Sejak hari rabu minggu kemarin, umat Katholik di seluruh dunia masuk ke dalam masa Pra Paskah; masa penantian 40 hari lamanya menjelang peringatan puncak iman Katholik yaitu sengsara, wafat dan kebangkitan Kristus.
Adalah wajib hukumnya bagi umat Katholik berusia 14 – 59 tahun untuk berpuasa dan berpantang pada hari yang biasa dikenal sebagai hari Rabu Abu itu. Bagi kalian yang belum tahu, puasa dalam Katholik barangkali bisa melihat diagram di bawah ini.
Pertanyaan barangkali muncul, bagaimana kalau ada orang yang tak terbiasa makan tiga kali? Berarti ia sudah bisa dianggap puasa? Tak usah jauh-jauh, aku adalah contohnya! Hampir sejak setahun lalu aku memutuskan untuk makan dalam arti nasi/karbohidrat dan lauk hanya sekali dalam sehari. Sisanya aku makan buah ataupun kacang-kacangan dan yoghurt setiap dua jam sekali. Jadi, pada hari rabu lalu, aku tinggal menghilangkan daging dari lauk makanku dan jadilah aku berpuasa dan berpantang? Begitu?
Sebelum menjawab, aku teringat pada buku yang kubaca minggu lalu. Buku itu mengulas tentang bagaimana orang mendalami iman akan Tuhan. Ada orang yang mendasarkan pengalaman iman pada pengalaman hati terhadap keberadaan Tuhan. Di sisi lain, ada orang yang mendasarkan pengalaman iman pada pengetahuan/teologi tentang Tuhan. Tak ada yang bisa disalahkan dan dilebihbenarkan karena aku percaya Tuhan, saking luas dan besar namaNya adalah sosok yang tak kan pernah bisa cukup untuk ‘didekati’ dengan berbagai macam cara.
Tapi dalam menelaah perkara puasa dan kebiasaanku untuk makan sekali sejak setahun lalu mungkin kalian bisa mendapatkan simpulnya lebih tajam.
Jika aku hanya mendekati Tuhan dalam tataran pengetahuan/teologi, dengan gagah aku bilang bahwa hari rabu yang lalu, aku telah berpuasa kalau aku tetap mempertahankan pola makan dan mengganti lauk daging dengan sayur. Tapi dalam konteks ‘hati’ aku dengan gagah juga bisa bilang bahwa aku tak berpuasa dan itu berarti melanggar kewajibanku sebagai umat Katholik!
Puasa dan pantang adalah bicara soal pengorbanan. Soal bagaimana kita mengurangi kenyamanan yang biasa kita dapatkan untuk menunjukkan keprihatinan kita selama masa Pra Paskah. Nah, jadi kalau aku sudah terbiasa nyaman bahkan dengan makan satu kali dalam sehari, dimana rasa nyaman ‘lain’ yang kukorbankan sebagai tanda puasa dan pantang?
Tak ada!
* * *
Pekerjaanku minggu lalu berlangsung cukup stabil, tidak terlalu terjal meski tetap melelahkan. Keluarga juga baik-baik saja. Joyce sibuk dengan anak-anak, Odilia sibuk sekolah dan Elodia sedang senang-senangnya berlatih renang.
Tapi hari Jumat silam Chitra, adikku, mengabarkan kondisi Mama makin mengkhawatirkan. Ia memintaku untuk menelpon Mama, “Meski barangkali jawaban Mama ke kamu nggak jelas karena suaranya sangat lirih, tapi telponlah dan mintalah maaf pada Mama kalau ada salah selama ini, Mas! Dia mungkin nunggu kamu…”
Aku tercenung dan merenung. Dalam diskusiku dengan Joyce, istriku, aku lantas berpikir untuk mengorbankan waktu dan kesibukanku pekan depan lalu pulang ke Klaten. Aku ingin bertemu dengan Mamaku, menghabiskan waktu di samping ranjangnya, merajut serpihan masa lalu yang mungkin sajiannya belum terlalu rapi waktu itu…
Semoga ada waktu… semoga masih ada waktu…
Dipublikasikan pada perayaan Hari Minggu Prapaskah I
0 Komentar