Keputusan untuk tak jadi pulang ke Klaten seperti yang kutuang dalam tulisan rabu lalu adalah salah satu keputusan terberat yang pernah kuambil selama hidup.
Aku memutuskannya pada minggu malam setelah sebelumnya aku berpikir dalam-dalam selama beberapa jam, menelpon Chitra, adikku dan menelpon Mbak Us, demikian aku memanggil salah satu adik Mamaku.
Hari senin-nya, ketika rasa gamang masih begitu meruang dalam hati, aku mendapati kenyataan lain di kantor bahwa situasinya sama sekali tak mendukung perasaanku.
Seolah tak ada kompromi, hari itu adalah puncak persoalan dari apa yang selama ini dalam risalah-risalahku sebelumnya biasa kuistilahkan sebagai ?proses pergantian kapal? itu.
Padahal sebelumnya aku mengharapkan ada sedikit penghiburan kalau tak mau kubilang sebagai pelarian di kantor. Entah itu dalam kesibukan kerja atau dalam hubungan yang menyenangkan dengan rekan-rekan kerja. Benar-benar seperti tak kubayangkan sebelumnya…
Secara mental, hari itu aku benar-benar ambruk. Ingin rasanya aku lempar handuk ke managerku dan bilang bahwa aku mengubah keputusanku untuk pulang ke Klaten, tapi rasanya kok bukan itu jalan terbaik yang harus kuambil waktu itu.
Ya sudah, apa mau dikata, aku harus menjalani hari itu, tiada lain! Satu-satunya hal yang lantas bisa menguatkanku hanyalah kesadaran bahwa seberat apapun, hari itu akan lewat selepas pukul 23:59 malamnya. Titik!
Tuhan lalu merespon doa malamku.
Hari selasa terlewati dengan sedikit lebih baik meski perasaan gamang ingin pulang belum hilang (dan sepertinya memang tak kan bisa hilang). Membayangkan bahwa seharusnya pagi itu aku sedang berlari-larian ke bandara lalu antri ke ruang check-in, terbang dan malamnya memberi kejutan pada Mama; hal-hal itu selalu mengulas dalam benak; silih berganti dengan rentetan kepusingan dalam kerja.
Pada saat Mama berulang tahun, rabu, bersama anak-anak dan Joyce aku menelpon Mama untuk mengucapkan selamat.
Chitra, adikku, kabarnya membelikan mie ‘panjang umur’ sesuai permintaan Mama lalu menyuapinya. Apa yang kubayangkan dalam tulisanku rabu lalu tentang membawa senampan cake ternyata tak direalisasikan Chitra. Bukan karena tak mau membelikan, tapi Mama kabarnya menolak cake ber-lilin dalam ulang tahunnya. Entah, apapun alasannya, sebenarnya hal itu sama denganku. Akupun selalu tak suka dengan cake berlilin saat ulangtahunku karena rasa manis yang terlalu kental itu tak menggugah seleraku untuk makan.
Dalam telepon itu, aku hanya bicara sekitar tiga menit dengan Mama; sementara ia yang suaranya menjadi parau karena sakitnya, menjawab sesekali.
“Mama bilang nggak mau ditelpon lama-lama!” kata Chitra kepadaku sesudahnya.
“Lho kenapa?”
“Dia nggak enak sama kamu karena dia nggak bisa omong dan takut kamu bingung karena nggak ngerti apa yang dia omongin!?Ah, betapa Mamaku sangat pengertian?. dan ini menerbitkan sedih kepadaku.
Minggu ini aku belajar banyak hal. Melelahkan tapi bagaimanapun juga aku tak boleh lengah barang sedikitpun. Dalam caraku beradaptasi dan mengatasi gelombang minggu ini, barangkali oleh sebagian orang aku dianggap begitu mumpuni, tapi mungkin oleh orang lain aku dianggap terlalu cuek terutama oleh keadaan Mama.
Suara-suara ?miring? tentang betapa egoisnya aku, tentang ?Wah, kalau om jadi Donny sih, om bakalan pulang gimanapun caranya?? datang silih berganti. Menyakitkan? Jelas! Sehebat-hebatnya aku mengelola minggu ini, setiap mendengar hal-hal begitu rasanya aku seperti ditusuk sembilu!
Mereka tak tahu bagaimana dalam hati ini? mereka hanya menangkap senyum yang kukembangkan kepadanya, seolah hal itu ditangkap sebagai ?ide? dimana aku tak ambil pusing dengan keadaan Mama? padahal untuk tersenyum pun dalam keadaan ini adalah hal yang penuh perjuangan?
Aku bersyukur pekerjaanku juga berjalan meski terjal. Demikian juga tanggung jawabku sebagai ketua panitia seminar ?Called to Love? 2 – 3 Mei mendatang yang minggu ini sudah masuk dalam tahap rilis remi di berbagai lini mulai dari Facebook, website, gereja-gereja di sini serta komunitas-komunitas yang mengusung tema keindonesiaan.
Satu hal yang tak kalah kusyukuri adalah pengalaman untuk hadir di konser grup musik rock Amerika, Foo Fighters, 26 Februari 2015 kemarin.
Ada perasaan aneh ketika datang ke konser, karena aku masih terus berpikir tentang Mama, tapi aku harus ?menikmati? jalannya konser. Hal seperti ini pernah pula kurasakan saat aku pergi menonton konser U2 pada Desember 2010 silam; pagi hari sebelum konser, aku mendapatkan kabar duka bahwa Tante In, adik Mama yang dalam tulisan rabu lalu kutulis sebagai orang yang ikut mengantarku ke Cengkareng saat pindah ke Sydney 2008 silam, meninggal dunia.
Entah karena perasaan yang aneh atau bukan, tapi menurutku konser Foo Fighters kemarin tak bagus-bagus amat dibandingkan dengan beberapa konser yang pernah kusaksikan. Sound systemnya tak maksimal karena dalam beberapa lagu, suara vokal Dave Grohl tenggelam dan ini dikonfirmasi oleh beberapa orang di sekelilingku. Lantas jadi agak heran ketika eks vokalis Dewa, Ari Lasso yang juga datang di konser itu merilis foto di instagram dan membubuhinya dengan kabar bahwa ini adalah salah satu konser terbaik yang pernah ia lihat. Are you sure?
Oh ya satu hal lagi yang hampir lupa kuceritakan, aku ikut dalam gerakan sosial penggalangan dana untuk melawan kanker darah/leukimia. Program itu mendunia dengan nama World Greatest Shave. Jadi aku akan menyediakan rambutku untuk dipangkas nyaris gundul bersama ratusan/ribuan orang lainnya pada 15 Maret 2015 mendatang dan orang-orang, juga kalian, kuharap men-sponsori gerakan itu.
Aku menargetkan untuk mendapatkan sponsor sebesar $560 dan sejauh ini aku baru mendapatkan $81 atau 14% dari target. Kalau kalian tertarik, silakan klik di sini dan melakukan donasi.
Oh ya jangan takut kalau uang sumbanganmu akan salah alir masuk ke kantongku karena setiap uang yang didonasikan langsung masuk ke rekening panitia!
Dipublikasikan pada perayaan Hari Minggu Prapaskah II, hari pesta nama Santo Felix III (Paus) dan Santo David, pengaku iman
Semoga mamanya sembuh ya Donny.
semangat terus mas Don!!