Aku dulu memanggilnya Pak Ri’, kawan kerja almarhum Papaku dulu. Ia beberapa tahun lebih muda usianya.
Perawakannya tinggi kurus, murah senyum karena ramah, tak pernah marah! Satu yang kuingat dulu tentangnya, saat karaoke sedang jadi trend di Indonesia dan kantor tempat Papa dan Pak Ri’ bekerja mengadakan lomba nyanyi karaoke di awal 1990-an, Papa masuk final bersama Pak Ri’ dan Mas Joko, anak buah Papa.
Papa juara ketiga. Mas Joko yang energik dan yang paling muda jadi jawara sementara Pak Ri menempati posisi terhimpit, juara dua. Lagu wajibnya ‘Widuri’ dan meski Mas Joko juara pertama, bagiku sebenarnya yang paling bagus suaranya… ya Pak Ri’.
Suara Papa? Ya bagus jugatapi untuk kualitas aku tetap suka dengan suara bariton-nya Pak Ri’.
Selepas Papa pensiun muda pada 1998 dan kami pindah ke Kebumen, tak pernah sekalipun aku berjumpa muka lagi dengan Pak Ri’ hingga beberapa saat setelah Papa meninggal, 2011 silam, keinginanku untuk mencari kawan-kawan almarhum Papa melalui Facebook cukup tinggi dan salah satu yang kutemui… ya Pak Ri’ ini.
Beberapa kali kami sering berbincang lewat Facebook Messenger berbagi kabar tapi beberapa lama juga tak saling tegur sapa. Hingga minggu kemarin di wall-nya, Pak Ri’ menulis bahwa ia akhirnya pensiun setelah 33 tahun lebih mengabdi, aku tiba-tiba termangu.
Ketermanguanku itu karena tiba-tiba aku jadi rindu Papa. Kalau Papa masih ada, barangkali ia akan menyelamati Pak Ri’ karena akhirnya pensiun juga. Tapi Papa sudah tak ada, sebagai anaknya akupun berkewajiban menyelamatinya.
“Selamat, Pak Ri!” lagi-lagi lewat Facebook Messenger.
“Maturnuwun, Don!”
Kami lantas berbincang banyak mulai dari kehidupanku di Australia, rencananya setelah pensiun, kawan-kawan Papa yang masih kukenal hingga siapa lagi kalau bukan Papa.
Aku jadi benar-benar rindu Papa. Mengungkap bagaimana dulu ia berkarya dan bergaul dengan sesamanya, membuatku seperti diberi pinjaman mata dari sudut pandang orang lain, bukan dari anaknya, tapi dari pribadi seorang Pak Ri’, kawan kerjanya dulu.
“Papamu orangnya sabar! Sukanya bercanda dan candaannya selalu lucu! Sukanya menggulung lengan baju… ya seperti model Jokowi sekarang ini lah, Don!”
Ketermanguanku menjadi-jadi. Aku membayangkan dan menghidupkan sosok Papa di masa itu.
“Saya iri dengan anak-anaknya Pak Ri'” sergahku.
“Kenapa?”
“Bareng-bareng dengan orang tuanya masih lengkap hingga kini sementara saya dan Chitra udah nggak punya Papa dan Mama…”
“Semua karena kuasa Tuhan Yesus, Don…”
“Iya, Pak… tapi tetap aja iri hehehe…”
Percakapan terhenti karena tak ada bahan pembicaraan lagi.
Sepulang kerja, di atas kereta aku sengaja untuk masuk lebih dalam membayangkan masa lalu, masa awal tahun 1990an. Membayangkan Papa, Pak Ri’, Pak Dwi, Pak Budi, Mas Joko dan yang lain-lain bercengkrama setiap hari, lalu almh Mama, dan para istri mereka aktif dalam Dharma Wanita…
Lalu tiba-tiba aku menangkap pantulan wajahku di kaca jendela kereta yang memudarkan bayangan itu…dan betapa aku telah tampak menua, barangkali setua mereka dulu, di kala itu…
Selamat memasuki minggu yang baru, Tuhan berkati!
Dipublikasikan pada Hari Minggu Paskah III, ?pada pesta nama Santo Pius V, Santo Marianus dan Yakobus, Santo Yosef-Benedik Cottolengo.
Credit foto dan ilustrasi: Enrico Rehatta
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan