Day light saving yang dimulai sejak awal minggu lalu seperti sudah kuperkirakan dan seperti sudah menjadi kebiasaan yang terjadi tahun-tahun sebelumnya: disambut meriah banyak orang di sini!
Ia seperti infotainment renyah yang mengganti siaran agama nan membosankan, ibarat sedang nongkrong sore hari di teras rumah sepulang kerja sementara suara istri marah-marah terdengar dari dalam rumah lalu tiba-tiba anak gadis tetangga yang baru lulus sma nan ranum lewat depan rumah setelah mandi sore lengkap dengan aroma sabun mandinya dan tebaran senyum semanis-manisnya!
Matahari muncul lebih lama dari musim dingin yang baru saja berlalu. Itulah ciri dari day light saving. Bangun pagi sudah terang, pulang kantor masih terang kalau nggak banyak lemburan!
Ini belum seberapa, nanti pas musim panas, tepatnya 22 Desember 2015, matahari bisa lebih kerasan lagi menyinari benua; terbit jam 5:45 pagi dan tenggelam baru jam 20:18 malam harinya!
Sementara pekerjaanku masih sibuk dan ini membuatku belum bisa menikmati pulang kerja dengan keadaan hari masih terang tapi aku tetap bersyukur karenanya.
Kenapa? Setidaknya masih diberi pekerjaan dan rejeki! Bukankah itu harus disyukuri??Selain itu, menjadi sibuk dalam kerja itu bagiku justru membuatku makin mencintai pekerjaan itu sendiri.
Aku harus bersicepat dengan waktu hari-hari ini, mengejar proyek-proyekku kelar sekilat mungkin.
Bukannya tanpa alasan, Natal beserta libur panjangnya, 23 Des – 11 Jan akan datang sebentar lagi dan konsentrasi orang untuk bekerja termasuk aku, anak buah dan bahkan klienku sudah makin hilang fokus karena sibuk mereka-reka rencana apa yang akan dilakukan mengisi liburan sepanjang itu.
Jadi kalau bisa proyek tahun ini harus selesai jangan sampai menyisakan (istilah kawan-kawan di sini hangover) di bulan yang menurutku justru harusnya lebih santai dari Desember yaitu Januari.
Kerja dengan intensitas ?yak-yakan? seperti itu juga ternyata mampu membuat kegalauanku tentang pencarian tempat kerja yang baru beberapa bulan lalu terkikis.
***
Ada berita duka minggu yang lalu.
Angga, demikian aku memanggilnya. Ia adalah kawan yang aku sendiri lupa kapan tepatnya berkenalan dengannya tapi ia adalah seorang yang pernah membaca blog ini secara serius.
Sebelum pindah ke Australia, aku pernah mengundangnya bersama anak-anak dan istrinya untuk datang pada sebuah makan malam di warung makan di utara kota Jogja.
Setelah aku berdomisili di sini, aku tak hilang kontak dengannya.?Aku mengikuti linimasa facebooknya sedangkan ia tetap rajin berkomentar di tulisan-tulisanku.
Salah satu persinggungan yang cukup intim antaraku dengan Angga adalah ketika Papa meninggal, 2011 dan aku merilis tujuh tulisan yang kujadikan kenangan terhadap Papa. Nah, Angga adalah salah sedikit orang yang sangat menikmati serial itu.
Salah satu dari testimonialnya yang akan selalu kuingat meski tak ia tuliskan sebagai komentar di blog ini adalah apa yang tampak di bawah ini:
Tapi setelah serial itu, Angga jarang menuliskan komentarnya lagi di sini. Pernah sekali aku bertanya kenapa kepadanya dan ia menjawab bahwa ia tetap membaca meski tak berkomentar. Sejak awal mula ngeblog, aku bukanlah orang yang mengharapkan jumlah komentar dari setiap tulisan harus sekian, tapi kehilangan komentar-komentar Angga di blog ini adalah kehilangan yang tak kubuat-buat karena komentarnya beda, cerdas dan terasa benar ia muncul dari hati, bukan sekadar ?Yang penting udah komen di blognya DV!?
Hingga akhir September lalu, kami pun masih berhubungan meski singkat.
Tujuh Oktober 2015 silam, sepulang kerja Joyce yang baru mengamati facebook berujar,
?Hon, ini kok ada temanmu yang nggak ada lagi??
?Hah? Maksudnya? Siapa??
?El Kucing??
Aku kaget. ?Serius??
Segera kubuka handphoneku untuk mengakses facebook dan ternyata benar. Angga telah berpulang karena sakit dalam usia yang kira-kira sebaya denganku. Ia meninggalkan keluarga yang tentu masih sangat butuh keberadaannya dan perhatiannya.
Aku bukanlah teman dekat Angga. Tapi sejak beberapa hari sebelum kepergiannya, entah ini firasat atau sekadar kebetulan, aku sedang suka lagi lagu lawas milik Queen yang berjudul No-One but You (Only the Good Die Young).
Roger Taylor, drummer Queen menyanyikan lagu ciptaan Brian May (gitaris) ini pada 1997 untuk mengenang kematian Freddy Mercury sang vokalis yang pergi kepada keabadian enam tahun sebelumnya.
Seminggu yang lalu, aku menyanyikan lagu itu untuk mengantar Angga pulang keabadian bersatu bersama kawan-kawanku lainnya yang juga ?die young? baik yang pernah kutulis di blog ini maupun mereka yang cukup kutulis dalam hati dan kubawakan dalam doa untuk ketenangan jiwanya.
Selamat jalan, Ngga!
Selamat bertemu dengan Bapakku, Stanislaus Didiek Hardiono yang kau cermati betul lewat tulisan-tulisanku dulu. Doaku untuk ketenangan jiwamu dan kelanjutan hidup anak-anak serta istrimu. Pada saatnya nanti, kita akan berjumpa lagi…
One by one
Only the Good die young
They’re only flyin’ too close to the sun
And life goes on
Without you…
(Queen)
Dipublikasikan pada Hari Minggu Biasa XXVIII
Mas Don, aku nggak siap jika harus menerima apa itu “kematian”. Jujur saja, aku tidak bisa membayangkan apabila harus terpisah secara ragawi terhadap orang yang dicintai. Aku tahu bahwa Tuhan akan menjaga mereka yang berpulang dalam pangkuan-Nya, tetapi aku menyangkalnya dan tetap bersikeras: “Dia sudah tidak ada lagi!”
Aku jadi ingat tanteku yang sudah berpulang lama, belum pernah bertemu sih tetapi entah kenapa aku menangis dengan kerasnya ketika hari pemakamannya. :'(
Ikut berduka cita. Semoga keluarganya dikuatkan.