Hari Kamis kemarin, aku dan Joyce sepakat untuk membuang basinet (tempat tidur bayi) yang sudah lama tak terpakai sejak Elodia berusia sekitar satu tahun. Basinet itu sendiri kami beli ketika Joyce sedang mengandung Odi, lebih dari lima tahun yang lalu.
Ada perasaan campur aduk ketika mempretelinya; membuka sekrup satu per satu lalu menempatkan potongan-potongannya ke dalam plastik sebelum kami buang.
Rasa syukur merajalela.
Bagaimanapun satu frase kehidupan telah berhasil kami lalui dengan baik dan ini semua tentu bukan saja karena campur tangan Tuhan tapi lebih karena kepemimpinanNya dalam menahkodai rumah tanggaku.
Tapi uniknya, selain rasa syukur, ketakutan hadir tanpa diundang. Ada perasaan was-was sekaligus galau, kata anak jaman sekarang? Ada tanda tanya besar, sesudah episode yang ini berlalu, apalagi yang akan dipersiapkan Allah kepadaku?
Bisakah aku melewati episode baru itu nanti dengan selamat? Atau tak mulus? Atau bagaimana?!?
Perasaanku makin campur aduk ketika mendapati kabar ada seorang kawan dekat di Jogja yang usianya lebih muda dariku, meninggal setelah terkena stroke tiga hari sebelumnya!
?Duh! Semuda itu?!?? pikirku.
Belum tuntas sedihku, seorang kawan lain mengabarkan, adik kelasku di SMA Kolese De Britto ditemukan meninggal di sebuah hotel di Thailand karena diduga serangan jantung saat sedang berdinas ke Bangkok!
?Oh my God, dan aku menua, cepat atau lambat aku pasti akan mati juga!? Dan kalian semua? dan kita semua, tanpa ada yang bisa dikecualikan!
Kematian bagaimanapun terangnya ajaran-ajaran suci menjelaskan dalam mata hati manusia kita hanya mampu membuat penampakannya yang pekat dan gelap tanpa sinar menjadi sedikit lebih abu-abu. Misteri bercampur dengan harapan, tapi tak ada satupun orang yang pernah mati sanggup hidup kembali membawa kabar untuk mempertegas harapan dan menenggelamkan kegelapan atau sebaliknya.
Bicara soal kematian, aku jadi teringat pesan singkat Papaku sebelum ia meninggal mendadak. Seperti sudah memiliki firasat akan dirinya (dan sebenarnya dia memang sudah punya firasat bahkan sejak empat bulan sebelumnya, baca di sini tentang ceritanya), pada sebuah lembar koran Kompas Minggu terakhir yang dibacanya, ia menulis ?Rasa takut itu muncul ketika perasaan tak mampu mengendalikan?
Terkait rasa takut yang kujabarluaskan di atas, aku juga mendapatkan angle lain untuk mempelajari rasa takut itu minggu lalu yaitu melalui pekerjaanku.
Seorang rekan menemukan error dalam aplikasi yang sedang dianalisanya. Ia tahu persoalannya sangat kompleks, tapi for some reason, ia enggan melaporkan temuannya itu karena TAKUT bahwa hal itu akan memperberat kerja tim development dan ia akan juga makin kerepotan nantinya.
Bagiku takut, dalam segala hal apapun, adalah pilihan hidup. Ia bisa dikendalikan tapi di sisi lain bisa juga kita anggap seolah mengendalikan hidup kita.
Aku adalah salah satu contohnya.
Kalian mungkin tak menyangka, dengan badan sebesar ini, aku sangat takut pada hantu. Ada banyak cerita silly yang kalau kuceritakan di sini akan membuat kalian tak bisa berhenti tertawa. Tapi pada manusia lain ceritanya! Aku bersyukur tak pernah takut meski dulunya aku adalah seorang pecundang!
Waktu kecil dulu, pernah suatu kali dibentak orang, aku lari tunggang langgang dengan air mata mengambang. Sesampainya di rumah, alih-alih mendapat pelukan, alm. Papa menghardikku, ?Ngapain takut! Dia kasi kamu makan? Dia makan besi??
Tapi aku tetap lunglai malah pernah saking geramnya, alm. Papa memberikanku pisau dapur, ditaruhnya di tanganku untuk digenggam lalu bilang, ?Jangan pulang! Datangi orang yang barusan mukul kamu. Tusuk!?
Tapi nyaliku tetap tak dapat kutemukan, entah ia ada dimana saat itu.
Tapi semuanya berubah ketika aku memutuskan untuk hidup mandiri di Jogja. Keberanian itu lambat laun muncul. Tentu bukan keberanian dalam hal pukul-memukul orang, tapi lebih pada keberanian menyatakan pendapat meski berbeda, keberanian untuk mempertanggungjawabkan pendapat itu sekaligus untuk mempertahankannya selama itu benar.
Barangkali ini pengaruh pada kemandirian yang mau tak mau telah kupilih ketika aku memutuskan meninggalkan orang tua dan adikku di rumah.
Bersyukur pula aku mendapatkan istri seorang yang sangat pemberani. Malah kalau mau jujur, ada begitu banyak nilai-nilai keberanian yang berhasil kutambahkan pada diriku dari apa yang kupelajari padanya.
Bersyukur juga aku hidup di negara dengan orang-orang yang sangat open-mind, yang tak takut untuk menyatakan pendapat dan dilindungi hukum untuk melakukannya.
Biarlah satu-satunya rasa takut itu ada untuk Tuhan dan kuasa-kuasaNya, selebihnya, seperti kedua Papaku yang telah sama-sama almarhum pernah berkata, ?Sama-sama makan nasi, nggak perlu takut!? Oh? hampir terlupa, takut sama istri juga bukan sesuatu yang tercela :)
Selamat menjalankan pekan yang baru! Jangan takut!
Dipublikasikan pada hari minggu paskah III
Pada pesta peringatan santo Leo IX Paus, Santa Tarbula,
Santo Elfege OSB Uskup, Santo Werner
dengan rasa kehilangan yang mendalam pada kematian seorang kawan lama,
Chandra ?Ndrenk? Yudha? Beristirahatlah dalam damai.
Takut sama istri dengan kebenarannya itu yang boleh ditakuti. Kalo takut tanpa alasan masuk ke psti, haha…