Risalah Akhir Pekan IX/2017

28 Feb 2017 | Risalah Akhir Pekan

Sudah setahun lebih aku menuliskan serial Kabar Baik tapi baru beberapa hari silam tersadar bahwa ternyata banyak pola pandang yang kutuang dalam renungan Kabar Baik tak sesuai dengan apa yang ada dalam benak pembaca.

Beda pendapat itu biasa tapi ini lebih dari sekadar hal itu, tapi lebih pada cara pandang tentang hidup dan tentang Kabar Baik itu sendiri utamanya setelah hampir sembilan tahun aku bermukim di negara liberalis seperti Australia.

Misalnya saat aku menulis Kabar Baik Vol 54/2017 yang kuberi tajuk Garam hambar nan membatu, melarang orang berpakaian seksi karena takut ia sendiri yang jatuh ke dalam nafsu? (yup, judulnya panjang bener yak! Baru nyadar hahaha!) Di sana aku menyatakan betapa ada orang yang berpikir bahwa saat terjadi pemerkosaan atau sex abuse, yang patut dipersalahkan adalah karena si obyek mengenakan pakaian minim yang mengumbar aurat.

Hingga di titik ini semua masih sepakat (kebanyakan sepakat) tapi ketika aku bilang bahwa kita tidak berhak menasihati orang-orang yang berpakaian minim, pembicaraan di grup WA Kabar Baik yang kukelola terbelah! Ada yang sepakat, ada pula yang merasa harus menasihati.

Bagiku, kita tak berhak menasihati kecuali kalau seseorang minta dinasihati karena di Australia sini, hal seperti itu bisa dianggap sebagai perlakuan yang tak menyenangkan dan bisa diajukan ke pengadilan kalau sudah kelewatan. Tapi aku juga mengerti, bagi sebagian kalangan, menasihati adalah satu kewajaran bahkan wujud kepedulian sehingga ketika tak menasihati berarti tak peduli. Nah, bingung, kan? Mana yang benar?

Aku sempat bergumul dalam pikir,apa yang perlu kulakukan untuk menulis renungan selanjutnya? Perlukah aku mengganti style? Tapi ini bukan perkara style. Perlukah aku mengganti audiens pembaca, tapi mana mungkin karena secara organik blog ini telah tumbuh dalam ke-indonesia-an sejak lima belas tahun silam.

Akhirnya aku memutuskan untuk melanjutkan saja apa yang telah kulakukan saat ini. Bagiku toh renungan Kabar Baik memang kususun dari apa yang kupikirkan bukan yang orang lain pikirkan. Masalah penerimaan, bukankah ini era terbuka? Siapa saja bebas membaca, siapa saja berhak untuk melewatkan.

Oh ya, sabtu kemarin Jokowi datang ke Sydney, Australia dan sudah sejak pertengahan minggu lalu, deretan kawan-kawan Indonesia yang tinggal di Sydney gegap gempita menyambutnya. Aku sendiri merasa biasa saja.

Kenapa? Ya karena tak ada yang perlu digegapgempitakan, kan? Aku memilih untuk tidak hadir dalam penyambutan Presiden RI ke-7 itu.

Jangan salah tangkap! Aku tak bermaksud sinis. Aku tak datang karena jadwal akhir pekanku selalu penuh dengan acara keluarga mulai dari nganter anak-anak ke ballet class lalu berenang, aku juga harus menyiapkan pelayanan musik di Gereja. Jadi membayangkan harus antri berjejal di Darling Harbour untuk bertemu Jokowi, aku lebih memilih mencari rekaman acaranya saja di Youtube, apa bedanya?

 

Selamat menyambut minggu yang baru, Tuhan berkati!

Dipublikasikan pada Hari Minggu Biasa VIII pada pesta nama Santo Alexandros, Pengaku Iman dan Santo Didakus Carvalho, Martir.

Sebarluaskan!

0 Komentar

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.