Pramoedya, Dua Tahun Sudah

30 Apr 2008 | Aku

Karet Bivak - Pemakaman Pramoedya Ananta Toer
Satu-satunya kelemahan waktu, menurut saya adalah karena dia tak bisa berjalan sedikit lebih lambat barang semenit pun.
30 April 2006 sepertinya baru kemarin tapi ternyata sudah cukup lampau.
Waktu itu saya datang ke Karet Bivak untuk hadir pada pemakaman Pramoedya Ananta Toer di Jakarta.
Siang yang begitu terik dan Jakarta yang macet seperti biasanya. Waktu itu seharusnya kupakai bersama teman-teman anggota milist Membaca Pramoedya untuk bertemu dengannya,
tapi apa daya, rencana yang sudah lumayan lama kami susun itu pun hancur berantakan karena Pak Pram keburu meninggal.
Padahal saya sudah membawa empat buku serial tetralogi Buru untuk dimintakan tanda tangan padanya.
Padahal saya sudah bermimpi untuk bisa berfoto bersama dengan Sang Maestro dan bertukar kata meski mungkin hanya beberapa saja.
Mau bagaimana lagi! Yang bisa maksimal saya dapatkan serta lakukan hanyalah meletakkan buku-buku itu di atas pusara penciptanya dan membiarkan basah serta merahnya tanah
menempel pada beberapa bagian kertas buku tersebut serta melihat tali kafan yang mengikat kepalanya sesaat sebelum jasadnya dimasukkan ke dalam kubur.
Hanya itu, itu saja! Tak lebih!

Tapi semenjak saat itu, kecintaan saya terhadap karya-karya Pram justru tidak semangkin surut.
Saya malah mempetikan beberapa buku karya penulis lain dan mendisplay buku-buku Pram dalam rak buku mungil saya.
Saya semakin gila untuk membaca dan mengkoleksi karya-karyanya. Dari buku yang paling susah dicari hingga yang paling mudah, semua tak luput dari incaran saya.
Puji Tuhan, dari sekitar 53 buku Pak Pram yang pernah diterbitkan, tinggal 2 buku lagi yang belum saya dapatkan yang sepertinya memang akan sangat susah untuk mencarinya
yaitu Gulat di Jakarta (1953) serta Sepuluh Kepala NICA (1947). (Kalau ada yang punya dan berniat merelakan untuk saya beli, silakan menghubungi saya lho!)

Semua itu saya dapat dari perjuangan saya yang memang tidak mudah.
Saya harus berjuang melalui milist-milist penjual buku, toko buku-toko buku unik di setiap kota yang saya kunjungi, juga lewat kenalan-kenalan yang tahu bahwa saya adalah
seorang yang cukup menggilai Pram sehingga mereka pun rela untuk mencarikannya bagi saya.
Tak jarang dari perjuangan itu saya dikemplang dengan harga mahal, tapi apalah arti sebuah harga kalau nilai intrinsik yang terunsur di dalamnya lebih besar dari rupiah?
So, hajar aja bleh!

Pernah ada yang tanya kenapa saya bisa mendadak freak terhadap Pramoedya padahal sebelumnya saya hanya menghamba pada Annie Arrow, Nick Carter dan jajaran stensilan yang
sok seksi dan sensual itu?

Ada juga yang bertanya “Don, loe lebih suka mana, karya-karya Pram atau Pram nya itu sendiri?”
Lalu saya bilang, bagaimana mungkin saya bisa mencintai manusia tanpa mencintai Tuhannya?
Bagaimana mungkin saya mencintai anaknya tanpa menghormati ayah dan ibunya yang jadi mertua saya?
Jadi, bagaimana mungkin saya bisa mencintai karya-karyanya tapi tidak kagum pada Pramoedya?
Dan saya kagum pada sisi kemanusiaan yang selalu muncul menjadi sesuatu yang mainstream di dalam setiap karyanya!
Tentang perjuangan orang-orang di Banten Selatan, tentang Midah yang harus berjuang untuk anak haramnya dan kelangsungan hidupnya,
Gadis Pantai yang harus berlaku keras terhadap tradisi untuk lepas dari tirani rumah tangganya sendiri, hingga tentang Mingke, si monkey, di tetraloginya!

Gelombang pembelian buku, demikian saya menyebutnya, akhirnya berakhir sekitar satu tahun yang lampau. Alasan saya simple, buku-buku Pram semangkin susah ditemukan di
pasar. Akan tetapi beberapa minggu kemarin pada akhirnya saya menemukan lagi sebuah buku baru yang memang bukan karya Pram akan tetapi berisi tentang interview bersamanya.
Judulnya Saya Ingin Lihat Semua Ini Berakhir, Esai dan Wawancara dengan Pramoedya Ananta Toer karya Agust Hans den Boef dan Kees Snoek, saya menemukannya di
Gramedia – Ambarrukmo Plaza.

Buku Interview Pram
Secara isi, saya nilai biasa saja karena praktis tidak ada hal baru yang menurut saya ditemukan di dalam interview yang diadakan pada masa keemasan Orde Baru, 1991.
Interview berjalan seperti interview-interview lain yang kerap saya baca. Kalau ndak soal bagaimana proses kreatif tetralogi Buru ya soal keterlibatannya dalam gerakan
komunise dan ide-ide marxisme yang dijawab oleh Pram dengan berkata “Komunisme? … Saya tidak pernah mempelajari ajaran Marx jadi saya tidak betul kenal Marx
itu. Saya dalam pandangan saya hanya berpihak pada yang adil, benar dan berperikemanusiaan.”
(halaman 135).

Setelah membaca buku yang tergolong mungil itu, beberapa hari sesudahnya, dari milist Membaca Pramoedya, saya menemukan satu buku yang sudah sangat langka
dan edisi lama dari Pram yaitu Orang-Orang Baru dari Banten, Bagian Penerbitan Lekra, 1959 (saduran ke dalam bentuk Drama oleh Dahlia dari novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan).
Saya tak pernah menyangka bisa mendapatkannya dalam waktu-waktu ini karena memang konsentrasi saya untuk mencari buku Pram sudah sedemikian surutnya.
Kebetulan seorang teman lama, penjual buku antik, mem-posting di sana dan gotcha!!! Dengan mudah saya pun melakukan deal “harga istimewa spesial diskon” dengannya.
Ya sudah, kuanggap dua buku itu tadi adalah berkah menyambut peringatan dua tahun kepulangan Pramoedya Ananta Toer.

Donny Verdian - Windy Utari - Daniel Mahendra
Sampai di sini tulisan saya… eh sebentar ada yang ketinggalan.
Ketimbang ada yang ngamuk dan bilang “Kok nggak nulist tentang gw dan DM?”
atau ada yang protes bilang “Mana! Katanya mau nulis tentang aku dan Kendi?”
Baiklah saya tambahkan di sini bahwa berkah yang juga tak bisa dikatakan remeh temeh dalam “kedekatan” saya dengan dunia Pram adalah, apalagi kalau bukan dua
sahabat gokil saya Daniel Mahendra dan Windy Utari!

Daniel adalah orang dalam Pram, moderator milist Membaca Pramoedya sekaligus editor beberapa buku Pram yang juga pernah satu tim dengan saya dalam
pementasan Nyai Ontosoroh beberapa waktu lalu,
sementara Windy adalah anggota milist, orang yang saya jemput bersama Fatma (anggota milist pula) di Stasiun Cikini pada satu siang tepat dua tahun yang lalu untuk kemudian bersama-sama menuju ke Karet
Bivak, melihat Pram untuk yang pertama dan terakhir kalinya.

Windy dan Daniel, sekali lagi, ini untuk kalian dan utamanya untuk Pak Pram!

Sebarluaskan!

6 Komentar

  1. adduuuh don….ga nyangka euy….segitu ngefansnya sama gw….hehehe ga ding…. ternyata 2 taun aja ya don….tp makasi utk Pram yg sdh memberikan gw 2 manusia yg ga penting ini di dlm kehidupan yg berat ini….Tuhan memberkati.Amiiin.

    Balas
  2. @Windy:
    Busyet!! Gw ngefans ama loe? Itu lebih nggak penting Ndi ahahahaha!

    Btw, cara loe ngomong “Tuhan Memberkati” udah semangkin jago dan licin ajah hahaha.

    Tuhan memberkati juga, Ndi

    Balas
  3. Ya ampun, Don, kami nggak nyangka: sebegitu besar apresiasimu terhadap kami. Jadi terharu nih… Kami tau, kamu memang mengidolakan kami! ;))

    Balas
  4. 2 th tak terasa.. rasanya baru kemarin sore berita duka itu terdengar.

    btw dalam 2 th kenanganb.. kurang 2 buku juga koleksimu. moga th berikutnya tidak sama banyaknya. n semoga ada yg rela melego atau sekedar berbagi buku denganmu :D

    Balas
  5. Tahun ke-3, Donny terpaksa menjual semua koleksinya. Hihihi…

    Balas
  6. wah selamat ya. koleksinya banyak. boleh ndak tahu daftar koleksinya. saya juga punya, baru 30-an judul

    Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.