Reposisi Kejawaan, Kembali ke Kedalaman Diri

13 Jun 2008 | Cetusan

Candle
Betul kata Sang Epitaph bahwa terkadang kita lupa, orang yang sedang dirundung banyak masalah
biasanya memang cenderung membutuhkan tempat bicara. Tempat di mana ia bisa menggelontorkan apa yang ada di pikirannya. Bukan minta pertolongan atau bahkan semacam solusi.
Ia hanya butuh tempat. Tempat di mana ia merasa didengar, dianggap, dan dimanusiakan.

Beberapa waktu yang lalu ketika kurasakan beban hidup dan ambisi pribadi telah begitu gampang menggoyahkan titik seimbangku,
pada sebuah pagi aku mengontak teman lamaku lewat YM, Pak Bhe namanya.
Seorang senior, enterpreuner yang telah merasakan jatuh bangunnya hidup, seorang teman nongkrong waktu aku masih sering beredar di coffeeshop-coffeeshop di seputar Jogja dulu.
Aku merasa perlu mengontaknya karena barangkali melalui dia aku bisa tahu alternatif cara bagaimana mengalirkan ketidakseimbangan yang sedang kurasakan ini
menjadi sesuatu yang positif tanpa harus melarikan diri dari beban-beban itu sendiri.

Maka terjadilah percakapan ini:

“Pak, aku mau belajar ke kamu!”
“Belajar apa ya?”
“Ya belajar njalani hidup yang penuh tekanan dan gak berimbang”
“Nggak berimbang apanya?”
“Segalanya”
“Ohhhh… belajarlah bersyukur”
“Sudah! Aku sudah berusaha belajar untuk itu”
“Hmmm.. hematlah!”
“Hemat? Ini bukan soal uang kok, Pak!”
“Lha njuk soal apa kalau gitu?”
“Aku pengen tenang, itu saja.”
“Oh, datanglah setiap malam jumat ke rumahku, di sana ada orang-orang kampung latihan gamelan dari pendopo yang baru kubangun! Njawani dan ngelaras suasananya!”

Aku pun begitu tertarik.
Aku orang Jawa, asli Jawa… akan tetapi gamelan dan ngelaras adalah sesuatu yang sudah terasa sangat asing.
Terutama setelah invasi kapitalis-kapitalis bedebah bangsat itu semangkin merenggut jatah kearifan lokal untuk berkembang lewat televisi, koran, internet serta mall dan pertokoan.

Maka berangkatlah aku!
Kamis malam kemarin, sekitar pukul 21.30 WIB, sendirian aku berangkat ke rumahnya yang terletak agak jauh dari kota.
Aku sendiri belum pernah mengunjungi rumahnya sementara bekal yang kudapat untuk menjadi penunjuk pun hanya singkat:

“Perempatan Jalan Magelang lurus ke utara. Lampu merah pertama belok ke kiri lalu lurus sampai ke perempatan patung penganten ke arah kanan lagi.
Dari situ, sekitar 300 meter ada sekolah, kamu belok ke kanan lagi masuk gang kecil.. dari situ harusnya kamu sudah tahu karena suara gamelannya banter banget!”

Dua puluh menit, pada akhirnya kutemukan rumahnya.
Alangkah asri rumah dan lingkungan sekitarnya.
Ada beberapa gugus bangunan ketika aku masuk ke halamannya.
Aku sendiri lupa menanyakan untuk apa saja gugus-gugus itu tapi yang pasti kukenali adalah rumah induk, sebuah gedung yang terkunci,
garasi serta pendopo tempat gamelan dimainkan oleh beberapa orang yang tinggal di kampung situ.
Di kiri kanannya masih dihiasi hamparan sawah hijau dan rimbun beserta suara jengkerik dan bunyi-bunyian hewan malam lainnya.
Pohon-pohon besar yang mengakar di halaman luasnya juga dibiarkan tumbuh begitu saja.

“Ya inilah, rumahku! Silahkan dinikmati apa adanya!” Begitu tutur Pak Bhe arif.
Beberapa teman lama yang dulu hampir tiap malam kutemui di coffeeshop-coffeeshop pun beberapa jumlahnya juga ternyata sedang berada di sana.

Tak berapa lama kemudian aku telah larut dalam obrolan gayeng bersama mereka.
Mulai dari EURO2008, gosip teman-teman lawas lain hingga banyolan-banyolan saru menjadi sesuatu yang menarik untuk diangkat dan dibicarakan malam tadi.
Tak hanya itu, sebagai tuan rumah, Pak Bhe pun secara cuma-cuma menghidangkan bergelas-gelas teh panas nan kental serta beberapa piring penuh gorengan, nyamikan khas ndeso yang ngangeni.
Suara uyon-uyon dan laras nada yang ditimbulkan gamelan seperti menjadi backsound yang berpadu dengan bebunyian binatang malam.
Sungguh aku merasakan keterpaduan yang luar biasa indahnya dari semua yang ada disitu.

Hingga akhirnya tak terasa waktu telah menjemput pukul 02.00 WIB Jumat dinihari.
Setengah jam sesudah para pemain gamelan itu berpamitan satu per satu, aku dan beberapa kawan pamit pulang.

Dalam perjalanan pulang, dalam hawa dingin pedesaan yang kurasakan sepanjang perjalanan, aku merasakan satu kelegaan.
Satu kelegaan yang bahkan timbul tanpa aku harus bercerita tentang masalah-masalahku pada mereka.
Malam ini aku telah meraih porsi lamaku yang sempat hilang karena kesibukan dan ambisi-ambisi pribadiku yaitu sosialisasi.. ya bersosial, bergaul.

Lewat gamelan, nyamikan gorengan ala kadarnya, suasana pendesaan, gurauan saru teman-teman lama… aku juga telah dimampukan untuk mereposisi diriku kembali sebagai orang Jawa,
orang yang seharusnya menyikapi hidup ini bukan hanya sebagai kewajiban hingga ujung nanti,
tapi lebih bagaimana meliuk-liukkan langkah seperti aliran air, seperti halnya berkesenian ketika menari dan menyanyi.
Bahwa pada saat-saat tertentu kita mendapatkan kegagalan, keberhasilan, sukacita dan kesedihan .. ahh itu hanya remah-remah kecilnya yang diperbolehkan larut bersama aliran hidup
kita ini.

So, wahai Epitaph,
satu lagi… satu lagi kutambahkan padamu bahwa selain butuh tempat didengar, seseorang yang sedang kalut dilanda permasalahan sangat membutuhkan atmosfir yang bisa merangsang ia
untuk kembali menggali ke kedalaman siapa sejatinya dirinya itu.

Sumber foto.

Sebarluaskan!

5 Komentar

  1. Hidup membumi memang menentramkan. Kita tidak terus-terusan dibawa untuk selalu melihat ke atas. Diajak melihat ke bawah, dan, olala, betapa beruntungnya posisi kita itu. Yang membuat kita tetap terus bersyukur.
    Tapi soal Jawa. Kowe? Jawa? Kowe Jawa? Jawa blah ndi? Kutowinangun? Huihihi.
    Nah, nikmatilah hidupmu…

    Balas
  2. bener2 seger ngebayangin suasananya..
    reposisi yg menarik
    sosialisasi..bersyukur..
    makasi inspirasinya :)

    Balas
  3. enggak ah, kayak-nya sampeyan cuman lagi kumat manja-ne ajah
    sebenarnya juga udah tau “pasti mampu”, “pasti bisa” dan “solusi toh pasti nemu”
    cuman kalo blum merajuk kok belum klop.
    makanya, ayo ngerokok lagi
    (mengulurkan solusi…, plus korek apinya)

    Balas
  4. Huahaha…!!! Komennya Angga lucu tenan. Ayo-ayo… ngerokok lagi…
    *menyodorkan zippo*
    (lho kok malah melu manasi! :p)

    Balas
  5. Merokok?
    Reposisi saya sebagai perokok? Wah ndak, menurut saya kalau ke arah itu justru pilihan yang lebih manja dan lebih hmmm… sorry.. menyesatkan :)

    Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.