Aku percaya bahwa tempat dimana kamu tinggal itu turut mempengaruhi perubahan wujud tubuh, wajah bahkan perangai seseorang.
Dulu waktu masih di Jogja, menurutku semua orang Jakarta itu cenderung lebih putih, wajahnya memucat. Mungkin karena AC, mungkin karena taraf hidup mereka yang menurutku lebih baik sehingga bisa lebih rajin datang ke pusat pemeliharaan kulit.
Setelah aku pindah ke Australia, aku melihat wajah-wajah mereka yang tinggal di Jogja itu tak semuanya ganteng dan cantik, tapi cenderung bersahaja dan bersahabat, semanak istilah jawanya. Mungkin karena mereka tinggal di kota yang perangainya berhati nyaman.
Aku sendiri, menurut kawan-kawan lama, sekarang cenderung mem-bule, tambah putih, kata mereka. Sebagian lain tak mengomentari perubahan wujud fisikku tapi lebih ke bahasa tubuh. Seperti Pak Thomas, kawan yang dulu adalah klienku waktu beliau masih mengurus museum Ullen Sentalu dan rumah makan Beikenhoff-nya. Waktu aku pulang ke Indonesia tahun 2012 dan menyempatkan mampir ke sana, komentar pertama Pak Thomas menarik untuk disimak, “Kamu berubah banyak, Mas. Bukan fisik, tapi bahasa tubuhmu itu sudah bukan orang Jogja lagi, sudah ngaustralia!”
Nah, bicara soal ‘Ngaustralia’, aku tak sendirian. Tunggonono pun sekarang sudah nggak Nyleman (Sleman, asalnya) lagi tapi Ngaustralia kini!
Ya, akhirnya aku kemarin bertemu dengan Tunggonono.
Kalau kalian pembaca lama yang menikmati tulisan-tulisan di blogku sejak setidaknya enam tahun silam, Tunggonono adalah sosok mantan satpam yang opini-opininya tentang apapun yang kami bincangkan lantas kutulis di sini. (Simak galeri tulisan terkait ‘Tunggonono” di sini).
Tunggonono sejak dua tahun lalu pindah ke Sydney, Australia ikut pacarnya yang adalah seorang Aussie, Cathy.
Tapi tak seperti di Jogja dulu, di Sydney, intensitas pertemuanku dengan Tunggonono malah amat jarang. Habisnya mau gimana lagi? Weekdays kami sibuk bekerja hingga larut, weekend kami sibuk dengan keluarga kami masing-masing.
Awal-awal ia pindah dulu, beberapa kali masih sering bertukar kabar via WA atau SMS tapi lantas menghilang hingga akhirnya Rabu silam entah angin apa yang menerbangkannya, pesan Tunggono hinggap di WA-ku seperti tertera di bawah.
Hidup Tunggonono rupanya bergulir dinamis.
Ia belum menikah, tetap kumpul kebo. Pekerjaan tetapnya kini adalah seorang penjaga gudang lalu di waktu senggang Tunggonono juga menerima orderan sebagai handy man (tukang bikin betul barang-barang rusak) dan gardener (Tukang kebun). Tapi tak ada yang lebih dinamis dari yang ini; beberapa bulan lagi ia akan menjadi seorang ayah karena Cathy?hamil 5 bulan.
Jumat malam aku menelponnya lalu kami janjian untuk bertemu di Tramshed, bekas gudang penyimpanan kereta/tram di daerah Glebe yang diubah bentuk jadi pusat jajanan kuliner yang kontemporer.
“Sepulang dari Gereja, Nggon! Kita ketemu di sana. Nanti kukabari lagi ya!”
“Walah, Bos… Hari gini kok masih ke Gereja!? Hahahaha…” Asem! Bekas satpam yang juga gali ndeso ini memang tak berubah bolehnya nyocot alias berkoar hahaha…
Lalu akhirnya kami bertemu.
Perawakan Tunggonono jadi lebih kekar. Legamnya tetap tapi tak ‘lethek‘ lagi dan a-ha, bau apek keringatnya sudah hilang tergantikan dengan deodorant dan parfum yang wangi semerbak sementara Cathy, meski perutnya sudah tampak bumpy, tapi masih tetap anggun seperti pertama dulu kami bertemu, dua tahun lalu.
“Piye kabarmu, Nggon? Sehat?” kupeluk mantan satpam itu lantas kami duduk. Aku, Joyce, anak-anakku, Tunggonono dan Cathy.
“Berubah tenan kowe, Nggon!” ujarku. Memandangnya seperti ini membuat timbul rasa haru mengingat masa-masa yang dulu pernah kami lewati bersama di Jogja yang kami cintai.
Obrolan pun bergulir secara alami.
Joyce sibuk dengan Cathy dan anak-anak membahas persiapan kelahiran dan bagaimana menghadapi anak-anak yang beranjak badung sementara aku dan Tunggonono banyak bicara tentang apa saja. Tentang kawan-kawan lama yang dulu pernah satu pekerjaan dengan kami, tentang mereka yang sudah pergi mendahului kami, tentang Jogja dan tentu yang tak ketinggalan tentang Ahok, FPI dan Pilkada Jakarta yang memanas bagai magma.
“Sepertinya aku memang harus setuju denganmu, Nggon?”
“Apa itu, Bos?”
“Percakapan-percakapan kita seperti ini layak kutuang dalam bentuk tulisan di blog lagi… seperti dulu.”
“Siap, Buoss! Aku juga pengen jhe! Beberapa hari lalu aku membuka blogmu …wah kok isinya cuma soal Tuhan dan religi, nggak asik lagi!”
Aku tertawa ngakak…
“Makanya njuk aku message Sampeyan siapa tahu bisa kembali memberi warna lain di blog!”
“Hehehehe… sip! Tapi ada satu syarat, Nggon!”
“Apa?”
“Jangan panggil aku Bos. Aku, Donny! Bekas bosmu tapi bukan bosmu lagi!” Tunggonono tersenyum sejenak sebelum menggeleng. “Nggak bisa. Apa yang sudah tertulis sebagai ‘Bos dan Tunggonono’ biarlah seterusnya menjadi demikian!”
Aku kalah set lagi. Membayangkan melepaskan kesempatan baik untuk bisa bercakap-cakap dengan Tunggonono melalui blog ini hanya karena aku tak setuju dipanggil ‘Bos’ lagi olehnya jelas akan jadi kerugian tersendiri.
Jadi, nantikan dalam waktu-waktu ke depan, Tunggonono akan kembali tandem denganku di sini untuk bicara dan ngayawara tentang apa saja dan siapa saja!
Selamat memasuki minggu yang baru!
Dipublikasikan pada Hari Minggu Biasa II pada pesta nama Beato Arnold Janssen, imam, Santo Maurus dan Plasidus, martir, Santo Paulus (pertapa), Santo Makarius (pertapa)
0 Komentar