Rendi

29 Nov 2012 | Cetusan

Suatu waktu aku pernah berkawan dengan seseorang. Anggap, Rendi namanya. Seorang yang gagah, tinggi-besar, paras yang meski pasaran tapi selalu sanggup membuat takluk para wanita; apalagi kalau sudah memainkan gitar dan bernyanyi di atas panggung, kata orang Ambon, “Seng ada lawan!”

Uniknya, meski menawan, Rendi tak memiliki pekerjaan yang tetap, seolah pekerjaannya ya hanya membuat menawan hati lawan jenisnya tadi!

Aku sering mengistilahkannya sebagai pekerja di sebuah perusahaan “Entahlah” dan hal ini diakuinya sendiri seperti tertuang dalam percakapan di bawah:

“Kamu kerja apa Ren?” tanyaku suatu waktu.
“Hari ini aku bantu Koh Joni bagiin flyer tapi besok entahlah!” jawabnya.

Pernah juga suatu saat aku melihatnya jalan-jalan di kawasan Malioboro, Yogyakarta.

“Ren! Kayak turis aja.. ngapain kamu di sini?” tanyaku.
“Entahlah, Don!”

Nah, aneh kan!?
Tapi anehnya lagi, meski tak berpenghasilan tetap, ia tak pernah merasa khawatir akan keuangan dan masa depannya.

Kalau ada orang bertanya tentang ‘Apa kamu nggak khawatir?’ jawabannya selalu kalau nggak,

“Aku percaya Tuhan, Don!” atau,
“Tuhan tak pernah tertidur!” atau lagi,
“Burung di udara saja diberiNya makan… apalagi kita?”

Pokoknya, ia begitu setia berkutat di balik tameng-tameng itu.

Hingga di sebuah sore yang rindang, Rendi mengajakku nongkrong di coffeeshop yang kerap kujadikan tempat nongkrong bersama kawan-kawanku lainnya selain dia.

“Kamu pasti kaget bagaimana aku tahu kamu biasa nongkrong di sini kan, Don?” ujarnya sok misterius.

“Errrr.. iya, kok bisa?”
“Hahaha… Aku, Rendi! Aku mengamatimu…” ia tergelak dan aku tersenyum kecut merasa dimata-matai.
“Dasar!” jawabku.

“Tapi serius, Don. Aku ingin ngomong sesuatu padamu sore ini.”
“Hmm, OK. Gimana Ren?”

“Ah, rileks sajalah dulu.. hmmm kamu mau minum apa biar kupesankan?”
Aku terperanjat mendengarnya! ‘Tumben’ ia punya uang dan tumben pula menawariku.

Sesuatu yang di luar nalar, gumamku.
“Oh, tak usah Ren.. Aku punya minuman kesukaan di sini, kau tak tahu apalah itu. Biar aku yang pesan sendiri.” ujarku menghindari tawarannya seraya beranjak ke kasir untuk memesan.

Hingga akhirnya minuman datang, aku malah jadi pihak yang tak sabar menunggu apa sebenarnya maksud dari undangannya untuk mengajakku nongkrong kali itu.

“Jadi gimana Ren?” sergahku setelah hening terselip diantara cengkerama kami. Jariku mengetuk-ketuk meja.

“Gimana apanya?… Oh, ya.. ya… jadi begini, Don!” matanya menatap nanar ke atap coffeeshop sementara aku siap mendengarkan.

“Aku ditawari pegang usaha!”
“Wow! Usaha apa? Dimana?”
“Sayangnya tak di Jogja, Don!” jawabnya.

Belum ada yang terlalu mengejutkan, gumamku.
Rupanya Rendi ditawari untuk memegang sebuah biro desain di pelosok pulau ujung timur. Ini sebenarnya sesuatu yang mengherankan karena sejauh yang kutahu, ia bukanlah desainer dan bukan pula orang yang ‘dekat’ dengan dunia desain.

“Kamu mungkin bingung, Don kenapa aku mau terima itu padahal aku bukan desainer!?” Ah, Rendi berhasil menangkap pikiranku.

“Kamu sudah bingung dan pasti kamu akan tambah kaget kalau kubilang bahwa aku mau terima tawaran itu karena aku kenal kamu!”

Ketukan jemariku terhenti saat itu juga! Aku terperanjat lagi! Seribu topan badai kenapa orang ini mendadak bawa-bawa namaku?

“Tenang, Don! Ini rencana baik, bahkan terlalu baik dibanding keadaan perusahaanmu yang sudah baik saat ini hehehe…” Aku dibuatnya menjadi semakin waspada.

“Hmmm, bagaimana itu?”

“Kamu nanti kujadikan konsultan jarak jauhku, Don! Jadi, anggap saja aku dan kamu yang memegang biro desain itu!”

Ia lalu menjelaskan rencana kerjanya dan memberiku pengertian tentang bagaimana ia hendak mengaitkanku ke dalam rencananya itu.

Uniknya, aku yang semula skeptis dan cenderung menyelidiki gelagat tak lazimnya menjadi hanyut dalam penjelasannya. Terlebih ketika ia mulai menyebutkan sejumlah uang yang bakal jadi bagianku dalam setiap pekerjaan yang ditawarkannya.

“Nah, jadi gimana Don? Menarik, kan?”
Aku manggut-manggut.

“Oh ya, ini terimalah!” sepucuk amplop diserahkannya kepadaku.
“A…apa ini, Ren?”

“Oh, itu uang untuk kamu beli komputer! Aku tahu kamu tak mau mengerjakan kerjaan ini nanti di kantor. Jadi, belilah yang bagus dan kerjakan dari rumah!”

Dan kopi pahit tanpa gula yang biasa kucecap setengahnya saja itu tak terasa tandas hingga permukaan gelas. Kenyataan sore itu terlalu manis untuk dibandingkan kopi terpahit sekalipun!

* ? ? ?* ? ? ?*

“Lalu apa nama biro desainmu, Ren?” tanyaku melalui telepon pada Rendi yang telah berangkat ke Pulau Ujung Timur sejak tiga bulan yang lalu, sejak percakapan di atas terjadi.

“Eh, ini bukan biro desainku. Ini biro desain KITA, catat.. KITA!”
“Oh ya.. ya.. ya.. Lalu apa namanya? Masa biro sudah jalan tapi belum punya nama?”

“Hahahaa! Aku menamainya Biro Desain Hedvotis uncinella!”
“Artinya?”

“Ah, sudahlah, tak perlu kau tahu artinya pokoknya menurut feelingku, nama itu menjanjikan keuntungan!”

Aku manggut-manggut.
Tiga bulan pertama sejak didirikan, Biro Desain Hedvotis Uncinella berkembang luar biasa dan hal itu membuatku kalang kabut untuk memenuhi pesanan desainnya.

Bayangkan, dalam sebulan, aku harus bisa mengirimkan lebih dari dua puluh desain dengan variasi berbeda-beda dan dimensi media serta jenis yang beda pula. Pekerjaan kantor pun jadi agak sedikit terbengkalai dan tak jarang aku mengeluhkannya pada Rendi.

“Tenang, Don! Kau hitunglah nominalnya berapa omzet biro kita. Semoga nanti cukup membuatmu terbujuk untuk pindah kemari meninggalkan Jogja!”

Namun, uniknya setiap ia berkata seperti itu, aku hanya membalas dengan tertawa.?”Lho, beneran ini! Kamu di Jogja masih naik motor kan? Kalau kamu pindah kemari kamu langsung dapet mobil, Don!” ujarnya meyakinkan.

Dan keyakinanku bukannya terlalu tegar untuk mengabaikan ajakannya tadi. Beberapa kali aku sempat goyah dan hendak setuju untuk pindah tapi entah kenapa saat itu seperti selalu ada yang menghalangiku dan Sang Waktu akhirnya membuat penghalang itu ‘menampakkan parasnya’ pada saatnya.

Suatu siang yang cukup tandus, selepas makan dan menghisap rokok, telepon genggamku berdering kencang.

“Halo, ini Donny ya?”
“Yup, saya sendiri. Ini siapa?”
“Oh, kenalin saya Hung-hung! Temannya Rendi! Kamu kenal Rendi kan?”
“Ah, ok! Hung-hung? Sebentar… kamu kliennya Rendi ya?”
“Bukan, saya bukan kliennya. Saya mitra kerjanya!”

“Oh, ic! Ya..ya Rendi pernah cerita punya kolega di sana ya. Apakabar Hung?”
“Oh baik, Don! Kamu sendiri baik?”
“Ya, begitulah… aku ikut senang dengan kemajuan biro desainmu, aku juga senang membantu!”

“Sip! Sip! Hehehe…Hmm.. Don, kamu ada waktu untuk ngobrol sebentar?”
Aku melirik ke arah arlojiku, masih cukup waktu, gumamku.
“Aku mau tanya soal Rendi. Dia masih sering hubungin kamu?”
“Ya iya… hampir tiap sore. Kenapa, Hung?”

“Hmmm.. Bole tanya lagi?”
“Ya?”
“Dalam sebulan kemarin, berapa desain yang kau kirimkan ke Rendi, Don?”
“Wah, banyak sih! Bulan kemarin saja mungkin ada sekitar 20 buah, Hung. Kenapa?”

“Hmmm..” ia menggumam panjang, tampaknya berpikir. “Kamu sudah dibayar Rendi untuk semua desainmu?”

“Be.. belum! Dia bilang setengah tahun nanti akan dibayarnya!”
Aku semakin penasaran. Tiga kali pertanyaan kujawab dengan baik tapi datangnya begitu bertubi-tubi.

“Hmmm… OK! Gini, Don! Maaf lho kalau aku harus ngomongin ini!”
“Ya?” dadaku berdegup kencang. Aku membaui sesuatu yan tak terlalu sedap dengan Rendi.
“Aku mau jelaskan satu hal, Don!”

Hung-hung lalu bercerita bahwa sudah lebih dari sebulan ini Rendi tak pernah kembali ke biro desain. Namun uniknya, tak satupun dari klien biro tersebut yang mencari Rendi ke kantor.

“Perkiraan kami semula, Rendi hilang! Tapi karena kamu bilang dalam sebulan terakhir ia selalu kontak denganmu dan uniknya tak ada klien yang ke kantor untuk mencari-cari dia… aku berpikir jangan-jangan ia melarikan job kantor dan mengerjakannya sendirian!”

Aku terperanjat.
Sesaat kurasai rasa pahit kopi yang kuminum tiga bulan lalu tiba-tiba menggetarkan tenggorokanku. Senyum Rendi yang muncul di benak memperkuat getirnya dan tak sadar aku hanya bisa berujar, “Entahlah, Hung! Entahlah…”

Badanku lemas seketika. Tak sepeser pun uang telah kuterima dari Rendi sementara berpuluh-puluh hasil kerja telah kukirimkan dengan harapan setengah tahun kemudian berubah bentuk menjadi rupiah yang bejibun banyaknya.

Sore itu, setibanya di rumah sepulang kantor, tak seperti biasanya aku tak tertarik sama sekali untuk menyalakan komputer yang masih bau toko untuk keperluan semua pekerjaan Rendi.

Beberapa kawanku yang kuceritakan kepadanya cerita ini menyarankanku untuk menjual atau setidaknya menyandera komputer itu sampai aku mendapat bagianku.

Tapi aku terlalu tinggi menaruh gengsiku untuk melakukannya.?Kardus pembungkus komputer segera kuambil di gudang. Kurapikan kembali semua piranti pendukung komputer itu dan kumasukkan ke dalam kardus serta kusegel rapi. Di atasnya kububuhkan alamat biro desain,

Hervotis Uncinella d/a Rendi Muchtar,
Jl Kapiten No 1,
Pulau Ujung Timur

Keesokan paginya kubawa komputer itu dengan motor bebekku ke jasa penitipan untuk kukirimkan pada yang lebih berhak.?Siang itu aku merasa, jangankan Rendi, komputernya pun tak berhak untuk bersinggungan denganku, pejuang kecil yang mencoba tulus dan jujur.

* ? ? ?* ? ? ?*

Beberapa tahun sesudah kejadian itu, ketika kita semakin menyadari bahwa Facebook adalah benar-benar jaring yang mampu menjaring semua orang ke dalamnya, aku menemukan Rendi di sana.

“Hai, Don! Apakabar?”
“Oh baik, Ren!” jawabku lewat messengernya.

“Aku mau ke Jogja minggu depan, Don! Bisa ketemuan kita?”
“Oh, aku sekarang tinggal di Sydney, Ren!” jawabku singkat tanpa menyisakan satu hal pun untuk membuatnya menjawab pesanku sebenarnya.

“Oh, di Sydney! Bulan lalu aku ke Adelaide! Tau kalau kamu di Sydney barangkali aku akan mampir ke sana! Kerja apa di sana? Buka web design service?”

“Eh nggak, aku kerja ikut orang lah.. jadi pegawai, Ren!”
“Wah sayang sekali! Kamu waktu itu tak sabar sih! Sebenarnya beberapa bulan sesudah itu aku buka biro desain sendiri tak jauh dari kota tempat biro pertamaku kumulai. Waktu itu aku mau ajak kamu tapi aku tak bisa menghubungimu sama sekali!”

“Hmmm.. ic”
“Padahal kalau kamu pindah waktu itu, aku sudah berencana untuk membelikan rumah untukmu, Don!”
“Hmmm…”
“Kamu itu orangnya terlalu jujur dan nurut, Don! Padahal kalau kamu mau ‘gerak’ dikit, barangkali kamu bisa sama sepertiku atau malah jadi pengusaha yang lebih keren deripadaku!”

Aku mengerutkan alis.
Ingatan tentang masa lalu kembali menguat meski getir pahit kopi yang kucecap waktu itu tak terbayang lagi di ujung lidah. Bukannya geram atau menyesal, namun saat itu aku malah merasa bersyukur betapa aku telah menentukan sikap untuk setidaknya tetap jujur dan tulus, tak seperti Rendi, kawanku yang semoga akan tetap bisa kuanggap sebagai kawanku tadi.

Aku segera menutup window percakapan tanpa mengucapkan kata pamit sepatah pun. Aku berjalan ke dapur, memanaskan air, menyeduh kopi tanpa gula, dan kusesap atasnya. Pahit.

“Berikanlah kami pada hari ini, makanan kami yang secukupnya” – Yesus Kristus

Sebarluaskan!

12 Komentar

  1. kalimat terakhir di postingan ini mengingatkanku untuk selalu bersyukur ^^

    Balas
  2. mirip cerita asli kangmasku mas.. srg desainnya dilariin tmn. tp tiap ketemu kayak ga ada dosa. tp alhamdulillah rejeki msh ckp ^.^ <<– copas twitter @deeariari

    Balas
  3. … berilah kamu rejeki pada hari ini … ampunilah kami seperti kami mengampuni … jauhkanlah kami dr yg jahat …

    3 petikan itu yg selalu kuingat mas {^_^}

    Balas
  4. Ternyata manusia penuh dengan misteri yang kadangkala sulit untuk ditebak manusia lainnya

    Balas
  5. baca cerita ini perasaanku jadi campur aduk, mas.
    tapi pada akhirnya, orang yang mengerti hidup akan selalu menemukan apa makna Tuhan memberikan jalan hidup seperti itu..

    Balas
  6. semoga diampuni temanmu itu Don… nekad juga temanmu itu ya… the real sales man ternyata….

    Balas
  7. Membaca crita ini dipagi hari di atas kasur, dan speechlessm

    Balas
  8. Kadang ditengah kita banyak kebingungan, kenapa banyak orang yang tidak jujur justru lebih berhasil. Tapi ya itu hanya masalah waktu, sampai “si tidak jujur” itu akan mengalami kejatuhannya. Atau setidaknya Rendi tidak akan tidur lebih tenang dari Donny :)

    Balas
  9. Wah.. mudah mudahan rendi sadar deh?? Dan kalau seperti otu orangnya selalu mikir mudah mudahan disadarkan Tuhan. hmmm..

    Balas
  10. Percaya diri dan hati-hati menghadapi suatu kondisi, mempelajari setiap kemungkinan adalah kunci dari keberhasilan kita…. :)

    Balas
  11. Sepertinya ada yang tak mau jatuh ke lubang yang sama untuk kedua kalinya. *semoga saya ndak salah

    Balas
  12. wah serem juga ceritanya…
    perkawanan mmg tak selamanya manis ya…..

    Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.