Empat puluh satu hari setelah kepergian Mama.
Setelah semuanya kupikir telah bisa kulalui dengan mulus dan aku merasakan kian hari kian tegar untuk berujar, “O well, aku sekarang anak yatim piatu, so what?!”?Ternyata aku salah duga.
Ayok mengirimkan foto di bawah ini tadi siang.
Selembar kartu petunjuk golongan darah atas namaku dan foto yang menampakkan aku, almarhumah Mama dan Chitra itu ditemukan adik iparku tadi saat ia dan Chitra sedang beberes kamar Mama.
Itu kutemukan di dompet Mama, Mas! tukasnya via jendela WA.
Hari ini Chitra memang melakukan pembersihan di kamar Mama. Sesuai tradisi Jawa, baru setelah empat puluh hari kita boleh mengubah tata letak kamar orang yang meninggal.
Sebagian hatiku menghablur dan sebagian lainnya hancur berkeping-keping melihat kiriman foto itu.
Mendadak aku jatuh rindu kembali pada Mamaku.?Dan sesalku… rasa sesal itu seolah memuncak karena merasa tak mampu (bukan belum mampu lagi karena sudah terlambat) membahagiakan Mama yang sangat mencintaiku.
Kenapa kartu golongan darah?! tanyaku dalam hati.
Mungkinkah Mama berpikir andai terjadi apa-apa denganku di tempat jauh (saat itu aku merantau di Jogja) dan butuh darah, ia bisa menginformasikan ke penolongku bahwa golongan darahku adalah AB?
Ingatanku juga melayang dan mencoba menggali-gali bagaimana foto itu dibuat.?Meski aku lupa tanggal tepatnya, tapi foto itu dibuat pada sekitar awal tahun 1990an. Aku ingat dari kaos yang kukenakan adalah kaos yang kudapat saat pertama kali aku mengikuti beladiri Shorinji Kempo, 1991.
Waktu itu kami sedang berlibur ke Blitar, Jawa Timur mengunjungi Eyang dari Papa lalu Papa mengajak kami nyekar ke makam Bung Karno dan ia menjepretnya.
Tapi… kenapa Mama memasukkan foto dan kartu golongan darahku di dalam dompetnya?
Kenapa ia tak memasukkan foto Mbak Tini, orang yang kata Chitra begitu setia padanya hingga akhir hidupnya dan kepadanya Mama sangat menaruh perhatian?
Kenapa ia tak menyelipkan foto Pluto dan Ellen, dua anjing yang juga telah tiada yang juga sangat disayanginya?
Kenapa ia tak meminta Chitra untuk memasukkan foto Geo, keponakanku yang juga sangat jadi perhatian Mama sebelum ia meninggal?
Kenapa ia juga… tak memasang foto Papa, suaminya?
Kenapa justru yang dipasang adalah fotoku dan kartu golongan darahku?
Aku, orang yang tak pernah mampu menyempatkan diri untuk lebih lama dari sekadar sehari atau dua untuk menemaninya sejak aku memutuskan merantau ke Jogja pada 1993? Sekitar setahun atau dua tahun sesudah foto itu dibuat?
Kenapa ia justru menaruh foto orang yang mencari-cari sejuta alasan untuk mendapatkan legalitas diri bahwa ia memang tak perlu pulang ke Indonesia saat Mama membutuhkan dan dalam sakaratul mautnya?
Hingga beberapa jam setelah aku mendapatkan foto itu, aku masih terpaku dan pikiranku masih melayang-melayang membayangkan Mama. Entah, mungkin ini berlebihan tapi foto dan kartu golongn darah itu bagiku berkata lebih besar dari keberadaan fisiknya. Ia bicara tentang cinta yang besar, cinta yang ketika dibuat, oleh Sang Pembuat lupa tak diberi tanggal kadaluwarsa…Cinta seorang Mama.
Selamat memasuki minggu yang baru…
Dipublikasikan pada Hari Minggu Paskah IV, pada pesta nama Santo Anisetus, Paus dan Martir dan Santa Klara Gambacorta OP, Pengaku Iman.
0 Komentar