Permenungan tentang apa yang terjadi pada minggu yang lalu bermuara pada quote menarik dari serial The Dome yang pernah ditayangkan salah satu stasiun TV Australia. Bunyinya begini kira-kira,
“Setiap hari adalah ujian untuk mengetahui seberapa jauh limit kita”
Minggu kemarin adalah minggu yang cukup berat. Tekanan di dunia kerja datang bertubi-tubi dari sana dan sini.
Aku tak bisa menceritakan secara detail, tapi ibaratnya aku harus menjadi nahkoda di atas kapal yang hampir karam, aku sudah menutup lubang di dasaran kapal dan sekarang sedang menuju ke pelabuhan terdekat untuk menukarnya dengan kapal yang baru.
Prosesnya ternyata tak semudah yang kubayangkan. Ada ego, politik dan banyak lagi yang membuatku selalu berpikir di setiap awal pagi, ?Apa aku bisa menyelesaikan pagi, siang hingga sore ini nanti dengan baik??
Hal seperti Ini bukan yang baru bagiku, tapi kompleksitas masalahnya barangkali adalah satu yang terbesar dari yang pernah kurasakan.
Pada saat-saat kritis seperti ini, aku hanya bersandar pada Tuhan dan waktu. Melakukan yang terbaik dan berharap semuanya berlalu lebih cepat.
Ibarat kata seorang penyuka daging babi, aku ingin secepatnya makan daging babi yang sudah siap saji tanpa harus tahu bahwa untuk mendapatkan dagingnya, seekor babi yang kadang masih kecil harus dibunuh dengan cara yang sadis.
Ibaratnya Jokowi, aku ingin seantero negeri bebas dari narkoba tapi tak ingin membayangkan bagaimana perasaan seorang terpidana mati menghadapi dinginnya ruang isolasi, tiga hari menjelang eksekusi lalu pada malam yang kelam, digiring ke sebuah lapangan yang basah oleh sisa hujan, diikat tangan ke belakang disematkan pada tiang, dibebat mata dengan kain hitam lalu tiba-tiba semua harus diakhiri dengan rasa ngilu yang mematikan semuanya termasuk sisa hidup yang harusnya masih bisa terselenggara.
Bersyukur aku memiliki keluarga yang kepadanya bisa kujadikan peraduan terbaik untuk membenamkan jiwa. Lalu ketika terbangun daripadanya, meski tekanan itu belum hilang sepenuhnya, tapi setidaknya aku merasa batok kepalaku seperti terlumuri lapisan besi sehingga aku jadi lebih tahan uji.
Meski berat, aku bersyukur minggu ini tak berakhir menyedihkan.?Selalu ada sisi-sisi penghiburan yang membuatku bersyukur mengalami minggu keempat di tahun ini.
Akhirnya aku bertemu Tunggonono, Rabu yang lalu. Harusnya kami bertemu di rumah pacarnyanya, tapi ternyata rumahnya baru ketempatan sebuah acara keluarga, Tunggonono lalu menerimaku di sebuah pusat pertokoan tak jauh dari rumahnya.
Meski ditemani secangkir coklat kental nan hangat dan wafel Belgia yang renyah, kecanggungan setelah enam tahun tak bertemu muncul di tengah-tengah kami.
Tapi lama-lama toh lumer juga hingga akhirnya ada perbincangan yang menjadi hangat yang layak kuceritakan di sini tapi nanti sajalah setelah semua tekanan agak sedikit mereda dan bisa lebih lega bercerita.
Kakiku yang cedera sejak manggung di acara Christmas lunch (klik di sini untuk melihat videonya) tahun lalu semakin membaik. Sahabat baruku, Yanddy yang hasil fotonya kupakai di blog ini, memberiku patch/koyo, Ketotop, namanya. Bikinan Korea!
Namanya aneh, kalau orang Jawa bisa mem-pleset-kan Ketotop jadi ketatap alias ketabrak. Tapi jangan risaukan khasiatnya, luar biasa! Berlipat ganda mujarabnya dibandingkan film-film korea!
Nah, untuk menutup tulisan ini, aku ingin bercerita pengalaman yang boleh dibilang paling menarik minggu ini, terjadi pada Selasa silam.
Karena jadwal yang padat aku harus mengikuti dua meeting di dua tempat yang berbeda dengan jeda antar meeting hanya kurang dari setengah jam padahal jarak kedua tempat penyelenggaraan meeting sekitar 20km jauhnya.
Pertemuan pertama bersama calon vendor yang uniknya dulu tempatku bekerja. Berhadapan langsung dengan orang yang dulu rekan kerja dalam suasana yang tetap adem tapi profesional adalah sesuatu yang luar biasa! Otak ini rasanya seperti menciprat-cipratkan bunga kembang api bernama kenangan ketika ia mempresentasikan produk yang dulu juga pernah kukerjakan.
Selesai meeting, waktu sudah lewat lima menit dari jadwal yang harusnya kutetapkan untuk mengakhiri pertemuan.
Aku segera loncat ke dalam taksi menuju kawasan Sydney CBD untuk mengikuti meeting berikutnya dengan pihak yang lainnya lagi.
Lelah? Sangat!
Bangga? Pasti!
Karena penghargaan terhadap keahlian menurutku adalah salah satu puncak kebanggaan selain uang dari orang yang menganggap bahwa bekerja adalah sebuah pengabdian yang sifatnya harus dan tulus.
Tapi ada perasaan unik yang tiba-tiba muncul menyelinap di hati ketika aku berhadapan dengan klienku.
Kebetulan di dinding belakang tempat duduk klienku terpampang sebuah peta dan mataku tertuju pada Indonesia khususnya Jawa.
Aku tiba-tiba terbayang sosok alm. Papaku. Aku seperti dikembalikan ke sebuah pagi pertengahan 80an, menjelang berangkat sekolah ketika aku masih duduk di bangku sekolah dasar.
Setelah menyantap roti tawar bakar bikinan Mama dan menyeruput susu hangat di atas meja aku lantas bergegas pamit karena waktu kian mepet menuju pukul tujuh pagi dan Pak penarik becak langganan telah menanti di depan.
Ketika berjalan menuju pintu untuk berangkat, Papa menarik tanganku lalu membetulkan posisi dasi dan topiku karena hari itu adalah hari senin saatnya untuk mengikuti upacara bendera dengan pakaian lengkap.
“Rodo miring iki, Le…. sing lurus! (Agak miring (dasinya) Nak! Luruskanlah! -jawa)” tuturnya. Aku diam saja malah gusar karena takut telat.
“Topinya ditenggelamkan lagi dikit” tangannya menarik brim topi ke bawah supaya kepalaku lebih tenggelam di dalam topi yang kekecilan, “Ben bathuk nonongmu ora patio ketok hehehehe! (biar jidat lebarmu tidak terlalu tampak! -jawa)”
Aku makin gusar lalu dia menepuk punggungku, “Yo wes mangkat, sinau sing pinter, Le! (Ya sudah pergilah, belajarlah supaya pintar! -jawa)”
Mataku berkaca-kaca…
Tiba-tiba aku merasa begitu berhutang banyak sekali kepada beliau yang telah menyekolahkanku dan memberikan harapan serta doa selama dia hidup kepadaku. Aku merasa bukan siapa-siapa dan belum sempat memberikan apa-apa kepadanya.
Dalam sebuah percakapan di dalam mobil terkait pengalamanku itu dengan Joyce, istriku, aku bertanya, “Kadang aku berpikir, kira-kira Papa menyangka nggak ya kalau anaknya bisa seperti sekarang ini?”
Aku lupa ia menjawab apa karena aku sudah terlanjur melarutkan diri ke dalam senja yang temaram sore itu. Ketika mobil melewati gereja dekat rumah, aku mendaraskan seuntai doa singkat untuk Papaku yang sudah berada di dalam keabadian sejak empat tahun yang lalu. (Simak serial ‘Diek’ tentang kepergian Papaku, Didiek Hardiono, secara mendadak April 2011 silam)
Dipublikasikan pada
Hari Minggu Biasa III ? Penutupan Pekan Doa Sedunia
Putrimu ayu-ayu, Kak :D
Makasih, Mbak :)