Awalnya aku tak yakin bahwa Maria Tri Sulistyani akan mau kuajak wawancara untuk tampil di blog ini apalagi jika hanya dilakukan lewat email.
Bukan, bukan karena aku belum kenal langsung dengan wanita yang biasa dipanggil Ria itu. Lagipula jaman digital begini perkenalan toh nggak harus identik dengan bertemu dan salaman, kan?
Ketidakyakinanku tadi bersumber pada masukan beberapa rekan yang kenal dengannya, ?Kamu nggak salah pilih orang tapi? Ria itu sibuk!?
Tapi ya sudah, mau dibilang apa? Niatku mengejarnya sudah sampai di ubun-ubun, aku merangkai email lengkap dengan ?perkenalan digital? dan penyampaian niatku, tekan tombol SEND dan membiarkan emailku tadi menemui takdirnya sendiri.
Seminggu, seminggu setengah bahkan dua minggu dan tampaknya aku harus percaya pada omongan kawanku tadi. Tapi tiba-tiba sebuah email balasan masuk darinya dan dari situ cairlah semuanya.
Tercatat dua kali kami saling berbalas email sesudahnya dan sedikitpun tak kenal jeda.
Tapi by the way, siapakah Ria?
Bagiku, dia adalah contoh seniman yang tumbuh di masa Jogja yang sudah modern namun tidak larut dalam modernitas itu sendiri. Bersama Iwan Effendi, suaminya dan beberapa seniman lainnya, Ria mengembangkan paduan seni rupa dan pertunjukan bergenre boneka yang sangat khas, Papermoon Puppet Theatre namanya. Kiprahnya tak terbatas pada Jogja atau Jakarta saja, beberapa kali Ria dan kawan-kawan diundang manggung ke kota-kota besar dunia lainnya dan namanya banyak dimuat di media massa internasional.
Tema yang diangkat dalam tiap panggungnya pun tak main-main. Dalam Mwathirika, Papermoon Puppet Theatre mengusung tema lawas yang tak pernah usang dibicarakan, tragedi pasca G/30-S 1965. Bayangkan, sebuah panggung boneka membawakan tema yang beratnya pun belum sanggup diringankan bangsa ini meski peristiwa itu telah berlalu lewat empat puluh tahun.
Nah, simak bagaimana obrolan kami yang secara sengaja memang tak kufokuskan pada karyanya tapi tentang bagaimana ia berproses di kota yang aku dan Ria cintai bersama, Yogyakarta.
Kaitan terbesar antara Papermoon dan Jogja itu dimananya?
Papermoon Puppet Theatre ini lahir procot sampai berkembang selama delapan tahun ini ya di Jogja. Kalo saya nggak pindah ke Jogja, saya nggak yakin Papermoon bisa ada.
Selain itu, kota ini dipenuhi penonton kritis yang membuat saya dan teman-teman di Papermoon bisa belajar banyak.
Jadi jelas, Jogja memberikan pengaruh besar atas perkembangan kami sampai hari ini.
Oh kamu bukan berasal dari Jogja? Lalu darimana?
Jakarta.
Saya pindah dari Jakarta ke Jogja untuk melanjutkan studi ke jurusan komunikasi. Tapi dengan pergaulan saya di sini, kegemaran saya menonton apapun karya seni pertunjukan yang ada dan bagaimana saya mengapresiasi, akhirnya membuat saya banting setir untuk kemudian malah jadi seniman.
Tapi kota ini berubah sama sekali, kan? Tampak sekali sisi modernisasinya sekarang. Apakah ini membuat proses kreatifmu juga banyak berubah?
Hmmm, mungkin iya.
Proses kreatif kami berubah karena percepatan waktu yang aujubilah gesitnya sekarang.
Kalau dulu kami bisa berproses selama 6 bulan untuk membuat sebuah karya pementasan, istilahnya kami masuk gua dan fokus pada karya dengan tidak mikirin yang lain… sekarang proses itu harus kami suwir suwir lebih panjang untuk bisa disisipi dengan deadline deadline dan jadwal-jadwal yang lain.
Bahwa seniman berkarya dengan proses kontemplasi yang panjang, sekarang ini di Jogja jadi hal yang paling mewah hahaha…
Percepatan ini mempengaruhi hasil karyamu ditinjau tingkat kepuasanmu sebagai seniman?
Gara-gara modernisasi, kami mulai belajar bersikap bahwa bikin karya seni itu layaknya bikin software.
Setiap proses membuat karya seni adalah proses eksplorasi dan eksperimen yang baru buat kami di Papermoon
.
Dan setiap tahapnya bisa dipresentasikan ke publik. Masalah kepuasan itu kan sebenarnya ekspektasi pelaku?
Sedangkan bagi kami, ketika karya sudah dipresentasikan ke publik, itu sudah jadi milik publik. Ekspektasinya kami serahkan ke publik. Kami gampang puas dengan melihat respon publik yang bahagia nonton karya Papermoon kok.
Selama ini Jogja bagi khalayak awam di luar Jogja terkenal dengan seni ‘tempoe doeloe’ semisal wayang kulit, wayang orang, tari, ketoprak tapi kamu memaparkan sesuatu yang kontemporer. Pendapatmu tentang ini bagaimana? Maksudku, bagaimana Jogja secara seni dan budaya harusnya juga maju menghadapi seni kontemporer? Haruskah stuck dengan bentuk-bentuk yang ‘tempoe doeloe’ tadi atau ikut maju dan berkembang?
Menurut saya Jogja adalah kota yang paling komplit yang nggak ada duanya di seluruh penjuru dunia!
Mau cari seniman tradisi sampe seniman yang pakai teknologi tinggi, seniman yang pentas di lapangan, sampai seniman yang karyanya di koleksi seniman ternama dunia.. semua ada di sini.
Banyak seniman Jogja menurut saya adalah seniman yang ngelakoni… dan organik. Muncul karena pertanyaan-pertanyaan dalam hidupnya, bukan untuk menjawab pertanyaan dari teori-teori seni. Itu satu modal penting untuk berkarya menurut saya.
Nah PR selanjutnya adalah, terus mau jadi seniman yang kayak apa? Seniman lokal, nasional, atau internasional?
Untuk memasuki jenjang itu tentu saja ada hal lebih yang harus dipelajari. Kalau merasa butuh… ya maka perlu belajar lebih.
Sesimpel itu aja…
Dalam konteks varian seni kontemporer, apakah karya seni yang tercipta di Jogja berbeda dengan kota lainnya?
Kota ini laboratorium yang kaya.
Banyak seniman berkesperimen di kota ini, dan nggak sedikit juga yang bertahan dan konsisten melakukannya.
Publik seni di Jogja paling seneng kalau ada teman yang mencoba membuat hal baru. Seneng ngece, tapi juga seneng menemani, dan penuh support!
Penduduk yang datang dan pergi juga membuat dinamikan publik seni di Yogya jadi sangat beragam. Mungkin dengan ke’selo’an, jarak tempuh yang tidak jauh, masih terjangkaunya biaya hidup, dan lingkaran publik dan pelaku seni yang beragam dan juga kompak, alias nggak musuh-musuhan membuat varian seni kontemporer di Yogya bisa tumbuh lebih beragam dibanding di kota lain.
Kembali ke soal dirimu sendiri, Ria? Kamu kan tadi bilang bahwa awalnya kamu adalah mahasiswa komunikasi yang tak bercita-cita jadi seniman. Lalu bagaimana proses transformasi itu berjalan sehingga kamu memutuskan banting setir jadi seniman?
Kebetulan pas mahasiswa, kampus buat saya adalah ruang untuk mencari teman sebanyak-banyaknya daripada mencari ilmu sebanyak-banyaknya di kelas.
Saya sempet join sebuah kelompok teater independen selama 4 tahun, namanya Teater Gardanalla. Mengawali coba-coba saya jadi figuran yang ngomong cuma 3 kalimat, walhasil saya sempat nyantol berproses selama 4 tahun, yang diakhiri kesimpulan bahwa saya nggak pingin jadi aktris teater. tapi saya suka sekali dengan proses membuat karya pertunjukan.
Menjajaki dunia seni teater lewat Teater Gardanalla justru membuka pergaulan saya dengan lini seni yang lebih luas di Yogya bagian selatan, khususnya seni rupa. Dari situ saya ngerasa passion saya justru berkembang di antara seni rupa dan seni pertunjukan.
Nah, Papermoon adalah jawaban atas ketertarikan saya pada dunia seni rupa dan seni pertunjukan.
Kamu kan berkarya dengan suamimu sendiri. Gimana tantangannya?
HAHAAA!! pokoknya kalau anda bukanlah orang yang bisa menikmati obrolan ranjang yang isinya nyusun adegan pentas dan brainstorm desain artistik panggung, mendingan jangan bikin karya bareng suami!
OK terakhir, sebagai seniman, apakah kamu punya penghasilan sampingan untuk kehidupan sehari-hari atau kamu bisa hidup mengandalkan Papermoon Theater?
Penghasilan sampingan? Duh opo yo? Nggak ada mas…Selama empat tahun belakangan ini Papermoon Puppet Theatre adalah pusat penghasilan saya.
Jebul iso juga yo, Mas? hehehe
wooh.. wanguuun… cen demi donnyverdian.net ki, mendadak kata “sibuk” akan hilang dari kamus… Hahaha… :D
materi seni papermoon ini tergolong unik dan langka, dan ternyata terbukti seni yang dianggap tidak patio populerpun bisa menafkahi senimannya.
woh, Mbak Ria keren…