Risalah Akhir Pekan XIX/2015

10 Mei 2015 | Cetusan, Risalah Akhir Pekan

blog_risalah19

Aku mengawali minggu lalu dengan bersyukur atas prime rib steak ukuran mega cut (sekitar 700gram) yang dimasak secara benar, tak terlalu matang. Ditemani dengan segelas wine ditingkahi cerita istri dan celoteh Odilia serta Elodia, senin malam yang dingin itu menjadi cakrawala yang indah sekaligus pembuka pekan yang menakjubkan!

Obrolan kami waktu itu masih seputar kesuksesan Seminar “Called to Love” yang lama kami persiapkan dan akhirnya berjalan dengan lancar pada 2 – 3 Mei 2015. Dan tak terasa, waktu dimana kami bisa makan berempat seperti itu, empat bulan belakangan adalah sesuatu yang sangat mahal karena hampir setiap weekend kami berkutat dengan aneka persiapan seminar sehingga kalaupun makan bersama, kami tak pernah benar-benar bisa berempat, selalu bersama keluarga kawan-kawan sepelayanan lainnya.

Pekerjaan sendiri minggu ini berjalan cukup stabil meski volume proyek tinggi. Aku tak ingin sombong, tapi kupikir ini adalah buah manis dari apa yang kuperjuangkan pada ‘perahu tim’ yang baru setelah terjangan badai yang cukup kuat terjadi Februari lalu. Tim-ku yang baru ini cukup solid dan kompak menuntasi pekerjaan satu per satu sehingga konsentrasiku sekarang bisa lebih fokus pada apa yang bisa kami kerjakan dalam tiga bulan ke depan. Menyenangkan!

Bicara tentang pencapaian, ada beberapa hal yang boleh kucatat pekan lalu sebagai sesuatu yang memperkaya jiwaku.

Pertama, aku berhasil mengalahkan egoku untuk tak terlalu menganggap ketidakadilan yang ditimpakan kepadaku sebagai sesuatu tanda runtuhnya dunia; tentang apa yang diperlakukan orang terhadapku dan apa yang telah berhasil kulakukan kepada mereka. Aku tak enak menjelaskan secara gamblang karena aku tak ingin mempermalukan seseorang di muka publik. Tapi yang jelas, pencapaian ini sangat berarti bagiku terlebih, orang yang menyadarkan adalah istriku sendiri seperti kutulis di tulisan Senin lalu, Hidup ini nggak fair! Emangnya kamu belum tau?

Kedua adalah pergumulanku dalam menelaah berita eksekusi mati terhadap delapan narapidana dua minggu lalu yang salah duanya adalah Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, dua orang Australian.

Hari Jumat dan Sabtu kemarin, masing-masing pihak keluarga mengadakan funeral service (upacara layatan perpisahan) di dua gereja yang berbeda tapi berjarak tak lebih dari dua kilometer satu dari yang lainnya; Andrew di Hillsong ‘mega’ Church sedangkan Myuran di Dayspring Church, keduanya di kawasan Northwest yang tak terlalu jauh dari rumahku.

Kalau sebelum-sebelumnya pergumulanku selalu ada pada Jokowi yang menurutku kuanggap tak mau mendengar permohonan belas kasihan pihak keluarga maupun negara yang warga negaranya dieksekusi, sejak menyaksikan funeral service-nya secara streaming, jiwaku boleh ditenangkan karena dengan kepergian Andrew dan Myuran aku justru mendapat gambaran betapa Tuhan sungguh baik dan mengampuni umatNya dan tetap tak tertandingi! (Baca tulisanku terkait hal ini di sini)

Dari eulogi-eulogi yang disampaikan kerabat dan kawan mereka, aku bisa belajar banyak betapa transformasi pribadi Andrew dan Myuran yang semula adalah bandit penyelundup narkoba lalu menjadi pendeta dan pelukis di Penjara Kerobokan Bali, sepuluh tahun terakhir, adalah sesuatu yang nyata dan tak dibuat-buat!

Transformasi pertobatan yang mereka alami tak sekadar pada tataran iman yang pasif saja tapi juga dalam praktek keseharian dimana keduanya turut membantu pihak penjara untuk membantu memberikan pembekalan dan pemberdayaan penghuni tahanan lainnya. Lalu ketika pada akhirnya mereka harus benar-benar berhadapan dengan regu tembak untuk dieksekusi pada lepas pergantian hari 29 April 2015 silam, ketegaran dan keikhlasan mereka berdua tampak nyata tertuang dalam cerita orang-orang yang mendampingi hingga saat-saat terakhir.

“Mereka bernyanyi Amazing Grace sejak keluar dari sel menuju ke lapangan tembak. Lalu ketika mereka tiba di tempat dimana mereka hendak dibunuh, mereka menyanyikan 1000 Reasons hingga satu setengah bait sebelum akhirnya mereka ditembak!” demikian tukas Feby, janda Andrew Chan seorang Indonesia yang dinikahi hanya dua hari sebelum maut memisahkan mereka, mantap memberikan kesaksian tentang saat-saat akhir suaminya.

Di titik itu, aku justru memaklumi ketidakberdayaan Jokowi dalam memberikan ampun pada mereka semua. Aku malah justru jatuh kasihan pada mantan walikota Solo itu karena kemanusiaannya yang lemah, ia tak sanggup mengambil langkah yang mungkin paling mudah untuk dilakukan, mengampuni. Sedangkan di sisi lain, Tuhan menunjukkan ke-maha-annya justru dengan memberikan pengampunan dan kesempatan seluas samudera pada Andrew, Myuran dan naraipada lainnya dengan ketegaran dan ketenangan, keikhlasan sekaligus penghiburan; sesuatu yang secara logika, mengingat kengerian seseorang menghadapi eksekusi mati adalah hal yang nyaris mustahil!

Dan di hari minggu pagi, tadi, ketika aku berencana meneruskan rawian ini beberapa baris lagi, sebuah berita duka dahsyat kuterima dan akhirnya menjerumuskan tulisan ini untuk kuhentikan di sini. Iwan Santoso, teman yang rumah orang tuanya hanya sepelemparan batu dari rumahku di Klaten, orang yang pernah duduk di TK yang sama denganku lalu bertemu lagi di SMA Kolese De Britto dan akhirnya menjadi kawan yang sangat dekat karena sama-sama mendirikan perusahaan yang sangat kami banggakan, Citraweb Nusa Infomedia, meninggal dunia terkena serangan jantung saat bermain sepakbola.

Kepergiannya begitu mendadak dan hingga tulisan ini kupublikasikan, setengah jam menjelang pergantian hari, aku masih sangat susah menelaah kenyataan ini. Menohok dan merasa sangat kehilangan…

Dalam perayaan ekaristi yang kuikuti tadi sore, selain mengirimkan doa khusus untuknya, aku menggantungkan tanya pada Tuhan, apa yang bisa kusyukuri dari berita setidakmenyenangkan ini?

Aku tak tahu jawaban pasti, tapi sesuatu yang bisa kupastikan sambil menunggu yang pasti tiba, adalah bahwa Iwan, sahabatku, pergi dalam kedamaian dan itu adalah hal yang patut kusyukuri untuknya; untuk hidup yang telah berhasil ia menangkan dengan sangat baik dan terhormat. Aku sedang mempersiapkan catatan obituari untuknya di blog ini, semoga besok bisa kuterbitkan.

Dalam perasaan yang masih sesak karena duka ini, aku menyelamati kalian para pembaca untuk memasuki minggu yang baru dengan penuh semangat namun tetap khidmat.

Dipublikasikan pada Hari Minggu Paskah VI
Pada pesta peringatan Santo Antonius, Uskup dan Pengaku Iman dan Santo Gordianus dan Epimakus, Martir

Sebarluaskan!

1 Komentar

  1. Ayo tetap semangat dan khidmat dalam deraan kesedihan.

    Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.