Minggu kemarin sepertinya melelahkan ya?
Perhatian kita tersedot pada peristiwa teror yang terjadi hanya sekitar 2 km jauhnya dari Istana Negara di Jakarta sana.
Pola terornya sendiri sangat modern. Seperti yang terjadi di Paris beberapa waktu silam, para teroris berani buka front langsung dengan pihak berwajib.
Tapi sayang mereka salah tempat. Gertak teror itu kita lawan dengan sigap.
Angkat jempol terutama untuk kepolisian dan pihak militer karena begitu cepat mengantisipasi kejadian hanya di bawah tiga jam saja dengan meminimalisasi korban yang jatuh.
Masyarakat kita juga nggak kalah sigapnya dengan aparat keamanan. Kita nggak takut meski kita juga tak boleh gegabah!
Tapi yang paling unik barangkali adalah, kita berhasil membelokkan fokus.
Maksudku begini, para teroris itu tentu punya agenda untuk menerbitkan rasa takut, menghancurkan percaya diri dan menampakkan eksistensi mereka. Tapi sayang, kita nggak peduli pada hal-hal begitu. Kita malah lebih suka membahas polisi-polisi yang hari itu beraksi bak bintang film hollywood! Mereka mengendap-endap mengintai musuh, menembak, maju.. pokoknya jawara deh!
Tak berhenti di situ! Alih-alih berpikir tentang kegiatan terorisme-nya sendiri, kita malah sibuk membahas tas yang dipakai polisi, merk sepatu dan hal ini lucunya dijadikan lahan bisnis mereka yang menjajakan barang-barang yang dikenakan polisi itu!
Wah, kalau sudah begini sepertinya teroris memang harus berpikir panjang untuk mengadakan aksi serupa di Indonesia. Apalagi kesigapan aparat keamanan dan keseriusan pemerintah untuk menindaklanjuti maraknya aski terorisme menjadi-jadi tanpa henti!
Diluar keberhasilan semua pihak, hal yang menurutku sangat penting untuk dikerjakan di depan demi terciptanya negara yang aman nan makmur adalah melawan radikalisme dan memajukan ekonomi secara merata di seluruh Indonesia.
Hal ini penting karena radikalisme terutama terkait agama adalah cikal bakal terorisme akhir-akhir ini. Sedangkan pentingnya memajukan ekonomi secara merata akan membuat orang tak lagi berpikir memberontak karena perut mereka kenyang dan perasaan mereka bahagia.
Ada satu kejadian yang cukup menghangatkan hati minggu kemarin.?Salah seorang teman di grup percakapan Whatsapp khusus para alumni SMA Kolese De Britto lulusan 1996, mengirim beberapa screenshot dari lembar buku kenang-kenangan yang dulu dibagikan saat kelulusan.
Aku sendiri yakin masih menyimpan buku itu tapi kutinggal di Klaten sana, jadi ketika aku menerima kopi-an seperti di bawah ini, aku jatuh dalam kenangan?
Seingatku dulu, sebelum kelulusan, pihak sekolah membagikan form dan kami diminta mengisi dengan tulisan tangan tentang data diri, kesan serta pesan bagi De Britto. Jadi di atas adalah tulisan asliku saat itu :)
Foto itu, seperti biasa, kuunggah ke facebook dan menuai banyak komentar dari kawan-kawan. Uniknya, kupikir mereka akan mengomentari fotoku yang kurus tapi nyatanya mereka lebih tertarik membahas tanda tanganku. Unik, kata mereka!
Aku memang memiliki tanda tangan yang kata orang cukup unik.
Huruf D yang kupakai di awal adalah bentuk wajah orang. Konsep itu sebenarnya kupakai sejak aku lulus SD dan masih bertahan hingga sekarang meski garis-garis detailnya agak sedikit berubah.
Ceritanya dulu, menjelang kelulusan, Mama mengajariku memilih beberapa jenis tanda tangan untuk kupakai membubuhi STTB (Surat Tanda Tamat Belajar) SD. Tapi uniknya, dari beberapa jenis yang ditawarkan Mama, tak satupun yang kupilih!
Aku lebih memilih versiku sendiri yang tentu awalnya ditolak Mama karena menurutnya tanda tangan dengan bentuk D mirip wajah adalah sesuatu yang tak serius.
Tapi aku dari kecil memang berwatak keras dan bersyukur Mamaku bukan tipe orang yang tak bisa disanggah pendapatnya. Baginya, selama aku suka dan bisa mempertanggungjawabkan ia tak keberatan.
Saat lulus SMP, lagi-lagi aku menggunakan pola yang sama, berikutnya SMA dan saat kuliah pun tak kuubah sama sekali.
Permasalahan datang saat aku membangun perusahaan bersama kawan-kawan di Jogja tahun 2000 dulu. Bukan pada bentuk tanda tangannya tapi pada konsistensi bentuk yang ditolak oleh bank saat aku harus membubuhkan persetujuan. Hal ini lantas membuatku sempat mengganti bentuk tanda tangan beberapa tahun lamanya.
Sekitar tahun 2005 kalau tak salah ingat, aku mengubah balik bentuk tanda tanganku dan ketika kuajukan ke bank, mereka menerima karena bentuknya yang sudah cukup konsisten. Salah seorang kawan yang menekuni bidang psikologi, dan melihat tanda tanganku pada tahun 2000 dibandingkan dengan yang sekarang, menurutnya apa yang terjadi pada tahun 2000 lalu adalah karena mentality-ku yang belum stabil mempengaruhi caraku menggoreskan tanda tangan.
Bagaimana dengan tanda tangan kalian?
Eh ini kok malah banyak nulis tentang tanda tangan sih? Hahahahaha?.
Selamat menjalani minggu yang baru. Tetap semangat dan jangan mudah takut tapi juga jangan terlalu gegabah. Berani aja!
Dipublikasikan pada Hari Minggu Biasa II?pada pesta nama Santo Antonius (Abas), Beata Rosaline Villeneuve (Pengaku Iman) dan Santo Sulpisius (Uskup dan Pengaku Iman)
Tanda tanganmu antik, bro. :)