dr Riana Helmi

22 Mei 2009 | Cetusan

Hebat benar Riana Helmi!
Belum juga berumur 18 tahun, gelar dokter telah disandangnya.
Gadis asal Nanggroe Aceh Darussalam itu dinobatkan sebagai wisudawati termuda dalam acara wisuda Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM) di Yogyakarta, 19 Mei 2009 yang baru lalu. Ia hanya butuh waktu tiga tahun enam bulan dengan IPK memukau, 3.67!

Beda betul denganku :)
Umur 30 tahun (nyaris 31 malah) eh lha kok baru menyandang gelar sarjana :)
Ada jeda 12 tahun dalam peraihan gelar kesarjanaan antara aku dengan dr Riana, IPK ku pun tak terlalu tinggi, hanya sedikit di atas rata-rata tapi ya tetap tak sampai segitu angkanya.
Menyedihkan betul …

Kisah Riana ini mengingatkanku pada cerita tentang seorang teman yang lulus menjadi sarjana komputer pada usia 19 tahun di kampusku dulu.

Sebut saja namanya Donald.
Prestasinya memang memukau, penguasaan algoritmanya bagus dan programmingnya cerdas!
Ia jagoan membuat analisa rekursif, sesuatu yang hingga saat ini pun kubenci karena alur logikanya terlalu berbau matematis.
Ia termasuk mahasiswa yang paling mudah dicari. Kalau ndak di perpustakaan ya pasti di laboratorium atau susuri saja sepanjang teras kelas dan longoklah ke dalam, di salah satu ruangan itu pasti ia berada di sana sedang mengikuti kelas.

Boleh dibilang selama masa kuliah, ia tak pernah merambah kantin kampus.
Ia selalu membawa bekal yang siap dimakan sembari jalan dari tempat parkir motor ke perpustakaan atau dari parkir motor ke laboratorium atau dari perpustakaan ke laboratorium dan sebaliknya.

Kehidupan di luar kampusnya juga tak beraneka warna.
Jangankan Galeria Mal, mal terbesar di Jogja waktu kuliah dulu, nyaris masa hidupnya ketika kuliah hanya ada di sekitar kampus, kost, dan pulang ke Klaten, kota asalnya yang kebetulan juga kota asalku.

Beda betul denganku dan gerombolanku.
Setelah lulus pada awal tahun 2000-an ia seperti lenyap ditelan bumi.
Orang-orang banyak mengira ia telah menjadi rebutan di perusahaan-perusahaan besar di Jakarta atau Batam setidaknya dan malah bisa jadi sudah menyeberang ke Singapura. Ia menyisakan nama besar di kampus sebagai wisudawan termuda dan laporan skripsinya banyak dicari orang-orang di perpustakaan kecuali olehku, tentu saja :)

Hingga akhirnya enam tahun kemudian, pasca gempa yang memorak-porandakan Jogja dan sekitarnya, secara tak sengaja aku bertemu dengannya di salah satu bilangan di Klaten, kota asal ku yang sekaligus adalah kota asalnya.

Praktis tak ada yang berubah daripadanya. Perawakannya masih kecil, berkacamata.

“Weh, kowe tho… piye kabarmu?” tanyaku menyapanya.
“Iya.. eh… kowe tho Don! Gimana, kamu udah lulus?” tanyanya.
Asu! batinku ditanya kok malah bertanya, dan pertanyaannya itu.. aduh seperti ndak ada pertanyaan yang lain saja!

“Hehehe, belum… ketoke aku ndak mau lulus dulu ah, keenakan kerja, golek duwit!”
“Oh.. hehehehe…” Ia tersenyum menyeringai, aku menandainya sebagai satu ejekan.
Tersinggung? Sedikit.

“Kamu lagi liburan di Klaten tho?” tanyaku mencoba mengganti topik. Dalam pikirku ia pasti sedang berlibur menjenguk rumah orang tuanya yang mungkin rusak karena gempa.

“Ah ndak… aku ya tetep tinggal di Klaten, kok!”
“Oh moso? Kerja apa sekarang? Programming?”
“Wah ndak! Aku belum kerja!”

Gedubrak!!!!! Lulusan tercepat! Skill programming selangit! Kok belum kerja…

“Oh, lha ndak ndaftar kerjaan tho? Apa ngerjae sendiri di rumah?”
“Ah nggak juga… Aku dulu abis lulus udah daftar kemana-mana tapi ndak diterima.” ujarnya dengan tetap tersenyum.
“Oh lha kok bisa, kamu kan pinter?” Sekarang aku sedikit berada di atas angin.
“Ah, pinter ndak jaminan… katane yang interview dulu sih skillku bagus tapi aku kurang cukup dewasa…Selalu gagal di psiko test, Don!”
“Oh…”
“Lalu kesibukanmu sekarang apa?”
“Hmm apa ya.. ya cuman di rumah aja, main game komputer, sok-sok ke warnet ya chatting, beli komik atau ke pasar situ beli ikan cupang buat dipelihara..”

Dalam hati aku bergumam iri, enak betul hidupnya!
Andai aku anak seorang kaya, barangkali… ah, tidak, biarpun kaya akupun tidak akan memilih jalan hidup sesantai dia!

Obrolan pun berlanjut lumayan seru.
Maklum, enam tahun tak bertemu tentu banyak hal yang perlu diceritakan dan didengar.
Akan tetapi dari sikap dan geliat tubuhnya, aku menangkap satu hal darinya bahwa ia dalam posisi hidup yang tertekan.
Tertekan karena keadaan bahwa meskipun ia pintar tapi ia tak laku bekerja.
Meski ia bernama besar, tapi ia tak sanggup memanage hal itu dengan mempertanggungjawabkan kebesarannya.

“Oh ya sudah nek gitu, aku pulang dulu ya.. meh balik ke Jogja. Salam buat mama dan papamu..” ujarku hendak menutup percakapan yang menurutku sebenarnya semangkin hangat dan menyenangkan ini.

“Oh iya, Don… sampe ketemu lagi ya! Salam juga buat mama papamu. Rumahmu ndak papa tho kena gempa kemarin?”
“Oh, ndak… ndak papa.. Puji Tuhan baik semua… Ok GBU ya!”

Akupun pergi…
Saat itu, keinginanku satu-satunya adalah cepat-cepat pergi ke kampus, menuju ke perpustakaan dan mencari serta membaca berkas skripsinya dulu. Aku ingin membuktikan bahwa kepandaian akademik seseorang sangatlah terpisah dan terkadang jauh jaraknya dengan kepandaian kejiwaan. Seseorang yang pandai, bisa jadi diperoleh oleh mereka yang berusia terlalu muda, muda atau tua sekalipun. Akan tetapi, kepandaian kejiwaan adalah perkara kematangan hidup dan kebanyakan didapat ketika usia mulai beranjak dewasa.
Padahal baik kejiwaan maupun skill akademik, mutlak harus mampu dipadukan menjadi kehandalan dalam bekerja dan dalam kehidupan yang penuh tantangan ini, bukan?


Sumber berita tentang dr Riana ada di sini.

Sebarluaskan!

38 Komentar

  1. kalo cuman flu, pilek, radang tenggorokan, demam gak pernah ke dokter pak… :p bisa jadi dokter sendiri kalo cuman gitu doang :)) gak perlu dr riana, cukup meluk dr guling, bobo, istirahat, udah hehehehe…

    Balas
  2. Aku ya termasuk mahasiswa yang dicari, Mas .. dicari dosen disuruh cepet nyelesain skripsi, dan setelah aku lulus, mereka bilang, “Akhirnya..”
    Dosen lho yang bilang gitu, haiyah ..
    hehee :)
    UHm, jadi setelah 6 tahun itu, temen Mas yang orang Klaten itu, belum bertambah dewasa ? kok masih belum dapat kerja ??

    Balas
  3. hihihi…memang otak harus seimbang kiri dan kanan, ngga boleh timpang. lama kuliah kan berarti lebih dalam ilmu yang didapat juga mas hahaha…

    Balas
  4. Dooooonnnnnniiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii….hehehehehehe….

    Balas
  5. Serius :
    Gua prihatin juga ma temen lo itu don. Kayanya sejak ada program akselerasi di SD-SMA, banyak sarjana-sarjana yg lulus muda coz umur 14 or 15 th gitu dah masuk kuliah..cuma ya mungkin kaya temen lo gitu, belom dewasa, lah wong masih ABG gitu pas lulus. Susah lah dapet kerja kalo kedewasaan adalah salah satu syaratnya.
    Kalo dia bisa ke sini, suruh ke sini temen lo itu don, kemungkinan besar dapet kerja. Lah di sini mah ga pake psikotes-psikotesan, bukan? Ada yg pake, tp setau gue lebih banyak yg ga pake psikotes…
    Kayanya anak-anak muda yg pinter-pinter kaya gitu kalo di sini bakal disayang-sayang deh ma pemerintah…hehehe…

    Balas
  6. Lama ga ke sini, mo hetrix ah…
    Hetrix ga?? :p
    Apaan sih coolhomepages? Bukan homepage-nya orang-orang ganteng kan??? huhuhehehuhuhehe

    Balas
  7. pengennya ada lagi yang seperti dia
    ayo siapa yang menyusul?

    Balas
  8. Dengan sistem pendidikan sekarang, dimana ada sistim excel (tulisannya gimana ya)…maka di SMP bisa 2 tahun, juga di SMA. Anak temanku, umur 15 tahun mahasiswa tingkat 1 ITB….apakah ini hebat? Kita harus melihat perjalanannya kemudian, karena asal anaknya dewasa tak masalah…jika tidak akan ada beberapa masalah di komunikasi dan pergaulan.
    Dalam bidang kerja, tak hanya kepandaian, namun juga kemampuan komunikasi…justru kemampuan komunikasi ini yang paling tinggi nilainya..karena semakin ke atas, harus semakin mampu mengkomunikasikan apa yang diinginkan, mau mendengarkan saran bawahan, teman, kolega maupun atasan. Bukankah walau sudah di atas, tetap ada yang di atasnya lagi?
    Jadi, setiap orang membawa bebannya sendiri-sendiri….Nikmatilah setiap posisi kita, dimanapun berada, syukurilah setiap tahapan keberhasilan, walau hanya kecil sekali.

    Balas
  9. Hah?.. 6 tahun blass belum dapet kerjaan??
    Emang separah itukah psikotestnya?
    Kalau gitu, berobat saja ke dr. Riana :D

    Balas
  10. Teman saya ada yang baru 9 tahun, sudah bisa bantu orangtuanya cari duit.
    Wah lebih hebat lagi…

    Balas
  11. prestasi akademik Riana Helmi memang mengagumkan. demikian juga donald yang mas donny sebutkan itu. tapi itulah kenyataan yang terjadi. cerdas otak, ternyata belum bisa menjadi modal yang cukup utk bisa sukses. masih butuh cerdas emosi, sosial, dan spiritual. agaknya benar apa yang dikatakan oleh daniel goleman, sang pencetus ide kecerdasan emosional itu.

    Balas
  12. Mudah-mudahan banyak orang yang mbaca ini artikel. supaya mereka sadar bahwa untuk sukses itu tidak cukup bermodal IQ, tapi juga juga EQ. Tapi ya..kedewasaan emosional juga tidak tergantung usia kan? tapi seberapa besar keinginan seseorang belajar bertanggung jawab terhadap setiap tantangan hidup yang dihadapi.

    Balas
  13. ketika aku kuliah s1 dulu, juga ada teman sekelas yg baru berumur 15 th. dia memang pintar… tapi, sikap dan perilakunya tetap tidak bisa “melewati” umurnya. ini menunjukkan kalau kedewasaan bukanlah ditentukan oleh kecerdasan otak semata, tapi juga oleh pengalaman hidup.
    saya tidak hendak menyuruh anak saya memasuki kelas akselerasi (patas), meski dia mampu. karena bagi saya, kecerdasan itu haruslah lengkap; otak maupun emosi. kecerdasan otak tanpa diikuti kecerdasan emosi akan membuat seseorang “pincang”, begitu juga sebaliknya… :)
    eniwei, saya tetap bangga dg anak indonesia yg memiliki prestasi “melewati” anak2 seusianya… :)

    Balas
    • Saya juga bangga kok :)

      Balas
  14. sakjane temen sampeyan itu pintar memorik atau aplikatif mas?
    lha kalau pintar nya ndak sekedar memorik, bidang sampeyan itu kan malah ndak terlalu membutuhkan kematangan emosional toh buat nyari rejeki?
    *bener nggak ya?

    Balas
    • Kalau buat nyari rejeki sesaat barangkali memang tak butuh kematangan emosi, tapi nek kerja di agency yang tukang bikin aplikasi, gimana mungkin seseorang yang nggak dewasa bisa ngadepin perkara non teknis smacam deadline, manajemen pertemanan antar rekan kerja dll? :)

      Balas
  15. kasihan jg temanmu si donald itu. kadang orang memang begitu mementingkan kesuksesan akademis. dan rasa2nya itulah yg ditekankan pada anak dari SD sampai kuliah. mesakne tenan, cah!

    Balas
  16. wow luar biasa…tapi kan kita punya jalan hidup sendiri lho mas, jadi jangan berkecil hati hahahha. Siapa tau ntar keturunan mas donny, juga pinter kayak bu dokter ituu

    Balas
  17. Belum pernah bertemu dr Riana, jadi nggak pernah tahu apakah jiwanya udah matang atau belum, dan contoh satu temanmu itu belum tentu berlaku sama untuk individu yang lain. Meski gitu, tetap aja prihatin dengan temanmu.

    Balas
    • Setuju, Yoga…
      Tapi kisah si Riana ini mentriggerku… ya hanya mentrigger tidak bermaksud menyamakan :)

      Balas
  18. lho dari klaten juga..??
    Klatennya mana?
    jangan2 tetangga lagi…
    bwsetuju sama komen uda vizon.. kedewasaan itu tertempaoleh pengalaman hidup

    Balas
  19. keknya nasib “orang pinter” di jogja kok sama yo, mas? temenku jg begitu. si bintang kelas ndak terdengar kabarnya. biasanya sih jadi dosen. :D
    aku jadi inget celetukan seorang teman, “kok yang sekarang sukses kok cah-cah sing pas kuliah ra tau mikir, yo?”.. walau lucu, tapi pas denger celetukan itu, aku berpikir, bener juga.. hehehe
    kuliahku isine mung dolan-dolan, mas.. hehehe

    Balas
    • Berarti nasibmu apik dong..:)

      Balas
  20. bisa minta tolong gak kasih tau gak, alamat email dan blog / situs riana helmi ?
    thanks

    Balas
  21. wong pinter seh kalah ro wong bejo, setuju gak?

    Balas
    • Betul… wong bejo isih kalah karo wong bejo sing pinter. Loh!!! :)

      Balas
  22. yah, berdoa saja semoga Riana bernasib “baik” ke depannya.
    aku jujur prihatin dengan sahabatmu itu mas.
    semoga aku ga bernasib sama seperti beliau. :mrgreen:

    Balas
    • Hehehehe… betul :)

      Balas
  23. Kalau aku kok nyalahke sekolahane..???
    Disamping ngajarin biar pinter sekolah itu mestinya ngajarin biar Dewasa…Tul ..gak??
    Halo mas Don
    Isih kelingan aku tho..
    Kelik/Bojonggede

    Balas
    • Kelingan tho ya… Mas Kelik tetangganya Pak Pram tho? :)
      Piye kabare, Mas?

      Balas
  24. Ironis sekali ya nasib kawan kamu si Donald itu.
    Memang benar katamu itu, yg dibutuhkan bukanlah hanya kepintaran di bidang akademik saja, tp juga kecerdasan emosionalnya.
    Ini jadi pe-er buat saya utk membekali anak saya nanti..

    Balas
    • Betul :) Malah barangkali kecerdasan emosional adalah kunci sebenarnya..
      Ya barangkali saja … :)

      Balas
  25. pengamatanku yo ngono sebagian besar (ndak semua lo) yang dulu nggetu dan GIGS kurang bisa survive..di dunia nyata tanpa EQ yg baik pula.

    Balas
    • Yak, tul!

      Balas
  26. email dr riana helmi ada gak, kalau ada kiremin donk.

    Balas
    • entahlah dot com

      Balas
  27. luar biasa.

    Balas
  28. Aq kakak kelasnya Riana mas.
    Tapi selisih 4 tahun di FK Ugm. Jadi aq sendiri ga liat wujud aslinya. Aq udah koas, dia baru masuk.
    Aq punya opini. Semua orang itu cuma dikasih kapasitas 10.
    Kalo 10 itu diisi kognitif semua, ya 0 kemampuan interpersonalnya.
    Makanya harus diimbangkan. 5-5 atau 3-7. Ga ada orang yang bisa 10-10.
    Dek riana ini ga tau deh dimana?

    Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.