Minggu lalu aku belajar untuk keluar dari kungkungan asumsi dan menggunakan fakta yang terkonfirmasi sebagai landasan bersikap selanjutnya.
Bekerja sebagai konsultan, salah satu tantangannya adalah harus benar-benar memperhatikan apa yang dikerjakan dalam waktu yang telah disepakati lalu memasukkannya ke dalam timesheet setiap akhir minggu.
Hal ini penting terkait dengan anggaran yang ditetapkan klien dan biaya yang akhirnya harus dikeluarkan olehnya untuk menggunakan jasa konsultasiku. Kalau kita menggunakan waktu secara tak seksama, biaya bisa lebih besar dari anggaran, klien naik pitam. Menggunakan waktu terlalu irit dan lebih kecil dari anggaran, perusahaan tempat kita bekerja bisa jadi yang kebakaran jenggot karena keuntungan yang didapat jadi berkurang dari yang diperkirakan sebelumnya.
Salah satu account manager kamis lalu mengirimiku pesan singkat tapi ‘nylekit‘, “Kamu menghabiskan waktu 40 jam untuk mengerjakan hal kecil?”
Aku kaget, mak jenggirat dibuatnya.
Apa-apaan ini? Kenapa tidak melihat dulu detail yang kukerjakan? Kenapa tak ingat dan tak membaca ulang email yang kukirim bahwa aku akan mengambil waktu sekitar satu minggu karena apa yang ditinggalkan konsultan sebelumnya hancur lebur dan aku perlu memperbaikinya?
Jangan-jangan ia tak percaya kepadaku?
Jangan-jangan ia meremehkanku dan menganggap aku maling waktu? Jangan-jangan ia merendahkanku dan menganggapku tak capable untuk mengerjakan perbaikan itu? Dan banyak ‘jangan-jangan’ lainnya, banyak asumsi lainnya.
Aku lantas sadar diri. Aku tak mau terperangkap lebih jauh pada bayang-bayang ‘asumsi’. Aku tak mau meladeni tuduhan-tuduhan itu, bergegas kutelpon bosku.
Aku menjelaskan keberatanku kepadanya, “Aku berasumsi bahwa aku dipertanyakan kemampuan dan kejujurannya, Bos!”?Boss-ku paham betul gelagat tersebut. Sebagai seorang konsultan, aku tak boleh bekerja dalam keadaan ‘unhappy‘, ia pun menghiburku, “OK, aku mengerti! Besok aku akan mengajak ia berdiskusi untuk klarifikasi.”
Hari berikutnya, account manager itu mendatangiku dan bilang bahwa ia tak bermaksud untuk menganggapku tak mampu, tak bermaksud untuk menganggapku tak jujur.
Aku diam saja. Keterdiamanku karena aku tak mau terjun ke asumsi lainnya bahwa ia seolah jujur mengatakannya. Jujur itu penting tapi bagiku kejujurannya tak penting sama sekali bagiku hehehe.
Sekejap kemudian ia seolah mengerti apa yang kumau, ia meminta maaf dan cairlah permasalahannya. Aku mengharapkan permintaan maafnya bukan karena aku gila hormat dan ‘gila maaf’ tapi lebih karena asumsiku bahwa ia tak jujur pada akhirnya runtuh dengan konfirmasi bahwa ia menyatakan maaf sebagai akibat dari perbuatannya yang tak menyenangkanku.
Ini barangkali hal yang sepele tapi aku setelah hampir 40 tahun aku berusaha lepas dari asumsi bahwa ini adalah hal yang sepele dengan cara menganalisa ?betapa runutan pikir dan proses alamiah manusia yang tak singkat terdapat di balik ‘hal sepele’ ini.
Selamat memasuki minggu yang baru, Tuhan berkati.
Dipublikasikan pada Hari Minggu Prapaskah V pada pesta nama Santo Fransiskus dari Paula, Pertapa, Santa Teodosia, Perawan dan Martir, Santa Maria dari Mesir, Pengaku Iman.
0 Komentar