Pindahan rumah itu selalu menghadirkan mixed feeling.
Klaten – Kebumen, 1984
Pindahan rumah pertama kali tahun 1984 ketika Mama dan aku (Chitra belum lahir) yang semula tinggal di Klaten di rumah Eyang pindah ke Kebumen, kota di mana Papa bekerja di sebuah bank plat merah.
Aku lupa tanggal pindahannya tapi sepertinya sekitar Maret atau April karena seingatku waktu itu aku dan kawan-kawan sedang mempersiapkan acara perpisahan TK (saat itu aku ada di TK Nol Besar) dan waktu kawan-kawan mulai mengisi formulir untuk SD lanjutan, aku tidak ikut mengisinya.
Waktu pindahan, Papa menyewa mobil yang membawa barang-barang bawaan dan tentu kami bertiga beserta sopir.
Kami berangkat sore hari dari rumah dan Mama berderai air mata memeluk Eyang memohon restu sementara Papa diam di belakangnya. Aku waktu pamitan ke Mas Kokok dan Mbak Yo (Om Yohanes Widyatmaka dan Tante Yohana Widiyatmi -adik-adik Mama) yang waktu itu masih SMP menitipkan mobil-mobilan kecil, “Titip untuk Agus Cilik yo Mas Kokok…” Agus Cilik adalah kawan akrabku sejak kecil dan setiap hari selalu datang ke rumah untuk bermain mobil-mobilan koleksiku.
Sepanjang perjalanan aku tidur di ketiak Mama lalu terbangun ketika hari sudah gelap dan aku tanya, “Ma, wes tekan ngendi?” Lalu Papa yang menyahut, “Prembun, Le. Diluk meneh tekan…”
Kami tiba di rumah Jalan Bengawan No. 32 Kauman Kebumen sekitar jam 11 malam. Benar-benar bukan waktu yang tepat untuk pindah, kan?
Jl Bengawan No. 32 ke Jl Kaswari No. 24, 1990
Enam tahun tinggal di rumah kontrakan Jl Bengawan No. 32, Papa membangun rumah baru di Jl Kaswari No. 24 Kebumen.
Kalau tidak salah, kami pindahan di bulan yang sama juga dengan kepindahan dari Klaten ke Kebumen enam tahun sebelumnya, kalau nggak Maret ya April, pas bertepatan dengan habisnya kontrak tahunan rumah.
Aku lupa adakah rasa lain selain bahagia waktu itu karena selain punya rumah baru, kawan-kawanku pun juga baru dan posisi rumah yang lebih maju ‘ke arah kota’.
Kebumen – Klaten, 1998
Papa dipensiunkan secara dini di Februari 1997 dan setelah berusaha mempertahankan rumah, kami akhirnya harus menerima kenyataan, menjual rumah Kaswari untuk modal melanjutkan hidup lalu pindah kembali ke Klaten.
Rumah yang tadinya begitu kami bangga-banggakan baik dari sisi bentuk, tata letak dan terutama bagaimana perjuangan Papa untuk membangunnya itu harus kami lepaskan.
Waktu pindahan, kalau nggak salah Oktober 1998, aku sudah kuliah di Jogja. Pagi-pagi buta aku pulang ke Kebumen untuk ikut pindahan. Rumah yang begitu indah itu kosong-melompong karena perabotan sudah dimasukkan ke dalam truk. Lampu-lampu dengan bentuk yang indah diringkus semua digantikan bolam kecil.
Papa menyapa waktu aku datang, “Kenapa kamu baru pulang pagi ini? Kupikir kamu pulang semalam karena semalam aku, mama dan adikmu tidur di kasur bawah prihatin mau pindahan sekaligus nostalgia…”
Aku tertunduk lesu.
Aku memang tidak jantan untuk merasakan keprihatinan itu dan justru karena tahu perasaannya akan sangat tidak mengenakkan makanya aku memilih melewatkannya dan datang pagi-pagi benar di hari kepindahan.
Sekitar jam 10 pagi, teman-teman dekat Papa dan Mama mulai berdatangan. Mereka ikut bantu angkat-angkat barang yang belum dimasukkan. Sekitar jam 1 siang setelah makan, dengan suara bergetar, Papa berdiri lalu bilang, “Wis, ayo mangkat…Kami pamit ya teman-teman…”
Tangis kamipun pecah.
Hatiku hancur runtuh…
Dinding-dinding depan rumah kuciumi dan kuusapi mulai dari garasi, jendela kamar hingga ke pilar dekat pintu utama rumah. Aku lalu sujud mencium tanah pekarangan depan dengan tangis yang tak kunjung usai.
Mobil yang disetiri Papa pun berangkat melaju ke arah timur. Papa bilang, “Jangan menoleh ke belakang!” Kami melakukan apa yang ia minta. Sepanjang perjalanan dari Kebumen hingga Jogja kami semua terdiam, yang muncul hanya suara isak beberapa.
Baru ketika hendak masuk Jogja Papa bilang, “Mampir makan yuk. Aku rodo luwe…” Kami mampir di sate kambing Rewulu sebelah barat Jogja dan ketika kami duduk berhadapan, baru kami sadar betapa duka itu terlalu dalam hingga menyembabkan mata…
Sesampainya di Klaten, sekitar jam 6 sore, kami disambut oleh orang yang sama yang empat belas tahun sebelumnya melepas kepergian kami ke Kebumen, Eyang Putri Pranyoto.
Indonesia – Australia, 2008
Kepindahanku ke Australia pada 31 Oktober 2008 adalah kepindahanku setelah menikah. Setelah berpamitan dengan Papa dan Chitra serta Eyang seminggu sebelumnya di Klaten, siang itu aku dan Joyce diantar Mama dan Mbak In (Tante In – adik Mama), keduanya sudah almarhumah ke Bandara Soekarno Hatta, Cengkareng. Di depan pintu keberangkatan, setelah cium tangan Mama dan Mbak In, mereka berdua membubuhkan tanda salib ke dahiku lalu aku berpamitan.
Sesampainya di Australia, aku hanya perlu waktu tiga hari untuk menyesuaikan dan meski rasanya cukup mudah untuk tidak terlalu melibatkan perasaan, aku ingat banget ada satu titik dan hanya sekali itu, dimana aku jatuh dalam tangis dan rindu yang teramat dalam.
Waktu itu hari ketiga, sekitar jam 5 sore, setelah Joyce pulang kerja kami berdua minum teh di pekarangan belakang rumah menemani Simba, anjing kami, untuk kencing dan bermain-main sebentar di atas rumput.
Karena Australia itu sepi aku bahkan bisa mendengar suara burung yang saling bercuit dan tiba-tiba ada suara sepeda motor dari kejauhan. Badanku langsung lemas merasakan kesepian yang sangat padahal sesore itu kalau di Jogja sedang ramai-ramainya dengan puluhan, ratusan bahkan ribuan sepeda motor, tukang bakso yang saling beradu menjajakan penthol dan masih banyak lagi!
Castle Hill – North Epping, 2010
Setelah dua tahun tinggal di sebuah rumah di Castle Hill kami pindah ke North Epping, April 2010. Karena baru dua tahun, aku tak terlalu merasakan perasaan yang ‘gimana-gimana’ terlebih karena waktu sedang persiapan pindahan, Odilia, anak pertamaku yang lahir Februari 2010 atau sekitar dua bulan sebelum pindahan, waktu itu harus dirawat di rumah sakit karena satu dan lain hal. Pikiranku dan Joyce waktu itu benar-benar terfokus pada kesehatan Odilia.
*

Pindahan rumah itu selalu menghadirkan mixed feeling. Seperti yang kurasakan malam ini saat tulisan ini kurawi. Malam terakhir di rumah North Epping karena besok kami akan pindah ke rumah baru yang Desember tahun lalu selesai dibangun dan sebulan belakangan kami persiapkan…
North Epping, 23 Januari 2022, 11:02pm
0 Komentar