jesuit itu tentu sumringah dan tatapnya lurus teduh ke depan saat mantan walikota Solo itu menyematkan anugerah.

Padahal enam tahun silam, Frans pernah menolak pemberian Bakrie Award dengan alasan, ?Jika menerima, saya akan selalu merasa bersalah menerima penghargaan dari orang yang perusahaannya mengakibatkan rakyat Porong, Jawa Timur menderita,? Pernyataannya menunjuk pada keterkaitan perusahaan Lapindo Brantas milik keluarga Bakrie dengan bencana lumpur di Porong yang terkenal dengan sebutan Lumpur Lapindo. Simak di sini untuk membaca tulisan terkait.

Aku heran kenapa ia tak menolak penghargaan dari Jokowi sama seperti dulu ia menolak Bakrie Award padahal Februari 2015 silam ia menentang keras penolakan grasi hukuman mati terhadap para terpidana mati kasus narkoba oleh Jokowi dan pernah dituliskan di sini.

Apa yang membedakan dari Bakrie Award dan Bintang Mahaputera? Sama-sama penghargaan, kan? Atau barangkali Romo Frans yang telah jadi berbeda, enam tahun lalu dan sekarang?

* * *

Aku ingin menutup risalah ini dengan mengutip apa yang dikatakan teman kerjaku yang kutemui di pantry sedang mengolah sup untuk menghangatkan tubuh, kamis silam.

?I dont like it! It?s too cold for me but next week would be lot warmer??

?Fingers crossed? ujarku sambil menyilangkan jari tengah ke telunjukku.

Sejatinya hangat dan panas itu tak berlawanan dengan dingin karena selama Roh Tuhan menyertai dalam setiap syukur yang kita panjatkan, apalah yang perlu kita takut dan khawatirkan?

Selamat menjalani minggu yang baru!
Salam dari kami untuk perayaan kemerdekaan negara, semoga hal itu menjadi nyata pula dalam kemerdekaan pribadi kalian semua!

Dipublikasikan pada Hari Raya Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga
Pada pesta peringatan Santo Benediktus Yoseph Labre, Pengaku Iman dan Santo Stefenus, Raja Hungaria serta peringatan seratus hari meninggalnya salah satu sahabat terbaikku, Iwan Santoso.

Sebarluaskan!

1 Komentar

  1. Motor gede? Hahahaha, bagiku baik motor gede maupun kecil sekalipun, tetapi mengganggu hak pengguna lain ya itu kurang ajar :)

    Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.