Hari minggu kemarin aku, Joyce dan anak-anak mengantar seorang kawan yang pindah dari Sydney ke Exeter.
Exeter adalah sebuah kawasan kecil, 150km sisi selatan Sydney, bisa ditempuh dalam waktu 1.5 jam melalui jalur darat.
Tak banyak barang yang diangkut kawanku tadi. Hanya beberapa buah koper dan tiga tumpuk kardus yang semuanya muat ditaruh di bagian belakang mobil yang kukendarai sendirian sementara Joyce dan anak-anak menemani kawan tadi di mobilnya.
Dan memang bukan soal berat-ringannya barang bawaan yang kami pakai sebagai pertimbangan kenapa harus repot mengantar kawan tadi pindah kota melainkan karena kami mengerti perasaan yang dialaminya seperti yang dulu kualami saat pindah dari Jogja kemari.
Pindah bukanlah keputusan yang mudah. Tak pernah.
Layaknya tanaman yang sudah berakar di satu lahan, pindah itu adalah mencabut tanaman itu untuk ditanam ulang di lahan baru siap dengan akar-akar baru yang semuanya tentu butuh pengorbanan termasuk waktu.
Bergaul dengan lingkungan, tempat dan orang baru, meski menantang dan menyenangkan, tapi pada awalnya selalu bikin deg-degan. Apalagi kawanku itu tadi menghadapinya sendirian. Beda denganku, sembilan tahun lalu datang ke tanah ini bersama istri.
Exeter sendiri seperti kutulis di atas adalah sebuah kawasan kecil. Anggaplah kita harus merepresentasikannya sebagai kota, ia adalah kota yang hanya terdiri dari sekitar tiga buah toko, sebuah lapangan tempat warga berkumpul, stasiun kereta, sekolah, gereja kecil nan tua dan toilet publik sebelah-menyebelah dengan halte bus untuk mengangkut penduduk ke Moss Vale, kota terdekat dengannya.
Kawanku itu mendapat pekerjaan jadi manajer dari salah satu toko tersebut. Kepindahannya kemari adalah salah satu prasyarat yang harus ditempuh untuk mendapatkan ijin kependudukan tetap di Australia.
Namun Tuhan memang seperti tak pernah membiarkan ?anak-anakNya? berjuang seorang diri. Kawanku tadi mendapat rumah inap yang lebih dari sekadar layak. Rumah asri ber-attic cantik milik seorang ibu sepuh yang juga adalah ketua komunitas di area itu. Kalau dalam istilah Indonesianya barangkali kawanku tadi tinggal di kost-kostan yang disewakan Bu RT, jadi aman lah!
Tiga jam setelah membantunya angkat-angkat barang dan membiasakan diri dengan lingkungan, kamipun pamit pulang.
Ada haru meski tak terlalu kental tapi bukankah semuanya harus terus berjalan tanpa terlalu banyak rasa perlu kita tinggalkan?
Selamat menjalani minggu yang baru, Tuhan memberkati!
Dipublikasikan pada Hari Minggu Biasa XXXII
pada peringatan Santo Yosafat Kunzewich, Uskup dan Martir, Santo Nilus dari Sinai, Rahib dan Pengaku Iman
0 Komentar