Minggu lalu aku berpisah dengan Martin McNeela, anak buah pertama sepanjang karirku di Australia.
2010.
Aku bekerja di Fuji Xerox Australia. Tak sampai setahun di sana, atasan rupanya amat puas dengan hasil pekerjaanku. Hal itu membuatnya menyuruhku membuat satu tim digital kecil, sebuah embrio yang nantinya membesar hingga sekarang.
Untuk itu aku diminta mencari seorang designer dan seorang junior developer. Untuk designer aku memilih Rick Geremia, seorang berdarah Filipina sedangkan untuk developer, aku memanggil Martin McNeela.
Martin berperawakan sedang. Tingginya tak lebih tinggi dari telingaku. Usianya waktu itu masih 24 tahun, mengenakan kemeja putih berdasi kurus (skinny tie) warna hitam tanpa jas, ia datang menjabat tanganku.
Martin berasal dari sebuah kota kecil selatan Belfast, Irlandia Utara dan aksen irish-nya yang begitu kental membuatku pada awalnya amat kesulitan untuk berkomunikasi dengannya.
Tak hanya itu, volume bicaranya amat lirih membuatku kadang tak bisa membedakan apakah ia sedang bicara, merintih atau sedang berbisik membaca mantra. Sesuatu yang lantas berubah beberapa bulan kemudian dan baru kutahu darinya bahwa ia memang cenderung tak bisa bicara dengan lantang pada seorang yang baru ia kenal karena kepercayaan dirinya yang tak terlalu besar.
Kemampuan IT-nya waktu itu bisa digolongkan standar dan aku tak peduli karena memang perintah bos-ku adalah untuk mencari yang yunior daripadaku jadi kalau aku mendapatkan yang tak standard, bukankah ia bukan yunior jadinya?
Bekerja dengan Martin itu menyenangkan. Jatuh-bangun? Tentu! Tapi yang lebih pasti, kami melalui berbagai macam proyek yang hasil akhirnya tak hanya membuat senang bos tapi juga perusahaan karena kami mengelola beberapa pekerjaan yang berasal dari klien eskternal.
Hingga akhirnya Maret 2013 aku memutuskan untuk keluar, pindah ke perusahaan lain setelah dua setengah tahun berkarya di Fuji Xerox Australia.
Tapi meski demikian, aku tak putus hubungan dengan Martin. Beberapa kali kami bertemu entah itu untuk minum bir ataupun makan dan satu hal yang membuatku makin senang adalah kemampuannya dalam bidang IT semakin lama semakin mumpuni. Bahkan di saat aku mulai menarik diri dari ‘coding’ lalu beralih jalur ke UX/UI Consultancy, ia justru menceburkan diri semakin dalam ke software development dan menempatkan dirinya jauh dari level yunior. Martin kini telah menjelma menjadi seorang senior front-end developer.
Tiga minggu silam aku mendengar dari kawanku yang lain bahwa Martin hendak pulang ke Inggris karena visa untuk tinggal secara permanen tak kunjung didapatnya sementara aturan imigrasi pemerintah makin ketat hari lepas hari.
Kami menyusun acara perpisahan dengannya. Kamis malam lalu, sepulang kerja, aku dan beberapa kawan bertemu dengannya di sebuah rumah makan dimsum di tengah kota lalu dilanjut dengan minum beberapa gelas bir di pub yang tak jauh dari sana.
Aku tak punya kesempatan terlalu banyak untuk berbincang dengannya karena Martin juga harus melayani obrolan kawan-kawan lain. Tapi ada rasa haru sekaligus bangga ketika melihat Martin telah begitu berubah dibandingkan tujuh tahun sebelumnya. Volume suaranya sudah tak kecil lagi, beberapa joke ia lontarkan, sesuatu yang tak pernah kulihat waktu bekerja bareng dulu karena ia sosok yang serius nan pendiam.
Malam masih terlalu muda, tapi karena keesokan harinya aku harus terbang ke Melbourne untuk urusan pekerjaan, aku pamit untuk pulang lebih dulu dari kawan-kawan lainnya.
Dalam kesempatan yang tak lebih dari sepuluh menit itulah aku akhirnya bisa berbincang dekat dengan Martin. “Jadi, gimana perasaanmu balik ke London, Martin?” tanyaku.
“I’m stoked, Donny!” jawabnya.
“Wow! Really? Kupikir kamu sedih karena harus balik kampung setelah gagal nggak dapat visa?” Ia angkat bahu sambil tersenyum.
Ia memang sudah dinanti sebuah perusahaan di London yang akan memberinya pekerjaan segera sesudah ia tiba. Ia juga senang karena bisa dengan mudah bertemu orang tuanya dan ia tak perlu bangun pagi buta untuk menyaksikan siaran sepakbola yang menampilkan klub kesayangannya Celtic FC karena dari London ke Glasgow (markas Celtic FC) bisa ditempuh dalam waktu sekitar lima jam saja menggunakan kereta.

Malam perpisahan Kamis silam… aku dan Martin McNeela
Perpisahan memang unik. Ia punya dua keping wajah, kesedihan dan sukacita. Sedih karena berpisah itu berarti keberanjakan, meninggalkan satu masa, satu tempat, satu perkawanan. Tapi di sisi lain, perpisahan berarti menatap satu masa yang lain yang baru, satu tempat yang barangkali juga lain dan barangkali juga baru serta perjumpaan-perjumpaan yang baru dengan orang-orang yang mungkin kawan lama tapi banyak cerita baru.
Martin berhasil menempatkan diri dengan amat baik. Ia tak mau jatuh terpuruk dalam kesedihan karena masa depan dijemputnya di London dengan penuh harapan yang menggembirakan.
“Salam untuk Joyce, Odilia dan… gosh, sorry aku lupa nama anak keduamu.” ujarnya. Aku tersenyum lantas memperlihatkan tattoo di leher kiriku dan ia membacanya, “E-L-O-D-I-A!”
Kami tertawa, aku memeluknya erat, “Take care, Mate! All the best and God bless you!” ujarku.
Aku meninggalkan pub. Menutup pintu kayu yang memiliki beberapa frame kaca pada permukaannya. Kutatap wajah Martin dari situ sekejap lalu kami melanjutkan perjalanan hidup pada kurva kehidupan masing-masing yang akan menjauh sejak saat itu tapi siapa tahu di masa mendatang kembali mendekat dan kami berjumpa pada asymtote-asymtote berikutnya.
Berjalan menuju ke Town Hall station, angin laut dari teluk Sydney Harbour malam itu terasa lebih dingin dari biasanya, berkelindan dengan wajah-wajah lelah nan menggigil para pekerja yang menuntaskan malam selekas-lekasnya untuk pulang dan bekerja lagi sepagi-paginya keesokan hari…
Selamat menjalani minggu yang baru, Tuhan berkati!
Dipublikasikan pada Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus pada pesta nama Santo Leontius, Hipatios dan Teodulus, Martir.
0 Komentar