R Kristiawan: Tema LGBT ada dalam sejarah tradisi Indonesia

25 Jul 2016 | DKK

Aku mengenal Redemptus Kristiawan secara pribadi sejak November tahun lalu saat kami sama-sama duduk di sebuah badan kepanitiaan yang mengurus pemilihan presiden alumni SMA Kolese De Britto periode 2015 – 2019.

Mas Gereh, begitu aku dan kawan-kawan alumni lain menyapanya, adalah kakak kelasku di sekolah yang berdasarkan kata kunci ?de britto? memiliki 99 tulisan (sekarang jadi 100 dengan adanya tulisan ini) di blog ini.

R KristiawanMeski rangkaian proses pemilihan presiden alumni telah selesai, komunikasiku dengannya tetap berlanjut. Lalu terdengar kabar ia masuk dalam calon anggota KPI (Komisi Penyiaran Indonesia). Sayang ia tak terpilih, diganjar suara NOL alias tak ada satupun yang memilih meski kakak kelasku yang lain, Mas Mayong Suryolaksono (Lulusan 1984, wartawan, istri artis/politisi Nurul Arifin) terpilih masuk komisi.

Tapi ketiadaan yang memilih tak selalu berarti bahwa ia buruk. Bisa jadi ia baik (bahkan terbaik) dan justru karena hal itu lantas gerombolan si buruk tidak memilihnya karena bukan berasal dari kalangan mereka sendiri, kan?

Jadi, meski tak terpilih, adalah menarik untuk mengerti isi kepala Mas Gereh ini termasuk concern-nya pada dunia konten penyiaran dan media di Indonesia.

Beberapa hari lalu aku mengajaknya ngobrol dan inilah hasil obrolan kami. Tak sedikit yang aku sendiri nggak ngerti apa yang ia omongkan, tapi nggak papa. Untuk itulah kutulis semuanya di sini, siapa tahu setelah kubaca berulang-ulang aku jadi ngerti apa yang dibicarakannya hahahaha?

Maturnuwun, Mas Reh! Tetap semangat dan berkarya bagi sesama serta dunia!

Mengamati jalannya fit and proper test di DPR tempo hari aku tertarik dengan opinimu tentang konten-konten LGBT. Konon kamu tidak menolak konten LGBT untuk masuk sebagai konten yang disiarkan. Apa benar?

Beberapa ekspresi budaya di Indonesia mengakui eksistensi orientasi seksual seperti ini, misalnya budaya Bugis dan warok di Jawa Timur. Artinya sebagai sebuah episteme, tema LGBT ada dalam sejarah tradisi Indonesia.

Senada dengan Nawacita nomor sembilan, orientasi seksual tidak seharusnya menjadi alasan bagi diskriminasi. Demikian juga berbagai kovenan HAM internasional yang sudah diratifikasi Indonesia hingga Pedoman Perilaku Penyiaran yang tidak mengijinkan diskriminasi.

Meski demikian, ada juga narasi lain misalnya narasi norma agama yang menolak LGBT, serta narasi perlunya perlindungan bagi anak. Narasi-narasi itu harus dikelola secara produktif sesuai standar kemanusiaan.

Apa itu artinya seluruh lapisan masyarakat layak dan berhak untuk mendapatkan konten LGBT?

Penayangan isu LGBT harus dilakukan dengan bijaksana agar tidak melanggar prinsip perlindungan bagi perlindungan anak dan kebebasan berekspresi sebagai bagian dari hak asasi yang diamanatkan oleh UU Penyiaran untuk dilindungi.

Caranya?

Pengelolaan tayangan harus mendasarkan pada alokasi waktu yang tepat serta tidak mempromosikan pornografi. Selain itu, tayangan yang bersifat provokatif dan campaigning harus dihindari karena narasi berpikir lain pun harus dihargai. Dalam kondisi multi narasi seperti ini, total banning tidak mungkin dilakukan karena akan menjadi preseden bagi dominasi narasi lain tanpa dasar legal dan etis yang kuat.

Memandang dari kacamata yang lebih luas cakupannya, sebenarnya apa sih masalah utama penyiaran konten di Indonesia?

Dominasi peran lembaga penyiaran swasta khususnya televisi saat ini terlalu besar.

Hal ini tampak misalnya lewat SK Menhub No. 15/2003 yang mengalokasikan frekuensi analog dengan komposisi 78,5% untuk penyiaran swasta, 20% untuk penyiaran publik, dan hanya 1,5% untuk penyiaran komunitas. Lewat komposisi alokasi yang timpang ini, menjadi bisa dipahami mengapa dominasi penyiaran swasta saat ini terasa sangat kuat oleh masyarakat.

Implikasinya?

Masyarakat terlalu banyak ditarik dalam logika produksi-konsumsi sehingga mengesampingkan logika cara hidup lain yang tidak terbeli seperti fungsi pendidikan, perlindungan kelompok marjinal, ketahanan nasional, dan lain-lain. Dalam konteks struktural seperti inilah rendahnya kualitas isi siaran berada.

Hal lain yang menurutku penting terkait isu penyiaran dan konten siaran adalah kuatnya aroma politik pada beberapa media simply karena bosnya adalah politisi. Menurutmu?

Betul.
Dominasi penyiaran swasta semakin perparah oleh intervensi kekuatan politik seperti tampak selama Pemilu 2014 lalu.

Konsentrasi kepemilikan televisi swasta ditambah dengan irisan yang kuat dengan kekuatan politik menjadi corak struktur ekonomi politik penyiaran kita terutama televisi swasta saat ini yang mengancam kualitas demokrasi Indonesia.

Tapi itu kan media milik mereka sendiri. Apa tetap bisa dipersalahkan?

Ada prinsip normatif yang dilanggar yaitu frekuensi milik publik yang jumlahnya terbatas dan semestinya dikelola secara demokratis. Selain itu, persoalan dominasi opini jelas-jelas tidak sesuai dengan prinsip pluralitas opini yang menjadi ciri demokrasi berkualitas.

Kualitas isi siaran merupakan ujung dari kualitas sistem penyiaran. Isi siaran tidak berdiri sendirian namun berkaitan dengan aspek lain misalnya struktur kepemilikan, sistem rating, dan kualitas sumber daya pekerja penyiaran. Prinsip normatif bagi penyiaran adalah frekuensi sebagai ranah publik dan dampak pervasif media penyiaran terestrial.

Prinsip normatif itu yang dipegang regulator dalam melihat kualitas isi siaran. Terkait isi siaran politik, media penyiaran yang sehat akan mampu memunculkan komunikasi politik yang berkualitas bagi demokrasi yaitu sebagai sarana partisipasi politik bagi warga dan watch dog proses politik. Namun dalam situasi dimana pemilik stasiun penyiaran bisa mendikte isi siaran untuk kepentingan politiknya, maka bisa dipastikan ada masalah dalam sistem penyiaran tersebut.

Lalu baiknya bagaimana?

Sebagai media yang menggunakan ranah publik dalam proses transimisinya, tidak sepantasnya isi siaran dipakai sebagai alat kampanye politik pemilik media tersebut. Selain merugikan demokrasi, hal ini juga akan merugikan kekuatan politik yang tidak memiliki afiliasi pada kepemilikan media penyiaran. Kompetisi politik tidak berjalan secara adil.

Media penyiaran harus menjadi sarana pendidikan politik warga menuju demokrasi yang berkualitas. Dalam hal ini, KPI bertugas untuk memastikan bahwa media penyiaran tidak sekadar menjadi ajang kampanye politik belaka. Selain itu, komunikasi politik di level kota/kabupaten melalui penyiaran juga harus diperkuat agar isi siaran politik tidak didominasi oleh tema Jakarta.

Selain sisi politik, hiburan di televisi-televisi Tanah Air penuh dengan sinetron dan infotainment. Apa yang perlu dibenahi?
Menyediakan tayangan hiburan merupakan salah satu fungsi media penyiaran. Tayangan hiburan juga masih diminati masyarakat. Survei Kompas tahun 2015 menunjukkan bahwa televisi merupakan sumber hiburan utama. Akan tetapi, justru hiburan itu (sinetron, variety show, infotainment) masuk dalam kategori acara kurang berkualitas menurut Indeks Kualitas Program KPI tahun 2015. Tayangan itu buruk karena menampilkan kekerasan, mistis, porno, bias gender, dan mempromosikan sikap hidup konsumtif. Dampak yang akan merugikan masyarakat adalah dampak kultivasi dimana masyarakat meniru perilaku yang ditampilkan di media massa perlahan namun pasti. Ini efek yang tidak kita inginkan.

Dari dulu marak sinetron dari luar seperti kita ingat era sinetron Maria mercedes lalu kini marak yang dari Turki. Kenapa tak terdengar yang dari lokal Indonesia dan mengangkat budaya-budaya lokal kita?

Modal kultural Indonesia lebih dari cukup untuk memproduksi tayangan berkualitas dan mampu berbicara di level regional. Modal itu yang belum digarap secara maksimal karena struktur industri penyiaran yang belum sehat. Menjaga keberagaman berarti mengapresiasi setiap ekspresi manusiawi sesuai dengan standar kemanusiaan universal.

Sayangnya kamu tak terpilih bahkan satu suara pun tak kamu dapatkan. Kok bisa begini?

Saya sadar bahwa pada tahapan seleksi akhir oleh DPR, logika yang berjalan adalah politik, bukan sekedar kompetensi dan kredibilitas. Inilah realitas politik kita saat ini yang cenderung menjaga kepentingan kelompok dengan mengorbankan aspek kepentingan publik, bila perlu. Yang saya sesalkan adalah penegasian kepentingan publik dalam proses itu yang tampak sekali selama proses pemilihan di DPR.

Simak juga tayangan video di bawah, hasil cuplikan dari Mas Lexy Rambadeta (kakak kelas alumni SMA Kolese De Britto juga) saat Mas Gereh sedang diuji di DPR.

Sebarluaskan!

3 Komentar

  1. Apik-apik :)

    Balas
  2. rest in peace mas Wawan

    Balas
  3. sugeng tindak mas Gereh

    Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.