Risalah Akhir Pekan XLIII/2016

24 Okt 2016 | Risalah Akhir Pekan

Selasa silam adalah hari peringatan pernikahanku ke-8 tapi pagi-pagi benar aku sudah dikejutkan oleh sebuah berita tak mengenakkan.

Wajah seorang mantan kawan kerja di perusahaan terdahulu muncul di siaran berita televisi nasional Australia. Dilaporkan, ia beserta istri, dua anaknya dan anjing peliharaannya meninggal secara misterius di dalam rumah yang terkunci di kawasan utara kota.

Hingga tiga hari sesudahnya, kanal berita online dan televisi lokal banyak mengulas kisahnya dan sungguh, menyimak semuanya membuatku hampir tak percaya.

Menurut laporan sementara, almarhum kawanku itu melakukan bunuh diri massal menggunakan gas karbon monoksida yang dipasang dan disalurkannya ke seisi rumah. Sementara polisi masih bekerja, berbagai macam ‘drama’ diulas di media membuatku akhirnya merasa tak perlu mengikuti karena tak tega dan sebombastis apapun drama toh tak kan mengembalikan mereka sekeluarga.

Meski hubunganku tak terlampau dekat dengannya dulu, tapi kami pernah bekerja dekat dalam dua buah proyek bersama-sama. Aku menyebutnya sebagai seorang technologist karena meski tak menguasai teknis hingga ke detail, ia mengerti prinsip-prinsipnya. Sosoknya hangat, seorang Katolik yang taat dengan latar belakang Amerika Latin dan dalam beberapa kali pertemuan kerap bercerita tentang keluarga dan dua anak kesayangannya yang hidup dalam ‘spektrum’, istilah yang dipergunakan untuk menyebut anak berkebutuhan khusus penyandang autisme.

Kalau begitu kenapa ia nekat berbuat seperti itu jika benar? Bukankah semua tampak sempurna bahkan setelah kulongok di akun Linkedin-nya, kariernya begitu melejit karena jabatan terakhirnya adalah CEO sebuah perusahaan cargo regional?

Risalah Akhir Pekan

Pikiranku bergumul tanpa henti merekonstruksi dugaan demi dugaan bagaimana ide untuk bunuh diri itu muncul, bertumbuh dalam pikirnya lalu berkeputusan dan mengeksekusi keputusan tersebut. Hingga akhirnya seorang kawan kerja di kantor berkomentar, “Ngapain kamu pikir begitu? Ia berkeputusan! Kita hormati saja keputusannya…”

Aku meninggi. “Menghormati? Are you kidding me? Bagaimana anak-anaknya? Istrinya? Dirinya sendiri? Apa menurutmu ini bukan kasus berat sehingga kita masih perlu menghormatinya?”

Kami lantas berdebat dan diskusi. Kawanku tadi kelahiran Australia. Ia mengutarakan pendapat berdasarkan keyakinannya bahwa betapa pentingnya memelihara kebebasan berkeputusan termasuk keputusan terpahit sekalipun.

Aku yang kelahiran Indonesia dan mengaku beragama mengajukan keberatanku juga berdasarkan keyakinanku…hingga akhirnya kami sama-sama tersadar bahwa sedahsyat apapun perdebatan kami pagi itu tak akan mengubah apa yang sudah terjadi sementara waktu untuk project meeting pagi itu sudah kian dekat.

“O well…. Aku akan mendoakannya, mendoakan mereka!” tukasku menyudahi.

“What?! How come?” Ia berdiri menatapku.
“Kenapa?”

“Hahahaha…. Bukankah dalam Katolik bunuh diri itu dosa berat? Kenapa masih kamu doakan? Apakah masih perlu? Apa jangan-jangan kamu menganggap kasus ini bukan kasus berat juga?”

Aku terdiam. Sesaat kemudian aku ikut terbahak. Kalau dalam kamus Pak Umar Kayam, komentar yang paling cocok untuk membahasakan keadaan ini adalah ‘touche’!

Selamat menyambut minggu yang baru, tetap semangat karena akhir tahun sudah tinggal sepelemparan batu jauhnya!`

Dipublikasikan pada Hari Minggu Biasa XXX,
pada pesta Santo Yohanes Kapistrano, Pengaku Iman, Suster-suster Ursulin dari Valenciennes, Martir

Sebarluaskan!

0 Komentar

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.