Pikiran Allah dan pikiran manusia

16 Okt 2018 | Kabar Baik

Yesus menghardik Petrus secara keras, ?Enyahlah Iblis, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia.” (lih. Markus 8:33)

Apa salah Petrus?

Niatnya baik! Dia tak mau Guru yang dikasihinya itu menderita, ditolak para imam, tua-tua dan ahli-ahli Taurat hingga akhirnya dibunuh seperti yang Ia katakan tentang apa yang akan terjadi terhadap diriNya sendiri. Kenapa malah dihardik sedemikian kerasnya?

Kuncinya ada pada ?pikiran Allah? dan ?pikiran manusia?. Petrus atau iblis yang ada di dalamnya menggunakan apa yang dipikirkan manusia bukan Allah.

Nah, supaya tak dihardik seperti Petrus, dalam hidup di dunia ini pun kita harus bertindak berdasarkan apa yang dipikirkan Allah.

Tapi bagaimana mengenali pikiran Allah sementara kita ini manusia?

Tentu tak mudah untuk menjawabnya karena pikiran Tuhan itu tak terselami dan kita begitu kecil di hadapanNya. Kuncinya hanya satu, kita harus menyerahkan seluruh hidup kita untuk mau mengenalNya. Tanpa usaha untuk mengenaliNya, kita tak akan mampu untuk tahu sekelumit apa yang jadi pikiran Tuhan, bukan? Sama lah kalau kita pacaran, gimana kita bisa kenal dengan sang pacar kalau apel? dan ngobrol aja jarang, kan?

Dalam contohnya, perkara mengenali pikiran Allah dan pikiran manusia itu barangkali sesuai dengan apa yang hendak kuceritakan di bawah ini.

Seorang pria setengah baya yang tinggal di Indonesia mengalami sakit kritis. Saking kritisnya, hidup si pria harus ditopang oleh ventilator/life support di sebuah kamar ICU yang tidak murah pembiayaan hariannya. Sementara istrinya tidak bekerja dan anaknya masih kecil-kecil serta memerlukan biaya yang tak sedikit untuk sekolah dan beraktivitas sehari-hari.

Untuk membiayai sang suami, istri mulai menjual aset-aset yang dimilikinya, rumah, apartemen, mobil, perhiasan bahkan tabungan yang tadinya diperuntukkan bagi anak-anak saat kuliah pun mulai terambil sedikit demi sedikit.

Oleh orang tua dan mertuanya, si istri disarankan untuk ?merelakan? sang suami dengan mencabut atau mematikan ventilator/life support yang menempel di tubuhnya. ?Toh sudah tak ada harapan! Kamu perlu melanjutkan hidup dan bukankah kasihan juga suamimu, kemungkinan untuk kembali hidup normal sudah? tidak ada..?

Tapi si istri tetap ngotot mempertahankan sang suami. Baginya mematikan ventilator adalah sama dengan membunuh suaminya.

Sekian lama dua ?pikiran? itu bertahan hingga akhirnya sang istri menyerah. Dengan berat hati, ia menuruti kemauan orang tua dan mertuanya itu. Seperti yang mudah ditebak, tak lama setelah dimatikan ventilatornya, matilah juga hidup suaminya?

Menurut kalian, adakah yang dilakukan istri itu benar atau salah? Adakah yang ia lakukan merupakan buah pikiran Allah atau pikiran manusia??

Jika mematikan ventilator adalah pikiran Allah, bukankah Allah menghendaki kematian itu datang secara alami dan oleh kehendakNya sendiri, bukan di tangan dan kuasa kita?

Tapi jika tak mematikan ventilator itu adalah pikiranNya, bukankah diri sang istri dan anak-anak adalah juga anugerah kehidupan yang harus dilanjutkan dan harus dihidupi sebaik-baiknya?

Bagaimana menurut kalian?

Sembari memikirkan jawabannya, marilah memohon supaya Tuhan membukakan mata hati kita untuk bisa lebih peka terhadap pikiranNya dan supaya Ia menaruh pikiran-pikiranNya dalam pikiran kita juga.

Sydney, 16 Oktober 2018

Jangan lupa isi?Survey Kabar Baik 2018. Hasil isian kalian dalam survey tersebut sangat mempengaruhi bagaimana pola tulisan dan distribusi renungan Kabar Baik ini akan berkelanjutan.?Klik di sini?untuk informasi selengkapnya!

Sebarluaskan!

0 Komentar

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.