Pluto

30 Okt 2014 | Cetusan

blog_pluto

Aku dan Pluto, satu masa pada dekade lalu

Hal yang akan selalu kuingat dari perkenalanku dengan Pluto pada 2002 silam adalah, gara-gara dia, aku berhenti total untuk menikmati daging anjing, padahal sebelumnya, aku adalah penikmat tongseng daging anjing yang taat.

Pluto adalah nama anjing pertama yang jadi peliharaan keluarga orang tuaku. Ia hadiah dari kawan sekolah Chitra, adikku, dibawa ke rumahku di Klaten pada September 2002. Ketika itu aku belum menikah, tinggal dan bekerja di Jogja.

Ia anjing ber-ras campuran.
Aku tak tahu pasti darah jenis apa saja yang mengalir dalam Pluto. Pemberinya bilang dia adalah seekor teckel yang ada campuran golden retrievernya.?Tapi sebenarnya aku tak percaya. Secara logika, aku tak bisa membayangkan bagaimana seekor golden retriver jantan yang tinggi besar mengawini seekor teckel betina yang pendek nan mungil? Bagaimana posisi senggamanya? Selonjoran? Saling tindih?

Karena ia adalah anjing pertama, Pluto sempat membuat kami kebingungan pada awalnya.

Kebingungan pertama lebih tepatnya adalah kekhawatiran. Kami khawatir Pluto lari keluar halaman ataupun dicuri orang. Pengalaman bergaul dengan para penjual masakan daging anjing yang kerap mendapatkan ?stock? dari para pencuri anjing, membuatku paranoid kalau-kalau hal itu terjadi pada Pluto; ia dicuri lalu disembelih dan dagingnya dijual.

Kekhawatiran itu lantas melahirkan keputusan kontroversial, merantai leher Pluto untuk memastikan ia aman-aman saja.

Yang kedua soal makanan.
Kami bingung, apa makanan yang paling tepat untuknya. Karena begitu sayang, kami akhirnya memilih membelikan makanan anjing kalengan yang dijual di supermarket meski keadaan ekonomi orang tuaku waktu itu pas-pasan dan kadang harga per kemasan makanan Pluto pun lebih mahal dari hidangan sayur-mayur yang kami santap di meja makan.

Namun hal itu tak berlangsung lama. Dengan alasan harga yang kian mahal, Mama memilih memasakkan makanan untuk Pluto. Tapi, apapun yang Pluto makan, satu hal yang kami hindari adalah tulang ayam karena itu tak baik dan membahayakan untuk perncernaannya.

Di luar itu semua, kami sangat menikmati suasana rumah yang berubah setelah kehadiran Pluto.

Pluto tumbuh besar meski tinggi badannya segitu-segitu saja, tak sampai 40 sentimeter. Kekuatannya untuk melepaskan diri dari rantai yang membelenggu lehernya tak tertahankan lagi dan hal itu membuat kami akhirnya memutuskan untuk melepaskan rantainya.
Tapi meski demikian, beberapa hari sebelumnya, aku menyuruh tetanggaku untuk memasang beberapa lembar seng di tepian halaman untuk memastikan ia tak bisa meloloskan diri keluar.

Tapi keputusan untuk melepaskannya dari rantai itu ternyata sudah terlambat karena Pluto sudah terlanjur memiliki watak yang beringas. Orang bilang itu akibat beberapa bulan lamanya ia dirantai, dibelenggu.

Ia ganas, gemar menyerang lalu menggigit. Hal ini ternyata lantas mempengaruhi interaksi keluargaku dengan tetangga kampung.

Sebelum ada Pluto, rumah dan halamanku selalu terbuka untuk tetangga yang hendak berkunjung. Tapi setelah ada Pluto, pintu gerbang selalu kami tutup. Selain takut ia meloloskan diri atau dicuri, para tetangga pun juga nggak punya nyali untuk masuk dan menyerahkan betis-betis legamnya itu digigit Pluto.

Makin hari keberingasan Pluto kian menjadi.?Tak hanya tetangga, Mama, Papa dan Chitra pun beberapa kali digigitnya. Jika ia terinjak atau tersenggol saat hatinya sedang ?galau? ia melakukan semua itu seolah ia tak ingat siapa yang merawat dan memberinya makan.

Tapi aku, aku tidak pernah digigit olehnya. Mau tau kenapa? Aku tahu kelemahan Pluto.

Seganas-ganasnya dia, Pluto sangat takut pada hal-hal sepele seperti sapu, kemoceng dan yang paling menggelikan adalah, ia akan lari terbirit-birit ketika melihat payung!

Jadi kalau tiba-tiba dia hendak menyerangku, aku tinggal sodorkan payung ke arahnya dan ia akan terbirit-birit lari menuju kolong bawah kursi tempat Papaku biasa duduk dan menikmati koran dan kopinya.

Adapun Papa dulu memang sangat dekat dengan Pluto. Ia jadi tempat berlindung dari segala ancaman yang sebenarnya menggelikan seperti payung tadi. Saking dekatnya, Papa memanggil Pluto dengan sebutan ?Le? sama seperti ia memanggilku. ?Le? dalam bahasa Jawa adalah kependekan dari Thole, panggilan kesayangan untuk anak lelaki.

Semakin kemari, kami tak berhenti memutar otak untuk mencari cara menundukkan Pluto.

Orang bilang ia harus dikebiri supaya tak beringas. Ide itu pernah hampir kami jalankan. Setelah memperhitungkan biaya kami mengundang dokter untuk datang ke rumah untuk melihat kondisi Pluto terlebih dahulu.

Dokter datang.
Tapi ia hanya bertengger agak jauh dari Pluto sambil mengamati beberapa saat. Kami lalu memberikan estimasi harga dan ia menjelaskan bagaimana proses pengebirian akan berlangsung. Tapi sesudahnya ia tak pernah kembali lagi. Kami mahfum, ia manusia normal yang sama seperti kami, takut akan keberingasan Pluto.

Kami pernah pula mendatangkan ?istri? baginya sampai dua kali karena berpikir bahwa kalau syahwat Pluto dilampiaskan, hilanglah keberingasannya.

Istri pertamanya adalah Prita, seekor anjing ras campur yang kuperoleh cuma-cuma dari Ronal, kawan baikku.

Sayang Prita yang disayangi Pluto itu tak berumur panjang. Ia mati kena serangan cacing pita dan Pluto yang sempat agak ?cool? itupun kembali menduda, kembali beringas, ganas!

Tak lama berselang setelah Prita, kami datangkan Ellen.

Ellen adalah sosok istri yang gemulai nan cantik. Tekel berbulu panjang dan bermata biru. Ia memikat hati Pluto dan dengan cekatan mampu menjinakkan perangai beringas Pluto.

Pada beberapa kesempatan ketika tamu datang misalnya, Pluto yang hendak menyerang seperti diperingatkan Ellen melalui gonggongan dan hal itu membuat Pluto berbalik arah, mendekati Ellen dan duduk tenang di sampingnya.

Tapi sayang, Ellen sama seperti Prita, tak berumur terlalu panjang. Ia divonis kanker payudara dan kami harus kehilangannya saat dokter-dokter sedang mengupayakan sebuah operasi. Tulisan tentang kepergian Ellen pernah pula kutuliskan di sini.

 

Pluto dan Ellen, 2007

Kehilangan Ellen bagi Pluto adalah kehilangan yang ketiga setelah Prita pada awalnya lalu Papaku yang meninggal mendadak pada 2011 silam.

Adikku melukiskan bagaimana ia kehilangan Ellen demikian

?Reaksi Pluto waktu kukasi tahu kalau Ellen udah pergi sama kayak reaksi Pluto ketika kukasih tahu kalau Papa meninggal, tahun 2011 yang lalu, Mas. Dia melengos lalu berjalan menjauh dariku pelan-pelan, ke dapur, duduk terpaku, membelakangi kami.. lama.. lamaaa banget!?

Uniknya, kepergian Ellen membuat perangai Pluto berubah. Ia tetap menggonggong, tapi tak lagi menyerang.

Desember 2013 lalu, waktu aku pulang ke Klaten untuk keperluan merayakan 1000 hari meninggalnya Papa, kulihat ia memang jauh berbeda.

Bulunya tak lagi coklat keemasan tapi menggelap. Gonggongannya masih sama garangnya, gigi taringnya masih sering ditampakkan tapi matanya mulai sayu dan keriput wajahnya tampak di sana-sini, Pluto memang telah menua, untuk ukuran anjing, 12 tahun itu tak bisa dibilang muda tak juga setengah baya.

Namu tak sekalipun Pluto menampakkan tanda-tanda sakit meski ia telah tua.?Bahkan waktu aku juga harus kehilangan Simba, anjing peliharaanku di sini, Oktober 2013 dan pernah juga kutulis di sini, pikiranku tertuju pada Pluto, bagaimana jika ia nanti sakit tua lalu mati.

Aku berpikir, siapa yang mengantarkan Pluto ke dokter jika tak seorang pun berani mengangkatnya. Akan sakit apakah Pluto sebelum ia mati nanti?

Tapi ternyata Pluto tak memerlukan dokter barang sebijipun hingga akhir hayatnya, sakitnya pun bukan sesuatu yang datang sejak lama, persis seperti Papaku yang adalah juga ?papa? nya.

Seminggu yang lalu, Chitra mengabarkan ia batuk-batuk dan sesak nafas. Belum sempat adikku berpikir untuk mengambil tindakan, dua hari lalu Pluto pergi untuk selamanya setelah sebelumnya mendapatkan serangan batuk hebat dan diakhiri dengan muntah darah. Adikku menengarai ada yang secara tak sengaja memberinya tulang ayam, hal yang sangat kami hindari sejak hari pertama kami memeluk Pluto.

Aku sedih kehilangan Pluto, tapi belajar banyak dari apa yang terjadi pada Simba tahun lalu, aku mengikhlaskannya.

Aku percaya Pluto pergi pada saat yang teramat sangat tepat.
Dua belas tahun adalah waktu yang lebih dari cukup untuknya diperhatikan secara luar biasa di luar perangainya yang temperamental itu sementara bulan depan, Chitra akan melahirkan anak pertamanya.

Pluto seolah tahu bahwa jika ia masih ada, ia akan menjadi PR besar bagi Mbak Chitra, begitu cara Mama dan Papaku memanggil Chitra di hadapan Pluto dulu, karena di sisi lain, selain mengurus anaknya, ia juga harus mengurus Mamaku yang sakit keras dan Eyangku yang sudah mulai pikun menjelang usia yang ke 83 tahun.

?Aku seolah menginginkan Pluto mati, Mas?? tukas Chitra sedih.
?Beberapa hari belakangan ini aku memang berpikir bagaimana aku bisa mendapatkan baby sitter kalau mereka takut pada Pluto padahal kebutuhan untuk itu (baby sitter -red) semakin mendesak??

Ah, tiba-tiba aku membayangkan suasana sebuah warung kopi. Kita duduk-duduk di sana, menikmati bercangkir-cangkir kopi.

Setiap usai mencecap hingga tandas ke permukaan gelas, tak lama kemudian kita selalu meminta pesan tambahan untuk bercangkir-cangkir kopi yang baru karena kita tak mau terusir dari tempat yang menyenangkan itu.

Hingga akhirnya uang kita pun habis dan kita tak sanggup membeli yang baru lagi. Lalu kita memilih pergi cepat-cepat sebelum sang pramusaji datang dan bertanya ketus, ?Apakah mau pesen lagi? Kalau enggak.. maaf tapi sudah banyak yang mengantri untuk duduk di sini!?

Itulah Pluto, ia sosok yang tahu diri.

Pluto dimakamkan secara sederhana di tanah pinggir sungai dekat rumahku. Secara jasad ia mungkin telah rusak dan membusuk ketika semua ini kutuliskan, tapi secara jiwa, ia telah tenang kembali ke surga, longgar bercengkrama dengan Prita dan Ellen, istri-istrinya yang telah mendahuluinya.

Bisa jadi ia juga sedang asyik tiduran di bawah kursi Papa yang di sana pun kubayangkan sedang duduk-duduk membaca koran dan menyeruput kopi di sebuah pagi yang teduh sementara di rumah sebelah, suara Simba menyalak sedang asyik bermain-main dengan almarhum Papa mertuaku. Sesekali mereka bertemu dan bercengkrama di perempatan jalan salah satu distrik di surga, Papaku, Papa Mertuaku, Simba, Pluto, Ellen dan Prita.

Mereka semua damai dan abadi di surga…

Sebarluaskan!

4 Komentar

  1. Mas Don sayang banget ya sama hewan peliharaannya, sampai sampai semua dikisahkan juga di blog. Aku ngga suka anjing, tapi sukanya kucing. Tapi belakangan ngga lagi pelihara karena kalau mati aku bakal ngga tega…

    Balas
    • Benar, Mbak Tina.
      Saya memang menyayangi mereka semua semata karena mereka sama halnya dengan banyak manusia lainnya, memberi makna pada beberapa sisi hidup yang pernah saya jalani…

      Hidup hanya sekali

      Balas
  2. Ikut berduka ya Don. Our first dog shared a same name, Pluto :). Bedanya, Pluto diadopsi mama waktu dia masih umur 3 bulan, sementara saya umur 2 thn. We grew up together. She’s the only sister I had at that time :).

    Pluto pasti udah senang di rainbow bridge.

    Balas
    • Pengalaman menarik bersama binatang peliharaan selalu menumbuhkan rasa cinta dan peduli yang menarik ya :)

      Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.