Bagaimana caramu mencari arah ketika sedang dalam perjalanan menuju suatu tempat yang kamu belum pernah datangi? Atau katakanlah pernah sesekali datang tapi lantas karena keterbatasan memori otak maka kamu lupa arah tepat untuk menuju ke sana lagi?
Ancer-ancer
Bahasa Indonesianya, “kira-kira”, tapi karena kurang sreg aku memilih pake kata ‘ancer-ancer’.
“Ancer-ancer’ menurutku adalah metode yang paling alami dan tidak melibatkan alat kecuali otak dan hati kita.
“Ah, sepertinya belok sini!”
“Eh, harusnya sih ke kanan tapi feelingku bilang ini lurus dulu, abis tanjakan baru ke kanan!”
“Kata si Wati, tempatnya tuh arah jam sebelas dari Kantor Pos… tapi mana kantor posnya ya?”
Peta
Peta adalah temuan ajaib karena ia adalah lukisan denah, tempat dimana kita sedang berada. Hebat kan manusia? Kita?
Dengan melihat dan memanfaatkan peta, kita seperti diajak untuk out of the box sejenak dan melihat dunia sekitaran dari perspektif sebagai ‘seseorang yang tak ada di sana’ namun bisa melihat semuanya dalam lingkup peta itu sendiri.
Banyak orang masih menggunakan peta untuk menentukan arah. Di Australia sini, peta jalan-jalan selalu diupdate setiap periode beberapa tahun sekali mengingat perubahan yang juga selalu terjadi dalam kurun waktu itu. Peta untuk konsumsi umum diedarkan dalam bentuk buku tebal dan biasa ada di kantong jok mobil-mobil pibadi di sini.
Sentuhanku dengan peta yang paling berkesan adalah perjalananku bersama Papa (alm), Mama dan Citra tahun 1995 dulu ke Bali lewat jalur darat. Kami sama-sama tak tahu arah dan baru pertama kalinya pergi ke arah sana menggunakan mobil. Tapi untung ada peta! Dengan menggunakannya, kami tak kesasar (kalaupun kesasar ya tak terlalu jauh) dan selamat sampai tujuan dengan tepat waktu! (Potongan kisah tentang penggunaan peta dan ‘perselisihanku’ dengan Papa (alm) kulukiskan di dalam tulisanku yang dibukukan di DearPapa Project #6. Udah punya bukunya? Kalau belum klik di sini untuk membeli ya!)
GPS
GPS atau Global Positioning System. Entah di Indonesia, tapi di Australia, GPS seperti menjadi peralatan wajib bagi kendaraan-kendaraan pribadi dan taxi. Alat yang dulunya hanya digunakan untuk kepentingan militer dan pemerintahan serta penerbangan dan navigasi kapal ini sekarang sudah menjadi layaknya ‘kacang goreng’ saja, bebas diperjualbelikan.
Kuncinya adalah keterbukaan. Keterbukaan bagi kita untuk mau ‘dimata-matai’ dan dipetakan lalu dipandu oleh satelit yang ada di jarak beberapa puluh kilometer jauhnya dari daratan bumi. Kita tinggal menentukan alamat di panel GPS dan dia langsung mengukur jarak dari posisi kita saat ini termasuk menuntun kita perlahan-lahan dari panel dengan sapaan-sapaan mekanis seperti:
“Turn right”
“Bear left”
“On the next round about, second exit”
Lalu tiba-tiba kita sampai di tempat tujuan! Simple, kan? Mejik, kan?
* * *
Lalu bagaimana cara orang mencari arah dalam hidup terkait dengan takdir yang sering disebut telah digariskan oleh Sang Maha Segalanya bahkan sebelum kita ada? Sama halnya dengan orang mencari arah ke satu tujuan, maka kita sering menyerahkan jalan hidup kita kepada Tuhan melalui komando-komando yang kita pikir berasal dariNya.
Ancer-ancer
Ini yang paling mudah dan kerap diterjemahkan sebagai, “Ikuti kata hati!” kata orang bijak. Tapi sekaligus ini juga yang paling susah karena semua serba absurd untuk mengejar sesuatu yang lebih absurd lagi!
Beberapa waktu lalu, pada sebuah pagi salah seorang temanku tiba-tiba datang ke mejaku dan berujar “Don, aku ada email tentang kesaksian neraka dan surga!”
“Oh, kok bisa?”
“Iya, aku dikirimi temenku dan temenku dapat dari temennya lagi.”
“Oh!”
“Ternyata surga itu menyenangkan dan neraka itu panas banget”
“Oh!”
“Kamu percaya?”
“Hmm… kamu?”
“Percaya… hatiku berujar demikian, Don!” mukanya menghiba-hiba seolah mengharap hatiku sewarna dan senada dengan miliknya.
Peta
Orang berpikir maka agama dan aturan itupun ada.
“Eh, salah Don! Agama itu pewahyuan bukan hasil pemikiran!”
Eh, ok kalau begitu, kuulang ya, rephrased! Orang berpikir tentang wahyu, maka agama dan aturan itupun ada :) *Plakkk! ditampol FPA (Front Pembela Agama)
Lalu masalahnya adalah peta mana… agama mana yang akan kamu pakai karena setiap peta, seperti halnya kecap, selalu diaku sebagai yang terbaik, terjitu dan terlengkap oleh pembuatnya dan pemakai-pemakainya. Padahal kalau mau dirunut-runut kacang sih harusnya sama saja karena bagaimana mungkin berbeda kalau obyek yang dilukisnya itu sama meski dengan cara dan jalan yang berbeda.
Yang satu mengajarkan ke Bali dari Surabaya lewat jalur Gempol – Pasuruan – Situbondo yang landai dan ada di tepi pantai sementara yang satu lagi mengajarkan lewat Malang lalu belok ke kiri ke arah Jember dan Glenmore melalui lika-liku perbukitan yang menyejukkan. Perkara akhirnya ada yang nrabas jurang lalu tak selamat sampai di Bali, atau ada yang naasnya pas lewat jalur pantai lalu ada tsunami dan kamu terseret ombak sehingga tak sampai di Bali… ya itu beda perkara! Ya tho?!
Eh, ada juga lho yang mengajarkan cara lain, “Dari Surabaya kamu ke Djuanda lalu terbang ke Singapore, ambil pesawat Singapore Airlines terpagi untuk langsung tujuan ke Denpasar, Bali!”
“Oh, kalau gitu soal adu cepat dong?!”
Iya betul, tapi kata si kura-kura yang terkenal lambat itu kan, “Cepat atau lambat yang penting selamat, Sob!”
GPS
Nah, ini yang paling nggak ‘asik’! Orang membuang peta dan menafikan “ancer-ancer” dalam mencari arah hidup dan menganggap GPS adalah yang tercanggih. Padahal peta juga dipake dalam GPS dan ancer-ancer adalah pemutus arah yang tertinggi meski si suara digital yang menyembul dari GPS itu teriak-teriak “turn right” kalau di kanan ada jurang mosok ya kita belok ke kanan beneran?
Parahnya lagi, orang menganggap “aku mendengar suara Tuhan” melalui ‘GPS’ hidupnya! Seolah-olah Tuhan hanya mengarahkan corong belalaiNya ke telinganya dan lain tidak! Kalaupun arah yang ditunjuk pada akhirnya tidak merujuk sesuai peta, pun kita bisa bilang “Petanya yang salah, perlu diupdate!”
Tapi lantas bagaimana kalau dalam satu kendaraan masing-masing penumpang lalu mengeluarkan GPS yang berlainan satu dengan yang lain? Si supir ngotot dengan GPS yang ada di dashboard mobilnya, si nyonya besar lebih percaya pada GPS yang built-in dengan gadget mahalnya dan si anak yang duduk di belakang juga tak kalah teguhnya untuk percaya pada GPS di tablet PC yang baru dibelinya itu?
Mereka lantas beradu argumen dan mengklaim seolah-olah suara Tuhan hanya milik mereka, sementara sopir semakin kebingungan dan akhirnya ia memilih menginjak rem, berhenti lalu menyita semua GPS yang dipegang nyonya besar dan si anak yang di belakang seraya mengancam untuk membenarkan GPSnya saja. “Saya yang nyetir! Kalau nggak mau nurut silakan keluar!”
Credit photo, here
wis jelas buatku.. Peta / GPS-ku itu sing omong “Akulah Jalan, Kebenaran dan Hidup”, dak perlu ancer2 lagi..
cieeee.. keren ya! hihihihihihi…
Hahahahaaa…
Saat sudah tiba di tujuan, kita baru bisa bilang bahwa jalan yang kita tempuh (entah via ancer2, peta, gps) adalah yang terbaik. Tapi, mungkin juga kita bisa putar arah dan lalu mencoba cara lain yang dianjurkan oleh teman misalnya, agar kita tahu yang mana yang terbaik. Bukan begitu? Tergantung mana sukanya saja.
ah saya suka postingan ini mas don… maknyus, klo sudah gini jadi percaya siapa dong ya? seperti tanda akhir jaman ya.. semua orang bingung yang mana yang harus di percaya.. :D
Paragraf yang terakhir itu lho.Om, yang bagiku menarik. Karena masih begitu seringnya kita jumpai diri kita sendiri atau orang lain yang selalu memahami bahwa yang ada pada kta/nya adalah yang paling benar. Padahal, itu bukankah keberanan personal, yang tidak dapat diperlakukan bagi semua. Kalau dipaksakan memang jadinya bertengkar, tak ada dami. Jadi, saya akhirnya mengamini komentar Ren. hiks.
Salam kekerabatan.
Ada yang salah, Om, dalam komen saya. Pemakaian tanda baca yang tidak tepat. Yang tepat adalah di belakang kata “lho”, bukan titik, tetapi koma. Trims, Om.
dalam menulis teliti, ternyata ketika berkomentar pun teliti… saya seneng gaya pak sungkowo
Banyak jalan menuju surga… begitukah?
Saya suka peng-analogi-an ini, hehe
Saya biasanya mengibaratkan agama seperti hal-nya kendaraan yang kita gunakan untuk mencapai suatu tujuan. Ada kendaraan yang besar dan kuat serta banyak penumpangnya, ada yang penumpangnya sedikit. Ada kendaraan yang produksi lama dan ada yang baru dan canggih. Tapi semuanya punya hak untuk menggunakan jalan raya untuk mencapai tujuan. Kendaraan yang lebih besar seharusnya tetap menghormati kendaraan kecil.
Ahh Donny…..suka sekali…
Tulisanmu dari sekedar peta …tapi sebetulnya peta kehidupan untuk menuju kemana.
Sebaiknya kita punya road map…arah tujuan kita, dan jujur aja, sebelum memutuskan menikah, saya dan suami layaknya dua orang teman diskusi tentang apa tujuan kita menikah, mau seperti apa kehidupan kita nanti, apa prioritasnya, bagaimana cara mendidik anak, bagaimana pembagian tugas/peran suami isteri dsb nya. Ruwet, namun saya memahami alur pikirannya, emosinya, dan membuat mudah karena saya tahu kemana arah pernikahan kami nanti akan menuju.
Saya pernah menulis, bukan tentang petunjuk arah (yang jelas saya dan suami punya road map ini), tapi tentang deret kehidupan di http://edratna.wordpress.com/2007/05/10/deret-kehidupan-seperti-apakah. Dan, walau kita punya tujuan, berjuang untuk mencapainya, tapi saya percaya…”diujung usaha ada nasib”…jadi selalu berdoa semoga Tuhan memberikan perkenan Nya atas usaha kita.
hehe, mengocok perut pak, sekalian bikin mikir muter2… duh2,,, puyeng2… pake GPS aja ah… hehe.
Kalo gue Don.. slalu telpon orang yang tau daerah situ dan minta dipandu :D
peta? Gue gak mudeng..
GPS? Gak pernah nyaman pakenya..
Ancer2.. keblusuk seringnya
jadi memang paling aman tanya lsg ama org di daerah situ hehehe
kebetulan saya jarang bepergian jauh, mas don, sehingga jarang pegang peta, hehe ….
Biasanya Salesma Jalan Kemana Saja Pakai Feeling…Pakai Peta …Kesuwen…
Biar lebih enak, bawa peta dan gps aja.
Hehehe…
ikut kura2 aja dah…biar dikata lambat, kelinci aja kalah lomba lari sama dia….heee…itu cerita dongeng yang disuka anakku …
tulisan ini butuh pendalaman yang seksama ada makna spritual yang di sisipkan dan di maksudkan ……tabik
ancer-ancer, peta, maupun gps punya deviasi nyasar 50:50
karena sering nyasar, aku lama-lama jadi orang yang cukup tenang untuk terus nyari jalan yang benar sampe ketemu dan sampai tujuan walaupun itu meletihkan. itu juga jadi analogi untuk ‘petunjuk arah-Nya’. tidak mudah mengerti petunjuk-Nya dan seringkali nyasar walaupun sudah banyak metode untuk mengerti panduan, tapi ternyata sampai tujuan juga selama kita gak menyerah, gigih untuk mengimani bila ada ‘tujuan yang indah’ di akhir jalan.