Komisi Pemilihan Umum (KPU) akhirnya membatalkan rencana pemilu lanjutan di Sydney, Australia.
Sebagaimana kita ketahui, ada beberapa hal yang terjadi di lapangan pada saat hari pemilihan digelar, 13 April 2019,? yang membuat Bawaslu akhirnya merekomendasikan KPU untuk mengadakan Pemilu susulan di kota tempatku tinggal ini.
Bagiku, sebagai salah satu orang yang turut mencermati dan menyuarakan hal ini, pembatalan ini amat mengecewakan! Apalagi membaca alasan yang disampaikan oleh Wahyu Setiawan sebagai komisioner KPU. Menurutnya sesuai yang dirilis Kompas adalah begini:
?Jadi kalau kerumunan, kerumunan itu apakah pemilih atau warga yang berkerumun kan perlu kita dalami juga. Supaya apa? Supaya hak pilih itu betul-betul digunakan oleh orang yang memang berhak.?
Ketidakmampuan penyelenggara
Ketidakmampuan untuk mendeteksi siapa yang berhak dan siapa yang tidak berhak di tengah kerumunan mereka/kami yang mengantri masuk untuk ikut memilih 13 April silam adalah ketidakmampuan penyelenggara.
Terlebih, hal yang harus dimengerti bersama-sama, setiap warga negara, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dijamin haknya untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum. Begitu seperti tertuang dalam Pasal 43 ayat 1 Undang-Undang Nomer 39 Tahun 1999.
Sebetulnya, KPU dan PPLN (Panitia Pemilihan Luar Negeri) Sydney tidak perlu menghitung berdasarkan jumlah yang berkerumun. Mereka ?cukup? menghitung siapa yang belum memilih dan siapa yang sudah berdasarkan jumlah warga.
Jadi, terlepas seseorang sudah mendaftar sebagai pemilih (DPT) atau belum, selama mereka adalah Warga Negara Indonesia yang sesuai ketentuan boleh memilih maka ia berhak untuk memilih.
Sistem yang terintegrasi dengan baik
Tapi barangkali muncul pertanyaan, bagaimana kalau mereka yang sudah memilih pada 13 April 2019 lalu memilih lagi dalam Pemilu susulan?
Hal itu tak’kan terjadi seandainya KPU dan PPLN bekerja sama dengan pihak Kedutaan/Konjen dan otoritas di Tanah Air untuk mencocokkan database tentang siapa saja yang sudah memilih dan belum memilih.
Pada prakteknya, orang datang, dicheck paspor-nya. Kalau ada nama dalam daftar yang sudah memilih, ia harus ditolak. Sebaliknya jika tidak/belum, ia boleh memilih.
Enak loe omong, Don! Kenyataannya kan susah!
I know.?
Pada kenyatannnya memang lebih susah untuk membangun satu sistem kerja yang terintegrasi dengan baik ketimbang mengadakan Pemilu susulan, kan?
Untuk itulah seperti yang kutulis tempo hari di sini, hal pertama yang kuusulkan untuk dilakukan sebenarnya bukanlah Pemilu ulang/susulan tapi audit secara detail dan terbuka oleh kalangan profesional yang netral tentang persiapan dan pelaksanaan pemilihan.
Di titik ini, yang perlu dijadikan diskusi bukan lagi tentang susah atau gampang tapi, berani atau tidak?
0 Komentar