Satu dua orang bertanya kepadaku kenapa aku tak tertarik untuk ikut urun suara tentang Pilkada Jakarta. Jawaban tersingkatku adalah karena aku bukan warga Jakarta, tak ber-KTP Jakarta :)
Jawaban terpanjangku bisa amat panjang, tapi yang bisa kujadikan bahan tulisan Risalah Akhir Pekan kali ini dan tak terlalu panjang kuawali dengan satu pernyataan: karena saya bukan blogger yang tipenya trend follower.
Mata pencaharianku bukan dari blogger bukan pula dari hal yang didukung dengan kencang lirihnya suara yang kubentangkan di blog ini.
Beda misalnya dengan seorang stand up komedian yang tenar itu. Dia perlu bersuara dan suaranya perlu didengar supaya tetap laku dan dapur mengepul sehingga sesekali bikin suara yang sumbang dan memancing perhatian banyak orang adalah sebuah berkat. Apalagi citranya kan kadung progresif, kalau nggak bikin sesuatu yang mengejutkan mau jadi apa dia…
Beda pula dengan misalnya seorang yang jualannya memang retorika pendidikan tentu penting juga untuk turut riuh di Pilkada membela si mantan menteri itu.
Dan sebenarnya sikapku yang tak mudah tergoda untuk larut dalam gempita politik itulah yang membuatku langgeng menulis. Bukannya tak pernah, kalau kalian ingat, tahun 2014 blog ini pun ramai kupakai untuk mendukung Jokowi, tapi di akhir tahun 2014, akhirnya aku merasakan lelah, merasa “Untuk apa setelah semuanya berlalu?”
Jadi? Aku mengamati saja dari jauh karena sejatinya ajang Pilkada di Jakarta itu memang amat menarik.
Fokus waktu luangku malah kutuntaskan di dokumenter menarik bertajuk World War (WW) II in Color. Sebuah serial 13 babak dokumentasi sejarah Perang Dunia II (World War II) yang kuakses via Netflix menceritakan jalannya perang besar itu sejak kebangkitan Jerman melalui Nazi besutan Adolf Hitler hingga kemenangan Sekutu di Pasifik.
Yang membuat paling menarik adalah, sesuai judulnya, film dokumenter itu hadir dalam sinema warna dan bukannya hitam putih. Dengan sentuhan teknologi, dokumentasi-dokumentasi itu hadir amat jernih seolah-olah kita sedang menyaksikan film fiksi saja.
Dan ini membuat semakin menarik karena kadang-kadang tersadar, “Eh ini for real nggak sih? Kok waktu itu sudah ada pendokumentasi yang peduli untuk merekam semuanya…”
Aku belajar banyak hal dari film yang kutonton tiap pagi dalam perjalanan ke kantor, siang saat istirahat makan, sore hari ketika pulang dari kantor dan malam hari saat nongkrong di toilet sebelum mandi.
Masih banyak hal yang perlu dan bisa disimak, dipelajari dan dinikmati dari dunia ini, tak melulu soal politik, tak melulu soal anies, agus apalagi ohak-ahok melulu.
Selamat menyambut minggu yang baru.
Dipublikasikan pada Hari Minggu Biasa XXVII, pada pesta Para Malaekat Pelindung, Santo Leger atau Lutgar, Martir.
0 Komentar