Hari kamis yang lalu, rekor meeting terbanyak yang kuikuti dalam sehari kerja terpecahkan. Dalam delapan jam waktu kerjaku, aku harus mengikuti sembilan meeting.
Seharusnya hanya tujuh yang terjadwal hingga hari sebelumnya, tapi ada dua tambahan lain yang menyusul mendadak dan aku pikir perlu mengikutinya karena level of urgency-nya.
Secara fisik aku tak terlampau lelah, tapi aku sangat capek secara pikiran. Oleh karena itu, aku memilih untuk tak berkunjung ke gym dan berolahraga seperti hari biasa. Malam harinya, tak sampai jam 12 malam aku telah sukses mendengkur di sofa sebelum akhirnya dibangunkan Joyce untuk pindah ke kamar.
Mengikuti sembilan kali meeting ternyata menarik. Selain kemampuan Bahasa Inggrisku semakin terasah, dua meeting di antaranya adalah pertemuan dengan calon developer yang akan bekerja di dalam tim yang kupimpin.
Rasanya menyenangkan kembali bisa meng-interview orang. Tiga tahun silam aku juga melakukannya di perusahaan lama tempatku bekerja, Fuji Xerox Australia. Enam tahun yang lalu, di Jogja, aku sudah langganan meng-interview orang. Setiap ada pegawai yang keluar aku harus cepat-cepat mencari penggantinya. Jadi, apa yang kulakukan hari kamis lalu adalah semacam reuni tentang hal yang pernah kulakukan di masa lalu.
Hal yang paling menyenangkan dalam meng-interview orang bagiku adalah usaha untuk mengenal karakter seseorang hanya melalui selembar kertas CV dan kurang dari satu jam percakapan.
Bukan hal yang mudah tapi sebenarnya tak pernah susah karena kalaupun pada akhirnya yang kita cari tak sesuai dengan apa yang diucapkan selama proses interview, pemutusan hubungan kerja adalah sesuatu yang dilindungi secara hukum dan ada aturan yang jelas di negara ini.
Di sela-sela kerepotan dan kesibukanku minggu ini, aku cukup terhibur dengan serial Worst Place to Be a Pilot yang kutonton lewat Youtube.
Sehari sebelumnya, kawanku seorang Jepang bilang bahwa semalam ia baru saja menyaksikan serial itu di salah satu chanel tv Australia dan ia tertarik pada Susi Air, maskapai yang memang diceritakan di serial itu.
Aku lantas penasaran dan mendapatkan empat potongan serial via Youtube seperti di bawah ini:
Adalah menarik mengetahui ada begitu banyak rookie pilot berkebangsaan Inggris berjuang di sebuah maskapai perintis Susi Air di Indonesia.
Apalagi mengetahui kenyataan betapa minimnya fasilitas pesawat yang digunakan serta begitu berbahayanya landasan perintis yang menjadi tujuan pesawat, sesuatu yang mencengangkan.
Bagaimana mereka berjuang untuk mendapatkan license terbang dari Susi Pudjiastuti yang sekarang menjadi menteri di era pemerintahan Jokowi. Bagaimana mereka awalnya hanya menjadikan proses bekerja di Susi Air sebagai batu loncatan sebelum mereka meraih mimpi mereka menjadi pilot di maskapai-maskapai besar dengan pesawat-pesawat jumbo berukuran besar.
Sangat mengharukan melihat betapa mereka, para pilot bule itu, juga memiliki passion untuk membantu distribusi barang-barang kebutuhan pokok menuju distrik-distrik terisolasi di Papua. Dalam sebuah percakapan, seorang pilot menyebut bahwa jika tak ada mereka, barangkali orang-orang pedalaman itu tak pernah bisa mengenal dunia luar dan akan kerepotan juga untuk mendapatkan stok kebutuhan pokok yang dikirim dari daerah lainnya.
Puncak keharuan yang sebenarnya justru hadir ketika beberapa dari mereka akhirnya memilih untuk tak lagi mengejar mimpi bekerja di maskapai-maskapai besar. Mereka lebih memilih untuk melanjutkan karir di Susi Air karena kecintaannya pada alam Papua dan Indonesia pada umumnya, adanya tantangan dan interaksi dengan penduduk lokal yang penuh tantangan.
Hal itu seperti diungkap oleh Matt Dearden, 34 tahun. Sebelum akhirnya banting stir menjadi pilot, Matt adalah seorang praktisi IT berkecukupan di Inggris.
Sama dengan banyak rekan-rekannya, ia semula bercita-cita menjadi pilot pesawat besar di Eropa. Tapi pengalamannya mengenal Papua baik alam dan manusia-manusianya, ia lantas berpikir untuk menjadikan pekerjaan di Susi Air sebagai pekerjaan yang sebenarnya ia tuju dan cari-cari selama ini?
Aku cukup merinding ketika melihat ia menyampaikan hal itu?.
Tiba-tiba aku teringat pada ucapanku sendiri yang pernah kusampaikan pada seorang kawan sekitar setahun setelah aku pindah ke Australia.
Waktu itu kawanku bertanya, apa sih enaknya tinggal di luar negeri kalau itu berarti harus berjauhan dengan orang tua, keluarga besar dan budaya asal?
Aku menjawab bahwa aku percaya ada satu keunggulan yang didapat dari kami yang memilih untuk hidup di luar negeri yang tak dimiliki oleh kalian yang tinggal di Indonesia.
Hal itu adalah rasa kangen pada Indonesia!?Mana mungkin kalian kangen pada negeri yang kalian diami sehari-hari, kan?
Nah, rasa kangen yang makin lama tak tertahankan itu menimbulkan rasa cinta yang kupikir lebih unik ketimbang dari yang kalian miliki.
Para pilot bule di Susi Air seperti yang dikisahkan di serial itu mungkin tak punya juga rasa kangen, tapi sisi ?orang luar? yang lalu datang ke Indonesia, kupikir memiliki kesamaan pada rasa cinta yang unik pada tanah kita yang kita cintai itu?
Pada diri, wajah dan pengabdian Matt Dearden, Nick Holmes, Dave Burns dan lainnya kita jadi tahu bahwa untuk mencintai Indonesia kadang tak perlu dengan menjadi orang-orang Indonesia terlebih dahulu.
Justru kadang suka prihatin membayangkan wajah-wajah tersangka koruptor, anak-anak ababil ingusan yang pake mabuk untuk nabrak beberapa orang hingga mati, orang-orang sok suci yang menggunakan agama untuk mempertebal kocek duitnya yang berpaspor Indonesia tapi perbuatannya malah seperti membuang tinja di wajah Ibu Pertiwi…
Selamat berakhir pekan!
Ditulis pada hari peringatan Santa Brigida dan Santo Severus, Uskup.
Mengingat Santo Severus, aku teringat pada alm. Robby Kristian Sitohang, seorang evangelist Katolik yang bergerak aktif secara online dan kerap menggunakan nick Severenus Klemens. Ia wafat dalam usia yang masih sangat muda, 20 tahunan pada Februari tahun silam. Aku mengenalnya karena sama-sama aktif menulis pada buletin rohani Komisi Sosial Keuskupan Agung Makassar. Beristirahatlah dalam tenang, Bro dan doakanlah kami selalu…
Penulisan yang sangat mengena.