Ramadhan dalam Ingatan

24 Agu 2009 | Cetusan, Indonesia

Indonesia mau tak mau membuatku turut merasakan greget bulan Ramadhan meski aku adalah non-muslim.
Sesuatu yang indahnya tak bisa hilang dari ingatan sebab di negeri dengan alam elok dan penduduk yang ramah-tamah itu, kehadiran bulan Ramadhan selalu ditandai dengan banyak hal yang begitu istimewa. Ada greget yang berbeda ketimbang bulan-bulan lainnya; semacam gairah, dinamika sekaligus kekhusyukan yang tak pernah lepas melingkupinya.

Berikut ini adalah remah-remah ingatan yang dapat kutuliskan tentang kenangan Ramadhan di Indonesia, sekadar usaha melawan lupa.
Semoga berkenan!

Sahur
Sebagian besar keluarga besarku adalah muslimin dan muslimah.
Mulai dari papaku, keluarga besarnya dari Biltar hingga keluarga Eyang Buyut Klaten dari pihak Mama, semua adalah kaum yang memang diwajibkan untuk berpuasa pada setiap Ramadhan.
Oleh karenanya, ikut berbuka puasa maupun makan dini hari selagi santap sahur adalah kegiatanku sejak kecil.
Apalagi hingga sebelum awal 90-an, ketika Simbah Buyut Putri Klaten masih sugeng, setiap menjelang Lebaran, anak-anak serta cucu-cucunya yang tinggal di Indonesia, kami semua berkumpul di rumah Klaten yang sekarang menjadi rumah orang tuaku.
Suasana rumah yang biasanya sepi mendadak ramai dan semarak.

Satu hal yang kuingat adalah ketika pertama kali aku ikut sahur, sekitar lima tahun usiaku waktu itu.
Tiba-tiba pada sebuah sore aku berpesan pada Mamaku untuk dibangunkan ketika orang-orang bersantap sahur dan hal itu benar-benar terjadi. Aku bangun mengambil piring, menuang nasi ke atasnya serta sebutir telor asin dan sayur bayam yang dimasak Mama yang juga non muslim sepertiku.
Sesudahnya aku pun tertidur lagi dan ketika bangun, seperti hari-hari biasa lainnya, Mama membuatkanku susu namun bedanya kali ini dimintanya aku untuk menghabiskannya di kamar saja supaya tak mengganggu yang sedang berpuasa sekaligus menghormatinya. Lalu aku menurut saja, kuhabiskan susu hingga tandas …

Jualan Kolak
Setelah pindah ke Kebumen, sekitar pertengahan tahun 80-an, pada beberapa kali Ramadhan, Mama jualan kolak ubi dan pisang.
Ia membungkusnya dalam kemasan plastik lalu menjelang waktu Buka Puasa tiba, para tetangga yang berpuasa berdatangan untuk membeli bungkusan-bungkusan kolak yang seingatku dihargai 250 rupiah per satuannya.

Pasar Malam
Di alun-alun, selama sebulan penuh digelar pasar malam yang menyajikan banyak wahana permainan dan berbagai macam barang diperjualbelikan. Aku dulu sangat tertarik pada permainan Ombak Banyu, Tong Setan, Jaran Mubeng (aku insisted menyebut demikian ketimbang Komidi Putar) serta tak lupa merengek-rengek minta dibelikan banyak mainan baru yang dijual disitu seperti kapal othok-othok, gasing, yoyo, mobil-mobilan plastik hingga replika truk berbahan kayu berukuran jumbo.

Petasan
Karena rumahku ada di dekat sungai, pada bulan Ramadhan, teman-teman sepermainanku beramai-ramai membuat mercon kaleng di tebing-tebing pinggiran sungai.
Sesuai namanya, mercon kaleng terbuat dari kaleng yang dibuka penutup kedua sisinya, disusun beberapa buah dan saling dihubungkan, lalu ditanam di dalam tanah dengan moncong menghadap ke arah sungai. Pada kaleng yang terjauh dari moncong, salah satu permukaan yang menghadap ke atas dilubangi sebesar ibu jari, diberi bambu hingga menyembul ke atas berfungsi sebagai penyulut petasan.

Untuk menyalakannya, mereka menggunakan sepotong karbit yang dicelup ke dalam tabung plastik kecil (biasanya bekas tempat balsem) berisi minyak tanah lalu dimasukkan ke dalam susunan kaleng itu hingga tepat berada di bawah lubang penyulut. Mercon lalu dimampatkan udaranya untuk beberapa saat; ditutup moncong serta lubang penyulutnya menggunakan kain tak terpakai, dan beberapa saat kemudian lubang pemantik dibuka lalu disulut dengan api, “Blarrrr!!!” suara nyaringnya terasa berdesing-desing, terbentur paparan lembah sungai memantul-mantul, menggetarkan hati.
Menakjubkan!

Hari Sekolah yang Lebih Pendek
Setelah tamat di SD katolik, aku mengenyam pendidikan SMP di sekolah negeri di Kebumen.
Oleh karenanya, selama bulan puasa jadwal masuk dan pulang sekolah pun dirombak menjadi lebih siang masuknya dan lebih pagi pulangnya. Ini adalah sesuatu yang luar biasa menyenangkannya ditambah lagi dengan pelajaran Olahraga yang tak begitu kugemari yang selama bulan Ramadhan lantas diganti menjadi Teori Olahraga.

Surau Sebelah Rumah yang Lebih Ramai
Tak jauh dari rumahku, terdapat sebuah surau.
Selain bulan Ramadhan, aku ingat surau itu hanya ramai saat subuh, dimana banyak nenek-nenek dan kakek-kakek bersembahyang di sana, saat azhar, beberapa teman mainku yang ikut belajar mengaji dibimbing tetanggaku yang sudah remaja lalu dilanjutkan dengan sholat azhar, saat maghrib biasanya bapak-bapak yang pulang kerja langsung bersembahyang di situ, serta saat isya tiba yang biasanya giliran para ibu yang memenuhinya (Aku tak mencatat kegiatan selama saat Dhuhur karena saat itu aku masih ada di sekolah). Event-event khusus dengan keramaian lainnya, terhitung hanya Idul Adha atau ketika ada tetangga yang meninggal dan kebetulan ia muslim lalu disholatkan di situ, selebihnya sepi.

Tapi ketika Bulan Ramadhan tiba, surau itu menjadi luar biasa ramainya nyaris tak terbatas waktu!
Sepanjang hari dan malam, selalu saja ada kegiatan di situ mulai dari tarawih, pengajian tambahan, serta satu hal yang tak pernah terlewatkan adalah santap buka bersama. Geliat yang menyenangkan :)

Spanduk “Selamat Menunaikan Ibadah Puasa” di depan Gereja
Bulan Ramadhan tak membuat gereja jadi sepi, ia berjalan seperti biasanya.
Maka, setiap akhir pekan tiba, diantar Papa, aku dan Mama serta Citra yang masih bayi mengikuti misa di Gereja.
Pada satu Ramadhan yang masih sanggup kuingat, di muka Gereja itu kulihat spanduk bertuliskan “Selamat Menunaikan Ibadah Puasa!”

Aku lantas bertanya pada Mama, “Ma, kok gereja pasang spanduk puasa tho? Apa kita juga harus ikut puasa sekarang ini?”

“Ya enggak, puasa kita kan kalau pas mau Paskah, bukan sekarang.”

“Tapi kok gereja tetap pasang spanduk tho?”

“Itu menandakan Gereja ingin supaya kita ikut menghormati orang-orang yang sedang berpuasa saat ini…
Itu namanya sikap toleransi dan tepa seliro. Bukannya kamu sudah diajari di sekolah?”

Lalu tiba-tiba aku yang saat itu masih duduk di bangku kelas IV SD, terbayang ucapan Pak A.S Midi, guru PMP ku waktu itu.

“Tersenyumlah ke orang lain karena kita tahu disenyumi itu menyenangkan. Berbuat baik ke orang lain karena kita tahu ketika dibaiki orang lain itu melenakan. Selamatilah orang lain karena diselamati itu meneduhkan dan menyemangati. Dan sebaliknya, ojo njiwit, soale dijiwit kuwi larane ra karuan!”

Saat itu aku tersenyum… dan sekarang, setelah lebih dari dua puluh tahun aku tersenyum lagi mengingatnya.

Selamat berpuasa saudara serta sahabat!
Semoga Tuhan menerima amal dan ibadahmu dan memberikan pahala yang terbaik bagimu…

Sebarluaskan!

49 Komentar

  1. perbedaan yang indah ya mas :)
    memang setiap perbedaan seharusnya menjadikan kita saling menghormati tidak lantas main bunuh2an…
    sweet memory….indah bgt!

    Balas
    • He eh :) Thanks, Ria..:) Selamat berpuasa!

      Balas
  2. wow… saya yang seorang muslim aja tak punya kesan sedalam itu tentang puasa, hebat sampeyan :)

    Balas
    • Yang hebat Tuhan saya, Mas :)

      Balas
  3. Emang klo inget2 Ramadhan byk kenangan yg gak bisa di lupain ! Slam Knal MAs !

    Balas
    • Salam kenal juga :) Sepakat dengan Anda :)

      Balas
  4. kalau di Jakarta, selain ada penjual dadakan berupa kolak ada jajanan yg rasanya hanya pas Ramadhan aku menemuinya : Kue Putu Mayang…sudah hampir 16 tahun aku niteni kalo kue ini dijajakan oleh anak2 kecil keliling gang hanya saat Ramadhan saja. Mau coba nyicipi, Don?

    Balas
    • Hehehehehe, aku ingat namanya tapi lupa kayak apa bentuknya. Ijo-ijo yang atasnya ada kelapa parutnya ya?

      Balas
  5. indah betul ingatanmu Don… mantap!
    bertoleransi, sebetulnya sudah menjadi barang yang sangat biasa di kalangan masyarakat kita. jusru, intoleransi itu dimunculkan oleh sebagain kecil masyarakat yang “sok” beragama. Ke”sok”an mereka itu, telah berakibat buruk terhadap masyarakat luas, yang tidak pernah peduli dengan perbedaan agama.
    terima kasih Donny, aku bangga memiliki sahabat sepertimu :D

    Balas
    • Hehehehe, sepakat Uda.
      Warna putihnya matahari tak kan menjadi kuat dan menghidupi kalau tak terdiri dari macam-macam warna, bukan?
      Selamat berpuasa, Uda!

      Balas
  6. cantik mas…
    Aku trenyuh banget lho !
    Sikap toleransi yang tinggi.
    Memang gereja itu tidak boleh eksklusif, harus terus membaur.
    Eh nek tak jiwit soko kene.. ra popo yo…
    wong ra ono rasane :D
    hehehe

    Balas
    • Ekslusif itu nek menurutku juga tergantung ditinjau dari sisi mana :)
      Kebenaran tetaplah harus jadi kebenaran dan gereja tetap harus mengungkapkan kebenaran yang ada pada Kristus.
      Tapi soal toleransi dan bersosialisasi itu harus mutlak dipisahkan. Dalam hal ini aku setuju denganmu, gereja harus terus membaur.
      Dijiwit kamu? Mau, tanganmu ginuk-ginuk tho? Huakakakakak!!!

      Balas
  7. jadi euforia tersendiri memang kalo bulan ramadhan.
    bukan hanya umat Islam yang memang bersangkutan dengan itu, tetapi yang non Muslim juga ikutan menikmati, termasuk liburan panjangnya hehehehe

    Balas
    • He eh :)

      Balas
  8. saiah pun ikut tersenyum membacanya :)

    Balas
    • Thanks :)

      Balas
  9. Thanks mate!
    Ga terbang ketiup angin kan semalem? hehehehe…pintu pager samping gue bener aja kedorong sekitar 15cm dari posisi semula…

    Balas
    • Sama-sama, Mate! Selamat berpuasa :)
      Semalam anginnya dah ngga terlalu kencang ah :)
      Eh loe jago amat, pasti bawa penggaris dan diukur mundur brapa senti gitu yaks?
      Ckckckck, kurang kerjaan :D

      Balas
    • Iyah!!

      Balas
  10. Senang sekali membaca tulisanmu Don. Jika kita semua memberikan toleransi yang besar pada orang lain, serta saling menghargai dan menghormati kepercayaan masing-masing, dunia ini akan aman dan tentram

    Balas
    • Makasih, Bu Enny.
      Iya, saya barusan malah baca buku Paulo Coelho yang terbaru, dibilang bahwa kalau masalah antar agama nggak ada maka lebih dari separuh masalah dunia terselesaikan :)

      Balas
  11. wah, ternyata masih tajam benar ingatan mas donny ttg ramadhan waktu kecil. hmmm …. saya salut banget dengan sikap keluarga mas donny yang begitu toleran terhadap sesama pemeluk agama. andai saja sesama warga bangsa bersikap seperti ini, saya jadi yakin ndak akan ada konflik yang berbau sara. terima kasih, mas don.

    Balas
    • Makasih juga, Pak.
      Selamat berpuasa…. haks!

      Balas
  12. Two thumbs up! Taste tulisan kali ini rasanya beda. Biasanya dalam setiap tulisan ada yang sedikit-sedikit nakal, tapi kali ini bener-bener lurus, hahaha.. Piss Bos and good though ;)

    Balas
    • Huehueheuhue…. munyuk! :)

      Balas
  13. Indahnya Ramadhan dimasa kecil . . dulu kalau di kampung sahur pasti jalan jalan wah sungguh mengasyikan

    Balas
    • Yoi! Pake jengkol ndak?

      Balas
  14. wah hebat juga sudah bisa begitu berbaur sejak kecil.
    “pelajaran Olahraga yang tak begitu kugemari yang selama bulan Ramadhan lantas diganti menjadi Teori Olahraga. ”
    Heran aku, kalau lihat badan kamu, semestinya kamu hobby olahraga…eee…ternyata tidak ya?
    Sama dong hihihihi
    EM

    Balas
    • Hehehehe, begitu lahir aku harus sadar bahwa aku hidup di keluarga yang berbeda-beda, Mel :)
      Aku dulu memang tidak suka olahraga, makanya aku kecil dan mungil meski tinggi.
      Tapi setelah SMA aku mulai rajin ikut beladiri, basket dan kuliah lanjut dengan nge-gym sampe sekarang ;)
      Makanya gw seksi huahuahuahua!~

      Balas
  15. ahahahahaha…
    hari sekolah yang lebih pendek.
    bener banget bang :D
    klo aku suka bagian teori olahraga karena biasanya klo ga gtu, bukunya ga dibaca (langsung maen praktek di lapangan).. sayang aja kan ya..

    Balas
    • Hehehehehehe :) Tapi Maradona ngga perlu baca buku teori SepakBola untuk jadi Tuhannya sepakbola :)

      Balas
  16. oh, waktu kecil suka main petasan ya? ck, ck.. duh nakalnya, donny…
    dulu pas di asrama ada bbrp dari kami yang jualan koktail. nggak ikut puasa, tp ikut rame2nya hehe

    Balas
    • Xixixixi!

      Balas
  17. Romantisme nih. Tapi seru juga ya, ramadhan dalam perspektif lain. Tapi memang momentum hari raya keagamaan banyak yang kembali membangkitkan kehangatan keluarga. Rasanya selalu penuh kedamaian, bukankah itu yang memotivasi kita untuk beribadah? Mohon maaf Lahir Batin ya….

    Balas
    • Yak, tul!
      Efek dari momentum hari raya adalah untuk membangun tali silaturahmi keluarga.
      Setuju!

      Balas
  18. aku juga suka petasan waktu kecil hw he heh

    Balas
    • Hihihi. sama dong!

      Balas
  19. betapa senangnya hidup berdampingan denganmu sahabat
    kita memiliki latar belakang yang tidak jauh berbeda yaitu memiliki saudara dekat yang memiliki keyakinan berbeda namun ternyata keyakinan tak melekangkan persaudaraan dan persahabatan
    betapa mulia sampean memahami betul indahnya kasih sayang berdamai dengan berdampingan kang
    walau kadang di berbeda orang tak miliki apa yang sampean punya yaitu kedamaian dalam cinta kasih sesama manusia
    salut sangat kuhormati jiwa besar sampean untuk menghormati dan menghargai saudara saudara sampean
    walah kok aku serius wakakaka
    bek balik jogja kita ketemu di mana ( papilon po crazy house ,HUgos,atawa java cave jalan magelang wakakakakaka)

    Balas
    • Amin dan makasih, Mas Tok :)
      Wah, lha kok referensi tempat mainnya kok tempat kuno, kethok nek wong lawas Mas hahahaha

      Balas
  20. berkunjung dengan memberi komen,salam kenal….

    Balas
    • Salam kenal juga!

      Balas
  21. wah, aku harus lebih banyak belajar mengenai toleransi dari keluarga njenengan nih, mas. semoga Ramadhan selalu dapat memberikan hikmah untuk seluruh bangsa Indonesia, khususnya persatuan, kesatuan dan tolerani. aku yakin Kebumen sedang merindukanmu saat ini, mas.

    Balas
    • Amin….
      Saya juga rindu Kebumen, Mas…
      sampaikan salam saya pada orang2nya, suatu waktu nanti saya pasti mampir ke sana lagi…

      Balas
  22. Tulisan yang sangat menyejukkan, Don. Aku sendiri sejak kecil sampai lulus SMP sekolah di sekolah Islam, dan tinggal di lingkungan Islam juga, sehingga hampir tidak mengenal kehidupan orang non-muslim. Baru mulai SMA, aku sekolah di SMA negeri, dan sahabat dekatku adalah penganut Katholik taat. Kuliah, lagi-lagi sahabat dekatku (satu-satunya cewe di kelas) juga penganut Katholik ketat. Tapi perbedaan keyakinan ini sama sekali tidk menjadi masalah, karena kami sama-sama saling menghormati. Hingga sekarang, aku tak pernah bermasalah bergaul dan bersahabat dengan orang yang berbeda keyakinan.
    Kenangan Ramadhannya manis sekali ya Don. Kalau di Yogya, petasan besar itu bukan dibuat dari sambungan kaleng, tapi dari batang bambu, namanya “long bumbung. Suaranya sama, menggelegar. Makin keras makin asyik. Halah, dasar bocah!

    Balas
    • Long bumbung juga ada di Kebumen, Bu cuma kita dulu pada takut soalnya bumbungnya suka mencelat kalau kita nyalakan jadinya bahaya…

      Balas
  23. nek jaman cilik, tempatku bikin long-bumbung. cari bambu wulung yg diameternya segede paha, dibentuk menjadi semacam meriam.
    cara menyulutnya hampir sama, pake karbit terus ditiup-tiup di lubang “pemicu”..
    duar! duar!! terjadi perang suara antar blok. he he he..
    pernah juga iseng bikin “roti tart” dengan memasang mercon (cap) leo di atas tletong yg masih hangat..
    tunggu sebentar.. duar-crot!! he he he..
    Ramadhan memang membawa banyak berkah. termasuk kepada umat non-muslim, kang..
    tapi di Jakarta sini, hawa-hawa Ramadhannya beda banget. aku gak ngerasa greget sepeti pas di Solo/Jogja, kang..

    Balas
    • Aku ndhisik wedhi pake bumbung, takut mencelat!

      Balas
  24. Kalo abis lebaran.. Masuk skolah (pas smp negeri) abis upacara salaman sama guru2 satu sekolahan… Akhirnya komen juga, setelah lama hanya mengamati.. Nice share koh..

    Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.