Tulisan KOMPAS menyoal eksistensi Lokalisasi Gang Dolly di Surabaya (Minggu, 20 April 2008) membuat saya berpikir banyak tentang hal-hal yang menyangkut bisnis esek-esek ini. Tak hanya berpikir tapi justru benak ikut merefleksikan ke belakang, ke setiap kota yang pernah kukunjungi dan kutinggali, dan ternyata di semua tempat itu selalu ada praktek bisnis prostitusi meski tak semuanya memiliki lokalisasi.
Pernah suatu waktu saya sedang ada keperluan ke sebuah kota yang terletak di luar Pulau Jawa. Setelah beberapa hari tinggal di sana, sabtu malam pun tiba.
Lalu menjelang sore hari, seorang teman menelpon saya.
“Hallo Pak Donny!”
“Hallo juga, Pak…”
“Ada acara Pak, malam minggu ini?”
“Wah ndak ada. Saya malah mau berkemas-kemas barang untuk saya mangsukkan ke koper, Pak”
“Oh… tak tertarik untuk mencari selimut, Pak?”
“Oh, selimut apa yah?”
“Halah, Pak. Selimut yang bisa kentut. Hehehe, Bapak ini gimana sih! Ayo jangan malu-malu nanti saya temani!”
“Oh… itu maksudnya! Memangnya di sini ada?”
“Ada dong, Pak!”
Saya pun bengong dan bergumam “Lha kok di tempat seterpencil ini pun yang namanya bisnis esek-esek itu kok ya ada ya?!?”
Atau pada waktu saya sedang jalan-jalan ke kota B yang juga terletak di luar Pulau Jawa. Di sana, Ibu teman yang saya kunjungi pun berujar begini,
“Mas Donny, sudah keliling kemana saja?”
“Wah… belum kemana-mana, Bu! Paling cuma ke situ, ke situ trus ke mall dan kemarin ke tempat wisata!”
“Ohhhh, baguslah kalau begitu.”
“Lha kenapa bagus, Bu?”
“Hmmm nganu.. maksud saya, Mas Donny jangan mau kalau diajak main ke daerah anu.”
“Oh.. kenapa Bu? Ada apa di anu?”
“Hmmmm, hati-hati.. di sana banyak pelacurnya, Mas!”
“Oh, lokalisasi maksud Ibu. Memangnya di sini ada juga?”
“Ya Ibu pengennya juga nggak ada, tapi ternyata memang ada, Mas!”
Lalu wajah si Ibu pun berangsur lega mengetahui saya tidak diajak anaknya ke tempat anu itu tadi.
Ya! Itulah prostitusi dan lokalisasi.
Saya bahkan sampai bertanya-tanya di dalam hati, kira-kira ada nggak ya, suatu tempat di dunia ini yang tidak ada prostitusinya sama sekali?
Seorang kawan beberapa waktu lalu dalam obrolan di angkringan langganan saya pernah berujar bahwa di sebuah negara praktek prostitusi dilarang dan lokalisasi ditiadakan.
Tapi saya tak percaya! Karena itu kan cuma larangan dan aturan, bagaimana pula dengan kenyataan di lapangan?
Sesempit apapun kesempatan dan seketat apapun peraturannya, saya percaya bahwa prostitusi ini tidak akan pernah mati benar-benar.
Menurut saya, prostitusi adalah satu dari sekian banyak masalah yang sangat sulit untuk dibasmi selama kehidupan ini masih berjalan.
Seperti halnya korupsi yang akan terus ada selama ada ketamakan dan kesempatan, begitu pula saya percaya bahwa ketika ada orang yang masih membutuhkan pelampiasan syahwatnya secara liar dan ketika ada rasa ketidakpuasan dan ketidaksetiaan terhadap satu pasangan saja, maka disitulah prostitusi akan selalu ada.
Ada banyak pendapat para ahli yang berujar bahwa prostitusi akan mati dengan sendirinya ketika tingkat ekonomi meninggi sehingga tidak ada orang yang mau menjadi pelacur lagi.
Tapi saya agak skeptis dengan pendapat tersebut. Sungguh teramat sangat skeptis. Bagi saya, semangkin tinggi tingkat ekonomi suatu negara atau wilayah tertentu justru semakin tinggi pula selera seseorang untuk menentukan dengan pelacur yang berkualitas setinggi apa mereka berhubungan. Alhasil, bukannya prostitusi yang menghilang, malah tingkat hidup para pelacur akan semangkin tinggi seiring meningginya tingkat ekonomi negara ataupun daerah tersebut.
Oleh karena itu yang menjadi pertanyaan saya selanjutnya adalah, untuk apa kita berpusing-pusing ria memikirkan bagaimana mematikan akar prostitusi itu?
Terlebih dengan besarnya ketergantungan dan keuntungan ekonomis bagi warga sekitar lokalisasi yang mau tak mau harus mengakui ikut “termajukan” gara-gara prostitusi seperti Gang Dolly misalnya?
Menurut hemat saya, usaha maksimal untuk menghentikan prostitusi adalah dengan tidak menggunakan jasa para pelacur itu.
Bentengi diri dengan iman serta moral, bukan melulu dengan agama sebab terkadang dengan benteng agama kita justru bisa lebih kejam dan tidak bermartabat ketimbang apa yang telah dilakukan oleh para pelacur dan pelanggannya itu sendiri.
Mulailah membangun keluarga dengan tata moral yang bagus terutama bagi anak. Ketika si anak semangkin besar, sodorkanlah kenyataan bahwa hubungan intim itu harus didasari cinta serta sakral. Jangan malah membikin kenyang si anak dengan aturan-aturan yang menakutkan yang seakan menyembunyikan kenyataan yang sudah ada di luar sana.
Bagi bapaknya anak-anak, ya ini yang rada susah Bu! Tapi percaya dan kesetiaan yang telah ibu tanamkan selama ini dengan beliau niscaya lebih manjur untuk membuat suami ibu berpikir berulang-ulang kali untuk memakai jasa pelacur ketimbang gembok yang harus dipasang di celana dalamnya. Percayalah, semangkin ia dikekang, semangkin besar pula nafsu untuk melepaskan secara paksa kekangan tersebut.
Atau yang terakhir, yang sukses saya terapkan dalam kehidupan saya sehingga… ah saya sungguh bersyukur karena sampai saat ini belum pernah berhubungan badan dengan pelacur, berpikirlah ekonomis!
Jangan mau rugi! Ngapain kita capek-capek untuk sebuah kenimatan sesaat?
Rugi besarrrr, tau!
Gambar diambil dari sini.
Setahuku bisnis pelacuran adalah sebuah bisnis yg ada dan berjalan sepanjang masa, bahkan bisa di bilang termasuk salah satu usaha bisnis yg paling tua. *CMIIW*
Betul Don.. mari kita mulai dari diri kita sendiri.
Eh aku agak bingung dengan kata kata terakhir “Ngapain kita mesti membayar sesuatu yang sebenarnya nikmatnya dirasakan oleh dua orang yaitu kita dan pelacur itu sendiri?”
bagaimana jika tidak bayar? atau bagaimana jika itu dilakukan oleh suami istri (dua orang juga kan). Tolong perjelas maksut dua orang itu, apakah sebaiknya kenikmatan itu hanya dirasakan oleh satu orang saja / self service? huhauahaua *PISSSS*
@Ray: ya maksudnya, ngapain kita mesti ke pelacuran dan mbayar dia kalau dia pun juga merasakan nikmat yang kita berikan? Hehehehe
Kalau suami istri ya lain cerita dong!
Self service? halah!!!!
jadi apa mesti conditional responses,..kalau neng puas juga ya abang nggak usah bayar yeee…
@Iman: Nggak conditional Mas.. atau setidaknya conditional optionnya bukan pada enak dan tidaknya, tapi yang ada adalah enak, lumayan enak dan enak banget :)
Dari sisi itulah saya berani bilang, setidak enak-tidak enaknya apa yang dirasakan si pelacur, pasti ENAK!
Hahahaha
Waduh, reaksinya kok malah soal enak atau tidak enak… Hihihi!
Mas, siapa bilang itu hanya enak, lumayan enak dan enak banget? Kalau berdasarkan pemaksaan, itu mimpi buruk. Termasuk istri yang “terpaksa” melayani suaminya. Banyak pekerja seksual komersial yang menjalani pekerjaan itu karena “terjerat” perdagangan manusia. Mohon bisa lebih “seimbang” dalam menilai sesuatu. Minta maaf kalau ada kata-kata yang menyinggung.
@Yulia: Wah! Betul!
Saya kilaf tampaknya.
Penilaian saya sangat subyektif hanya menilik dari sisi “pria”
Maafkan saya, Mbak Yulia…
OM btw sebelum mbahas di atas kok ada tulisan welcome to my website dude btwsaya bukan dude herlino meskipun banyak orang yang ngomong kayak gitu hye2 narsis. ok deh pa mereka it ngak takut asod tau dah ama mereka enak makan n minum dari uang kayak gitu. btw aq belum pernah begonoon aq jadi ngak tau rasanya maaf klo itungak bisa njelasin. yah mudah2an tempa begonooan mulai berkurang tapi yang saya bingung menrut penerawangan saya klo tempat begonooan ngak ada apa yang bakal terjadi misal seperti klo rantai makanan ada yang hilang apa yang akan terjadi tolong di jawab. tapi yang jelas klo ngak ada alhamdulilah
ingin menyewa sebuah pelacur yang hot……
ada tuh di penyewaan mobil!
LENGKAPI DENGAN IMAN DAN TAGWA.APAPUN ALASANNYA ITU ADALAH DOSA.SEUMUR HIDUP MANUSIA TIDAK AKAN LEPAS DARI HUKUM DOSA.HANYA PERTOBATANLAH YANG DAPAT MENAHAN NAFSU KENIKMATAN SESAAT.HIDUP ADALAH PILIHAN.