[Q&A] Apakah rasialisme masih hidup di Australia?

16 Jul 2015 | Australia

blog_qa

Sesuatu hal yang diciptakan manusia akan menemui puncak dearajat tertingginya ketika ia memiliki kegunaan positif bagi orang lain.

Aku bersyukur, dengan kriteria itu, blog ini telah mencapai puncaknya karena banyak orang merasa terinspirasi dengan keberadaannya.

Salah satunya adalah Shj, sebut saja demikian. Seorang praktisi IT di Tanah Air yang sedang menghitung hari untuk pindah ke Australia. Pemerintah Australia meluluskan permohonan visanya sebagai penduduk beberapa waktu silam.

Dalam perjalanan menunggu ijin tinggalnya keluar dulu, ia, menurut pengakuannya, banyak mendapat pencerahan dari tulisan-tulisanku di blog ini terutama yang terkait dengan pengalaman hidupku di Australia tujuh tahun belakangan.

Beberapa kali kami juga terlibat korespondensi langsung; ia mengirimkan pertanyaan-pertanyaan lewat email dan kubalas jawab melalui email juga. Nah, melalui tulisan ini aku ingin menampilkan beberapa pertanyaan yang pernah dikirimkannya kepadaku.

Jawaban-jawaban serta pertanyaan telah kukondisikan untuk lebih bisa terbaca secara umum dan tidak terlalu personal. Beberapa bagian yang menurutku tidak pantas dipublikasikan juga kupangkas dan tak kutampilkan.

Semoga ini berguna untuk kalian yang juga punya mimpi untuk bisa pindah ke Australia atau ke negeri-negeri maju lainnya. Hey, tidur kalian sudah lebih dari cukup, jangan lanjutkan bermimpi, bangun dan wujudkan dalam tataran yang nyata secepatnya!

 


QMas, apakah rasialisme itu masih hidup di Australia?
Menurutku, rasialisme itu hidup dimana saja seperti halnya ?isme-isme? yang lain. Hanya bagaimana pemerintah dan civil society bisa bekerja sama dalam mengelola berdasarkan prinsip, ?yang baik dimunculkan, yang buruk dipendam dalam-dalam?, disitulah kuncinya.


ABegitu juga di Australia. Hingga kini kasus rasialisme masih ditemukan meski frekuensinya tak terlalu tinggi lagi.

Aku sendiri tak pernah gentar menghadapi kemungkinan menjadi korban rasis. Bagiku kalau sampai hal itu terjadi dan aku merasa dirugikan, aku akan menggunakan instingku untuk melawan lagipula aku toh tak minta makan dari mereka? Simple!

Kasus-kasus rasialisme biasanya terjadi karena benturan antara orang yang merasa sebagai penduduk asli dengan pendatang. Jadi, yang aku bayangkan pada generasi kedua dari pendatang yang sudah lahir dan/atau dibesarkan di sini, kasus rasialis bisa diredam karena mereka dididik dengan pendidikan yang memiliki standar dan konten yang sama.

Ini ada video menarik menampilkan contoh racism dan pembahasan singkatnya.

 


QTeman-teman saya bilang jika anak-anak dididik di sana, biasanya akan jadi pemberontak?


AHahahaha, ini pertanyaan yang sangat bagus dan dengan mudah pula bisa di-counter balik dengan pertanyaan yang semoga tak kalah bagusnya, ?Mau berapa lama sebenarnya kita akan tahan untuk mengungkung mereka, Mas??

Teman-teman SD saya dulu sudah nonton bokep padahal orang tuanya melarang keras untuk tahu yang porno-porno dan kami bersekolah di Indonesia. Teman SMP saya bahkan ada yang menghamili pacarnya dan mereka juga ada di Indonesia. Mereka pemberontak juga, kan?

Atau mungkin yang teman-teman Mas bilang itu bukannya anak-anak yang jadi pemberontak tapi anak-anak yang berpikir kritis dan tak menerima begitu saja apa yang kita, sebagai orang tua, minta?

Kalau demikian memang benar adanya. Ini terkait pola pendidikan di sini yang mengacu pada kemandirian dan tingkat kekritisan anak didik sedini mungkin.

Saya pribadi, memilih anak-anak yang kritis dan mandiri ketimbang mereka yang dibesarkan dalam kepura-puraan: pura-pura nurut padahal justru sejatinya anak seperti itulah yang punya jiwa besar sebagai pemberontak!

Atau mungkin juga karena teman-teman Mas terbiasa mengasosiasikan anak-anak di sini sebagai anak-anak yang menganut free seks?

Tak semuanya demikian, Mas. Saya punya banyak teman di sini yang berhasil mendidik anaknya untuk tetap jadi anak yang tak mempraktekkan free seks hingga menikah. (Setidaknya tidak ketahuan sih hehehe..)

Bagi saya, untuk mengatasi hal ini tak ada cara yang lebih tepat ketimbang menjadikan keluarga sebagai ?sekolah? yang terutama hingga mereka dewasa.

Oh ya, sekadar info bagi Mas, seseorang dianggap anak-anak dan jadi tanggung jawab orang tuanya hingga mereka berusia 18 tahun. Setelah berulang tahun ke 18, mereka sudah tak bisa dianggap anak-anak lagi. Posisi mereka sama di mata hukum dan negara. Kalau ada orang tua berusaha mengatur anak yang usianya lebih dari 18 tahun, ia bisa dilaporkan ke pengadilan dan bisa terkena sangsi hukuman.

blog_QA_harjo


QKesehatan, teman-teman saya bilang jika disana juga ngga gratis, karena kita wajib ambil asuransi juga.


AMungkin yang Mas maksud adalah private health insurance? Nggak wajib sih. Banyak teman-teman saya yang bahkan sudah puluhan tahun tinggal di sini dan jadi warga negara Australia yang tak memiliki private health insurance, cukup menyandarkan diri pada medicare yang dikelola pemerintah.

Eh tapi kalau mau dibilang nggak gratis, memang sebenarnya demikian, Mas. Dana kesehatan itu diambil dari sebagian kecil penghasilan kita dan memang pada kasus-kasus tertentu, misal saat kita perlu obat atau treatment yang tidak masuk dalam daftar Pharmaceutical Benefit Scheme (PBS – daftar obat dan treatment yang masuk daftar PBS bisa dilihat di sini) ya harus bayar sendiri.

Jadi misalnya ada orang mengidap kanker. Ia mendengar ada satu metode treatment baru di Jerman tapi treatment itu belum dicover pemerintah atau belum masuk dalam PBS list. Ketika ia memutuskan untuk mengambil treatment itu, jelas pemerintah tidak meng-covernya.

Info lebih lengkap tentang asuransi kesehatan dari pemerintah, silakan buka situs ini.

 


QPekerjaan, teman-teman saya bilang disana jangan berharap bisa dapat kerjaan kantoran, itu kalau beruntung saja baru dapet (nah yang saya tahu Mas Donny kerja kantoran karena ada sharing mengenai pekerjaan disana)


AHAHAHAHHAHA… LOL BIG TIME!
Mas, itu omongan para pecundang! Saya sih nggak pernah berharap kepada orang terlalu banyak Mas!

Saya dulu pertama kali datang kemari meski nggak punya modal Bahasa Inggris yang bagus (Sampai sekarang Bahasa Inggrisku pun masih nggak terlalu bagus!) tapi saya punya modal sedikit ilmu pengetahuan IT (dibandingkan dengan Mas, beneran saya ini nggak ada apa-apanya), lumayan banyak modal percaya diri tapi yang pasti, modal terbesar saya adalah bergantung pada Yesus, Mas!

Tapi memang omongan orang-orang pecundang/looser seperti itu marak dimana-mana. Saya ingat dulu waktu pertama kali ngumpul dengan orang-orang Indonesia di sini, ada dari mereka berkomentar ?Wah loe datang nggak tepat waktu, Bro! Di sini kerjaan lagi susah! Yang sabar aja atau kalau nggak loe cari yang kitchen hand dulu deh!?

Bukannya saya memandang rendah pekerjaan kitchen hand ya tapi saya anggap omongan seperti itu adalah omongan tempat sampah, Mas! Saya akhirnya memilih untuk nggak bergaul dengan orang-orang seperti itu takut karena energi negatifnya bisa menular dan saya jadi ikutan nggak maju!

Lagipula, terbukti sebulan setengah setelah saya pindah kemari, saya dapat kerjaan kantoran tuh?

Tapi memang, alangkah baiknya sebelum kita memutuskan pindah kemari, kita mencari tahu gambaran yang bisa kita dapat seandainya kita ada di sini kita akan kerja jadi apa?

Mohon juga diingat bahwa beberapa standard yang diterapkan di Indonesia bisa tidak diakui di sini. Bukan karena di Indonesia standardnya lebih rendah, tapi lebih karena perbedaan saja.

Contoh pada bidang kedokteran. Setahuku, lulusan dokter di Indonesia tak lantas bisa dianggap sama dengan di sini. Artinya, kalau kamu dokter, cari kerjaan di Australia, kamu nggak bisa langsung praktek jadi dokter.

Atau bidang marketing. Orang-orang hebat dalam bidang marketing dan sales di Indonesia belum tentu dianggap hebat di Australia bukan karena orangnya tapi karena culture-nya berbeda.

 


QTempat tinggal, teman-teman saya bilang ga bakalan mampu beli rumah disana walaupun kpr.


AKalau dibilang nggak bakalan mampu sih salah juga, Mas. Teman-teman saya, mereka kaya-kaya dan beli rumah bisa aja tuh padahal mereka orang Indonesia? :)

Walau saya belum mampu membeli rumah seperti mereka (karena background keluarga saya tidak kaya), tapi saya tidak percaya pada ketidakmungkinan dan ketidakbakalan itu :)

Tapi harga properti di Australia, apalagi di Sydney memang sedang menggila! Hal ini tidak bisa dipungkiri sama sekali.

Untuk menjawab soalan ini, saya berpikir positif.
Dari sisi spiritual, saya hanya bisa berusaha dan Tuhan yang menentukan. Kalau memang ditakdirkan saya tidak memiliki rumah sampai akhir hidup saya, itulah yang terbaik bagi saya dari Tuhan.

Dari sisi praktis, dan tetap berpikir positif, kian hari, ekspansi pembangunan lokasi tempat tinggal di Sydney makin difokuskan penyebaran dan pengadaan lahan-lahan baru di luar kota Sydney.

Hal ini membuat harga tetap agak sedikit terjangkau? asal mau tinggal di daerah yang baru dan Mas jangan takut tinggal di daerah baru karena pemerintah, ketika memutuskan untuk membuka lahan, telah memikirkan dan mengerjakan semua persiapannya, transportasi, pertokoan, sekolah, tempat ibadah bahkan hingga sampai ke tanah makam.

Tapi kalau berharap untuk mendapatkan rumah di pusat kota, misalnya, ya kalau nggak kaya-kaya amat sepertinya memang agak tidak terlalu realistis, Mas.

 


QApa ada hal-hal lain yang umum yang menurut Mas Donny belum saya tahu tentang Australia, Mas? Atau tinggal memantapkan hati saya saja?


AYa, mantapkan hatimu, Mas!
Konsep hidup bermigrasi menurut saya adalah tidak hanya mencari tempat yang lebih baik karena kalau hanya itu tujuannya, kadang kita akhirnya malah jatuh frustrasi dalam pembandingan dan percayalah tiada tempat yang lebih baik daripada Tanah Air.

Tapi, konsep hidup bermigrasi itu menurut saya adalah pada pilihan. Bagiku hal ini ada di atas perhitungan baik-tak baiknya karena setiap keputusan yang diambil seseorang dari pilihan yang ada itu sifatnya khas dan unik serta wajib dihormati.

Jadi, kalau Mas sudah memutuskan waktu hendak apply ijin tinggal, dan sekarang sudah diluluskan, kemantapan hati seharusnya sudah didapat jauh sebelum sekarang.

Yang perlu dilakukan sekarang tinggal bagaimana mengelola aset di Tanah Air yang masih dimiliki apakah mau dijual atau dikontrakkan atau dihibahkan; resign dari pekerjaan yang sekarang, pamit pada kerabat, beli tiket one way ke Australia lalu ucapkan selamat tinggal pada Indonesia.

Berani?

Sebarluaskan!

4 Komentar

  1. Wah mencerahkan nih. Yang penting ada keberanian dan jangan jadi pecundang ya mas Donny.

    Balas
  2. Keren mas! artikel-artikelnya membantu. Kebetulan september ini mau migrasi ke Australia dengan work and holiday visa, selanjutnya semoga bisa lanjut disana :)

    Balas
    • Good luck ya!

      Balas
  3. Pas banget artikelnya. Saya juga IT, sudah dapat PR dan akan pindah le Australia dalam waktu dekat walau belum ada kerjaan. Posisi di Jakarta malah saya tinggalkan :( istri dan anak sementara masih di Jakarta. Kuatir euy, orang nekad. Baru kali ini nekad spt ini. Kalau ada lowongan bilang2 ya :D

    Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.