Renungan Dua Tahun Gempa Jogja 27 Mei 2006

25 Mei 2008 | Cetusan

gempa jogja
Apa yang tersisa dari Gempa 27 Mei 2006 yang tak terasa sudah dua tahun kita tinggalkan?
Apa? Coba pikirkan, apa?

Betul! Betul kalau kamu menjawab bahwa efek Gempa 27 Mei 2006 yang lalu adalah adanya banyak NGO-NGO yang bertebaran di Jogja dan sekitarnya, meski uniknya gempa dua tahun sudah lewat
tapi masih banyak kantor mereka yang berada di sini untuk penanganan gempa.

Betul pula kalau imbas baiknya adalah ada lahan pekerjaan baru untuk kawula muda Jogja bekerja pada NGO-NGO itu tadi.

Dan tak salah kalau kamu menjawab bahwa Gempa 27 Mei 2006 adalah suatu momentum yang luar biasa pedihnya namun sekaligus menjadi pembelajaran yang luar biasa baiknya dari alam kepada kita.
Bahwa seperti halnya manusia, alam pun memiliki hak yang tak bisa diganggu gugat untuk berubah mengikuti perkembangan keadaan dan bagaimana kita diajak untuk hidup “saling mengerti” dengan
alam.

Dalam permenunganku malam ini, ketika aku meluangkan sejenak waktu untuk melihat ke belakang ke kejadian dua tahun yang lampau itu, aku jadi ingin menuliskan kembali apa yang pernah
kutulis pada bagian kata pengantar bukuku yang kubuat dan diterbitkan secara umum, khusus tentang peristiwa gempa di Jogja.
Menurutku, apa yang kutulis itu masih sama dengan apa yang kurasakan saat ini, bahwa pada intinya selalu ada nilai-nilai yang meruap muncul di tengah-tengah kenestapaan bencana.
Bukannya tak mau berpikir tentang duka dan nestapanya saja, tapi justru dengan melihat nilai-nilai itu, kita tidak lantas tunduk oleh keadaan namun justru mau untuk terus maju
berbekal apa yang telah terjadi, baik ataupun buruknya.

Berikut petikannya:


Gempa bumi dahsyat yang mengguncang Yogyakarta dan Jawa Tengah sabtu pagi, 27 Mei 2006 yang lalu sungguh memberikan pelajaran yang begitu besar bagi kita semua. Saat perhatian sebagian
besar masyarakat di Yogyakarta (bahkan di negara ini) terpusat pada aktivitas Gunung Merapi yang menggeliat nun jauh di utara sana, eh… bencana malah datang sekonyong-konyong dari
gegar bumi yang bermula di titik pantai di Kabupaten Bantul, di selatan Jogja, membesut ke arah timur laut hingga Imogiri, Piyungan, Prambanan, Gantiwarno (Klaten) dan Wedi (Klaten).
Tak satupun orang menyangka akan sedemikian uniknya perilaku alam yang akhirnya memorakporandakan kawasan Yogyakarta dan Jawa Tengah bagian selatan ini. Lebih dari lima ribu nyawa
melayang, puluhan ribu lainnya terluka. Ribuan rumah dan bangunan rusak dan roboh, kerugian finansial tak terperi besarnya, belum lagi segi dan sendi kehidupan yang menentukan hajat
hidup orang banyak pun ambruk terganggu selama beberapa waktu dan sepertinya masih memerlukan waktu beberapa saat ke depan untuk recovery menuju kembali ke keadaan semula.


Ada banyak peristiwa menarik dan unik yang terjadi selama bencana terjadi. Jelas, lebih banyak yang memilukan dan memprihatinkan. Akan tetapi kalau kita cermati secara lebih jelas dan
mendalam, ada begitu banyak nilai-nilai kemanusiaan yang meruah, nyata ditampakkan dalam beberapa sudut. Nilai-nilai kemanusiaan yang selama ini begitu tampak terhimpit, tertindih,
terlindas dan kadang terasa hampir hilang oleh karena deru aktivitas dan kesibukan manusia dalam mengejar cita-cita hidup di dunia. Tapi kita salah! Ternyata nilai-nilai positif
manusia itu masih ada dan kentara begitu besar, khususnya ketika kita menghadapi kesulitan dan kepedihan yang mendalam seperti sekarang ini karena bencana alam.


Ada nilai persatuan yang mungkin selama ini lambat laun dipergunjingkan keberadaannya. Perbedaan hendak diperdebatkan dalam konteks apapun. Agama, suku, golongan, kepentingan dan
lain-lainnya. Akan tetapi di Yogyakarta dan Jawa Tengah, kawasan yang tertimpa bencana, kami bersatu dalam rasa, berpadu dalam situasi dan kondisi bencana yang tak mengenakkan ini.
Kami semua mengenakan “kemeja” yang sama, manusia! Persaudaraan kembali kentara dan seperti menjadi penanda bagi bagian bangsa lain di tempat lain, bahwa persatuan memang mutlak
diperlukan untuk selama-lamanya. Di lokasi bencana, tak jarang kita temui perwujudan persatuan itu dari kegotongroyongan masyarakat dalam kebangkitannya menghadapi hari-hari pasca gempa.
Gotong-royong, sesuatu yang selama ini nyaris hanya menjadi jargon semata, telah terbukti nyata ada diantara jiwa para korban bencana. Gotong royong telah mengakar.
Tak berlama-lama lelap dalam kesedihan, kami dan mereka semua menyingsingkan lengan dan berpadu bangkit kembali, bersama-sama!


Juga ada nilai spiritualitas yang bicara mengenai kepasrahan yang mendalam . Banyak korban yang kehilangan semuanya, harta benda, keluarga dan sanak saudara. Perasaan gamang akan
menghadapi masa depan yang seperti apa, memang menghinggapi beberapa saat lamanya. Tapi sesudahnya, semangat untuk maju ke depan dengan apa adanya daya serta memasrahkan segala bencana
dan efek bencana kepada “Yang Di Atas”, timbul!
Bagi saya, inilah wujud kepasrahan yang dalam hal ini, saya anggap benar dan tepat. Pasrah yang bukan berarti lantas lunglai dan berharap Tuhan membangunkan rumah dan mengembalikan
mereka yang telah meninggal namun pasrah yang berarti Tuhan telah berkehendak, dan Tuhan telah memampukan mereka kembali untuk membangun segalanya di tanah bumi ini, dan kita manusia
adalah pelaku dari kehendak dan kemampuan tersebut.


Ada lagi nilai kemanusiaan yang amat kentara datang dari para relawan dan donatur yaitu nilai atau semangat tolong-menolong dan bantu-membantu kepada sesama.
Tak sampai sehari pasca gempa, bantuan telah mulai dikirimkan menuju Yogyakarta dan Jawa Tengah menggunakan jalur-jalur transportasi apapun, selagi memungkinkan.
Perhatian dari pemerintah pun tak kurang ditunjukkan dengan salah satunya kesediaan RI 1 untuk bermalam dan berkantor di Yogyakarta guna koordinasi tanggap darurat bencana yang
lebih efektif sejak malam pertama pasca kejadian gempa. Belum lagi yang datang dari luar negeri yang juga menyemut di lokasi-lokasi korban bencana membawa bala dan bantuan.
Terlepas dari berita-berita tentang kelambatan bantuan mencapai para korban bencana maupun janji-janji rehabilitasi bencana yang mungkin belum lunas tercapai, namun nilai dan semangat
tolong-menolong dan bantu-membantu antar sesama sangat kuat terasa dalam bencana ini.


Nurani ternyata tak pernah lekang dimakan jaman! Sapaan Kasih Tuhan yang menyentil hati nurani para donatur telah membawa bantuan demi bantuan itu datang ke sini dan sekali lagi,
manusia dan kemanusiaan dimenangkan oleh karenanya.

Foto diambil oleh Joko “Dude” Widyarso – GudegNet

Sebarluaskan!

6 Komentar

  1. judi ingat, para relawan dokter Cuba nggak boleh lamalama di sana karena diprotes oleh dokter dokter Indonesia.
    Tentu saja pendapatan dokter Indonesia berkurang karena dokter cuba melayani dengan GRATISSSS

    Balas
  2. @Iman: Wah dokter cuba? Ya..ya aku juga inget .. rumah sakit portable mereka di depan SGM Prambanan.
    Dulu kantorku pegang koneksi inet sana Mas, kebetulan :)

    Balas
  3. wah… sepertinya harus kubaca lagi bukumu yg sdh berdebu di rak lemariku ya don… sekedar mengingatkan kejadian kemarin…

    Balas
  4. yenny salah satu bagian dr peristiwa itu mas dony…
    kebetulan yn tinggal di depan kecamatan gantiwarno yang sejauh mata memandang langsung rata…
    saya pun ga bisa keluar rumah di saat2 genting itu.
    tapi Puji Tuhan yn n fam selamat
    tp ternyata di lingkungan kami cukup banyak yg meninggal…
    sekali lagi Puji Tuhan,
    KAMI MASIH HIDUP

    Balas
    • Mbak Yenny, terimakasih untuk bersaksi di blog ini. Saya sangat mengerti dan menyadari bagaimana perasaan saat itu ya.
      Ya, kita patut bersyukur kepadaNya karena kita masih diberi hidup…

      Balas

Trackbacks/Pingbacks

  1. Detik-detik yang Menghempas – Donny Verdian - […] aku bisa bikin buku, dua tahun lalu? Jawaban singkatnya adalah karena ada gempa Jogja, 27 Mei 2006! Bukan semata-mata…

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.