Risalah Akhir Pekan XLIX/2015

6 Des 2015 | Cetusan, Risalah Akhir Pekan

blog_risalah49

Minggu lalu, bertepatan dengan minggu Advent pertama di tahun 2015 aku mengamati hidup dan perjumpaan.

Hidup, bagiku, adalah perjumpaan. Layaknya sebuah tanah lapang luas, kehidupan menempatkan kita bersama milyaran manusia lainnya di sana. Kita saling berinteraksi dan berjumpa satu sama lain.

Masing-masing dari kita, kecuali menerka, tak tahu berapa lama perjumpaan akan berusia dan berapa kali kita akan saling berjumpa lagi. Kadang kita bertemu dengan seorang kawan selama enam tahun, lalu berpisah dan bertemu lagi di tempat baru dengan suasana yang baru untuk sekian lama sebelum akhirnya berpisah lagi. Ada pula yang hanya berjumpa sekali, hanya lima menit, lalu sudah tidak lagi untuk selama-lamanya.

Tapi satu hal yang tak bisa disanggah, sepanjang dan seberapa sering pun perjumpaan tersebut, suatu waktu pasti akan terpisahkan juga. Pada saatnya, kita akan dipanggil keluar dari lapangan untuk beristirahat dan pemain pengganti dimasukkan. Demikian, terus-menerus, ganti-berganti…

Minggu lalu aku kehilangan Mak Ndhuk yang kuceritakan kamis silam. Ia meninggal dunia hanya setengah bulan setelah adiknya, Mbak Benik mendahului menuju pada keabadian (simak tulisanku tentang Mbak Benik di sini). Aku mengabadikan foto bersama mereka awal Maret 2015 silam saat berkunjung menjenguk Mama yang sakit.

wefie dengan Mak Ndhuk, Maret 2015 silam. Ini barangkali foto pertama tapi yang pasti ini adalah foto terakhirku dengannya.

wefie dengan Mak Ndhuk, Maret 2015 silam.
Ini barangkali foto pertama tapi yang pasti ini adalah foto terakhirku dengannya.

Ketika aku menatap foto sebelum kuunggah ke blog, tiba-tiba aku jatuh dalam pemikiran yang menyisakan pertanyaan cukup dalam: Apakah saat hendak memencet tombol kamera di gawai-ku Maret silam aku berpikir bahwa foto itu akan jadi yang terakhir dengan mereka?

Kalau melihat kondisi Mak Ndhuk yang sudah renta dan sakit-sakitan, mungkin bisa jadi demikian. Tapi bagaimana dengan Mbak Benik? Meski sudah sepuh, kala itu ia sehat-sehat saja tapi kok ia lebih dulu yang meninggal tanpa diduga sebelumnya?

Wefie dengan Mbak Benik, adik Mak Ndhuk yang meninggal setengah bulan lebih awal dari Mak Ndhuk.

Wefie dengan Mbak Benik, adik Mak Ndhuk yang meninggal setengah bulan lebih awal dari Mak Ndhuk.

Bagaimana pula dengan fotoku bersama almarhum Iwan Santoso yang ku-captured pada beberapa hari setelah pertemuanku dengan Mak Ndhuk dan Mbak Benik? Siapa sangka foto wefie dengan kawan satu TK dan satu SMA (pernah satu perusahaan, satu rumah) di halaman depan Hotel Perdana Klaten itu menjadi foto terakhirku dengannya karena dua bulan kemudian ia meninggal dunia karena serangan jantung mendadak? (Simak tulisanku tentang alm. Iwan Santoso di sini)

Ini adalah foto terakhirku dengan Iwan Santoso (alm). Malam saat ia mengantarkanku kembali ke hotel, Maret 2015. Iwan ada di sudut kanan

Ini adalah foto terakhirku dengan Iwan Santoso (alm). Malam saat ia mengantarkanku kembali ke hotel, Maret 2015. Iwan ada di sudut kanan

?Hidup ini penuh misteri, Don! Rangkulah (hidup ini) dirasakan saja!? tukas seorang kawan yang kebetulan adalah padri jesuit pada suatu sore saat aku mengungkapkan rasaku terhadap hal ini.

Aku setuju, hidup adalah misteri dan misteri mana yang tak membuat kita penasaran, kan?

Pelajaran tentang hidup dan perjumpaan kembali ketemui dari apa yang dirasakan kawan lama sekaligus adik kelasku di De Britto dulu, Dinto. Minggu lalu, istri tangguhnya harus pergi meninggalkannya dan ketiga anak-anak yang masih kecil-kecil kepada keabadian. Ia sakit, sakit yang boleh dibilang cukup mendadak.

Menurut informasi yang kudapat, Dinto bekerja di Jakarta sedangkan anak-anak dan istrinya menetap di Jogja. Beberapa jam setelah mendengar berita duka itu, benakku mencoba merekontruksikan bagaimana mereka bertemu untuk yang terakhir kalinya.

Mungkin mereka bertemu terakhir kali pada seminggu atau beberapa minggu sebelum istrinya meninggal.

Mungkin mereka berpisah di peron Stasiun Tugu saat kereta hendak mengantar Dinto ke Jakarta, atau di halaman Bandar Udara Adisucipto Jogja atau mungkin hanya di halaman rumah?

Mungkin juga tak ada perpisahan yang macam-macam karena mereka beranggapan bahwa beberapa hari/minggu lagi toh mereka akan berjumpa lagi seperti biasanya.

Tapi tak ada yang biasa dalam hidup ini. Beberapa hari kemudian, masih dalam bayanganku, Dinto menerima kabar nan mengejutkan bahwa istrinya sakit, tak lama kemudian meninggal.

Akankah ia menelisik, apa dan bagaimana pertemuan terakhirnya dengan sang istri yang mengakhiri perjumpaan untuk selama-lamanya selama hayat dikandung badan?

Bagaimana kita merekam pertemuan terakhir kita dengan orang-orang yang kita jumpai? Akankah ia bagian dari kemisterian hidup itu sendiri?

Ingatanku terlempar ke Sumbawa, tiga belas tahun silam dan kisah ini kujadikan sebagai akhir permenungan risalah kali ini.

Aku dan VR, waktu itu, ditugaskan perusahaan pergi ke sana untuk mengumpulkan data guna membangun situs web pemerintahan daerah.

Salah satu obyek yang harus dimasukkan ke situs adalah informasi tentang sebuah resort megah yang mengedepankan unsur alami dan terletak di Pulau Moyo, pulau kecil di sisi utara perairan Sumbawa.

Konon, Lady Diana (alm), Nicolas Cage, hingga Baby Spice (Spice Girl) pernah bermalam ke sana.

Pagi itu, menggunakan ferry berkecepatan tinggi, kami pergi ke sana bersama beberapa rekan dari aparat pemerintah daerah. Ketika ferry merapat, di ujung sana, seorang yang lantas kami kenal sebagai Mbak Agustin, menyambut kami dengan ramah. Ia rupanya ditugaskan resort untuk mendampingi kami ?jalan-jalan? hari itu.

Mbak Agustin bekerja sebagai public relation officer dan ia adalah seorang putera daerah. Dari penampakan, cara bicara dan keluwesannya, tampak jelas ia adalah seorang yang sangat terdidik. Bahasa Inggrisnya juga brilian, sudah tentu ini jadi standard dari pihak resort untuk mempekerjakan orang.

Usianya kutaksir tak beda jauh di atasku dan sepanjang hari kami dibawa berkeliling resort dan pulau. Ia tak bosan menjawab pertanyaan-pertanyaanku yang lantas kurangkum dalam catatan sementara VR mengabadikan momen dalam kamera digitalnya. Sesekali ia juga bertanya suka-duka hidup sebagai seorang web developer kepadaku dan VR.

Interaksi itu terasa begitu hangat meski hanya sekitar enam jam umurnya karena sebelum petang kami harus sampai kembali ke pulau utama, Sumbawa.

Menjelang sore, kami berpamitan di tempat yang sama ia menyambut tadi pagi. Ia menunggu di dermaga hingga kapal kami membelok dan ia hilang dari pandangan.

Sambil duduk santai di kursi kapal aku meminjam kamera VR dan melihat jepretan-jepretannya.

?Menyenangkan ya…?
?Apa??
?Ngobrol dengan Mbak Agustin tadi??
?Iya?

Aku menghirup nafas dalam-dalam tatapanku nanar ke laut lepas.

?Kalau dipikir-pikir kapan lagi kita bisa bertemu dengannya?? VR diam. Ia juga larut dalam lamunan.

?Kita kan ngga kemari lagi ya. Foto dan data sudah masuk semua, tinggal masukin ke web, proyek selesai, kita dibayar dan kita ga kemari lagi!?

VR masih diam beberapa saat sebelum akhirnya menjawab. Jawabannya adalah hal yang selalu kuingat hingga sekarang dan selama-lamanya.

?Ada orang yang diciptakan hanya untuk bertemu sekali. Ada yang diciptakan untuk bertemu berkali-kali. Tapi pada akhirnya semuanya akan sama saja, …akan tak bertemu lagi?. berpisah.?

Sore itu, yang masih bisa kuingat dari repihan ingatanku, matahari yang sudah sangat condong ke barat tampak lebih temaram dari biasanya. Daratan Sumbawa semakin mendekat, lalu lalang orang yang saling berjumpa dengan rekan hidupnya tampak dari tepian kapal. Sementara angin sepoi-sepoi dari timur yang menggelap menyiratkan bahwa malam itu suhu udara akan memeluk lebih dingin dari malam-malam sebelumnya.

Selamat memasuki Minggu Advent yang kedua. Resapi setiap perjumpaan hidup dengan siapapun. Syukurilah! Setidaknya kita masih berada di tanah lapang nan luas yang bernama kehidupan dan diijinkan berjumpa dengan sesama.

Dipublikasikan pada Hari Minggu Advent II
pada pesta nama Santo Nikolas dari Myra, Uskup dan Pengaku Iman

Update terbaru, 31 Desember 2015:

Waktu bongkar-bongkar harddisk lama, aku akhirnya nemu foto Mbak Agustin (yang ternyata waktu itu kupanggil Mbak Tini. Tapi karena aku tak tahu apakah beliau berkenan atau tidak fotonya kutunjukkan di sini, wajahnya kusamarkan untuk menjaga privasi. Oh ya, aku yang duduk di sebelah sana.

Aku juga nemu catatan yang kubuat pada malam hari setelah kunjungan itu serta catatan yang kubuat pada hari terakhir kunjungan kerjaku di Sumbawa. Aku juga jadi tahu tanggal tepatnya kunjungan itu yaitu 25 Juli 2003!

Aku dan Mbak Agustini, 25 Juli 2003

Aku dan Mbak Agustini, 25 Juli 2003

Catatan yang kubuat malam hari setelah kunjungan. Aku dan VR berdiskusi...

Catatan yang kubuat malam hari setelah kunjungan. Aku dan VR berdiskusi…

Catatan dua hari sesudahnya, malam sebelum aku meninggalkan Sumbawa.

Catatan dua hari sesudahnya, malam sebelum aku meninggalkan Sumbawa.

Sebarluaskan!

1 Komentar

  1. Quote yang terakhir itu “mendalam” ya. Sebenarnya begitulah hidup ini, sesuai quote itu.

    Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.