Risalah Akhir Pekan XLVII/2015

22 Nov 2015 | Cetusan

blog_risalah_47

Ada pertanyaan menggelitik dari pastor di akhir kutbah perayaan ekaristi yang kuikuti Sabtu sore kemarin.

?Kalau Yesus Kristus dirayakan hari ini sebagai Raja Semesta Alam, kenapa kekerasan demi kekerasan diijinkan terjadi di dunia ini??

Pertanyaan itu dilontarkan dengan nada suara bergetar. Sebelumnya ia mencoba mengais kenangan dari kejadian yang terjadi seminggu yang lalu, teror di Paris kemudian berlanjut di Mali…

?Sampai kapan?
Sampai kapan semua ini akan terus terjadi?
Kekerasan, perang, korban jiwa??

Ia lalu meninggalkan mimbar begitu saja. Keadaan gamang, umat jatuh dalam keheningan.

Aku mencerna kegamangan yang ditawarkan pastor itu dan pikiranku tertuju pada Yesus.

Iya ya!
Asemik! Jangan-jangan aku kena tipu! Apa benar Yesus adalah raja semesta alam? Siapa yang mengukuhkan padahal Ia hanyalah anak tukang kayu dari dusun Betlehem. Mana mungkin anak orang kayu jadi raja? Darahnya tak biru meski konon Ia keturunan Raja Daud sekalipun!

Menurut pengikutNya, Dari tangan Yesus lahir mejik!?Orang pesta perlu anggur, diubahkanNya dari air. Lima ribuan orang perlu makan, dilipatgandakannya dari hanya lima roti dan dua ikan. Orang mati dihidupkan, orang buta dibuatnya melihat dan orang lumpuh jadi berjalan. Cukup dong dianggap jadi Raja Semesta Alam?

Sebentar? Semua mejik itu seolah tak berarti lagi ketika Yesus menyerah begitu saja di Getsmani pada sebuah malam Jumat.

Dari sana Ia didera, diadili, disiksa lalu disalib hingga mati. Di kiri kanannya tergantung para pecundang. Ia sama sekali tak menggunakan mejikNya dalam sakaratul maut, pasrah begitu saja dan konon malah berteriak ?Allahku ya Allahku.. Kenapa Engkau meninggalkan daku?? Jadi, dari mana dan ketemu berapa perkara Ia bisa dianggap raja? Alam semesta lho kelasnya?!?

Tak berhenti di situ, jasadNya dilaporkan hilang pada hari ketiga. Oleh pengikutNya, hingga kini dan sepertinya selamanya, Yesus dipercaya bangkit dari maut dan naik ke Surga. Tapi menurut penguasa waktu itu, jasadNya disembunyikan lalu dikuburkan tanpa identitas oleh sekelompok orang.

Sekali lagi, bagaimana mungkin Ia adalah seorang ra?.ah wait? jangan-jangan Ia memang raja tapi kita salah mengartikan ajaranNya!?

Jangan-jangan Ia bukan raja damai tapi raja perang berkedok cinta damai??Bukankah Ia pernah bilang bahwa Ia datang membawa perpecahan? (bdk. Matius 10:34-35)?Jadi apa yang terjadi dan berdarah-darah sekarang ini justru semakin menabalkan Ia sebagai raja? tapi raja perpecahan?

Lalu permenunganku beralih ke peristiwa yang ditulis secara halus oleh Yohanes, murid kesayanganNya saat Yesus dihadapkan pada Pilatus.

Dalam penyelidikannya, di sebuah ruangan nan hening, Pilatus yang menjadi representatif Kaisar Roma di Israel bertanya, ?Engkau inikah raja orang Yahudi??

Pertanyaan itu dibalas dengan pertanyaan yang lainnya oleh Yesus, ?Apakah engkau katakan hal itu dari hatimu sendiri, atau adakah orang lain yang mengatakannya kepadamu tentang Aku?”

Tak berhenti disitu, Ia melanjutkan lagi, ?Kerajaan-Ku bukan dari dunia ini; jika Kerajaan-Ku dari dunia ini, pasti hamba-hamba-Ku telah melawan, supaya Aku jangan diserahkan kepada orang Yahudi, akan tetapi Kerajaan-Ku bukan dari sini.?

Jawaban itu rupanya membuat Pilatus gemas. Sekali lagi ia bertanya ?Jadi Engkau adalah raja?”

Yesus menjawab, “Engkau mengatakan, bahwa Aku adalah raja. Untuk itulah Aku lahir dan untuk itulah Aku datang ke dalam dunia ini, supaya Aku memberi kesaksian tentang kebenaran; setiap orang yang berasal dari kebenaran mendengarkan suara-Ku.”

Yesus yang cerdik!
Ia tidak memaksa orang untuk mengakuinya sebagai raja. Tapi, dalam perjumpaanNya dengan Pilatus, Ia mampu meng-afirmasi kebenaran tentang ke-raja-annya justru dari diri Pilatus sendiri!

Pilatus tak tahu mau bicara apa-apa lagi. Ia putus asa lantas keluar dari ruangan penyelidikan dan mengatakan pada khalayak bahwa ia tak menemukan satupun kesalahan dalam diri Yesus. Dari situ kita tahu bersama kelanjutannya, Yesus lantas dibandingkan dengan Barabas, penjahat besar dan rakyat memilih untuk membebaskan Barabas dan menyalibkan Yesus yang tak bersalah apapun…

Penerimaan Yesus sebagai Raja Semesta Alam, tergambar dalam percakapan itu tampak sebagai sebuah opsi, sebuah kerelaan.

Ia tidak memaksa. Ia tidak pula ekspansif. Tak seperti kisah raja-raja di dunia dalam melebarkan sayap kuasanya. Ia tidak mengancam, kekerasan tiada dalam kamusNya.

Untuk sekadar menelisik kebenaran bahwa Yesus adalah raja, kita dituntut untuk mengambil sikap sunyi saat jaman sedang riuh-riuhnya.

Sunyi pun tak cukup. Seperti tertulis di atas, dalam kesunyian itu kita perlu memihak pada kebenaran untuk bisa mendengarkan suaraNya? atau sebaliknya, kesunyian itu untuk mendengarkan suaraNya supaya kita memihak pada kebenaran.

Di ujung permenungan, aku lantas membayangkan para teroris, para pemimpin negara yang menyuruh pasukan-pasukannya menjatuhkan bom di daerah konflik? Jika mereka merelakan dirinya untuk menjalani kesunyian dan mendengarkan suaraNya, apa yang terjadi secara mengerikan terutama hari-hari ini tak kan pernah terjadi dan tercatat dalam sejarah kemanusiaan kita.

Jadi, adakah Yesus itu Raja Alam Semesta?
Dalam keheningan malam ini, beberapa jam sesudah perayaan ekaristi berakhir, aku tak bisa menemukan jawaban lain…

Kalau saya sih yes!

Domini Nostri Iesu Christi, Universorum Regis

Domini Nostri Iesu Christi, Universorum Regis

Dipublikasikan pada Hari Raya Tuhan Kita Yesus Kristus Raja Semesta Alam
Pada pesta peringatan Santa Sesilia, Perawan dan Martir serta
Santo Filemon, Rekan Sekerja Santo Paulus

Sebarluaskan!

1 Komentar

  1. Peperangan semakin canggih,medan perang smakin luas. Korbannya pun smakin banyak.

    Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.