Banyak kawanku di sini bilang salah satu keuntungan hidup di negara multikultural seperti Australia adalah tersedianya banyak pilihan makanan yang dijual di restaurant.
Sydney, sebagai kota terbesar di Australia, tempatku tinggal otomatis juga menjadi pusat dari segala keragaman makanan yang terpapar jelas melalui banyaknya restaurant-restaurant yang tersebar di seantero kota.
Kalian mau makan apa?
Masakan ala bule Eropa tinggal pilih yang versi mana, Jerman, Perancis, Italia atau Yunani? Masakan china tersedia dari yang berciri khas china utara, china selatan dan taiwan.
Masakan timur tengah, India, korea, jepang, thai tersebar dimana-mana dan eits, jangan lupa, restaurant khas Indonesia pun mudah ditemukan dengan macam-macam model masakannya mulai padang, china peranakan dan masakan asli Indonesia seperti gudeg dan soto misalnya.
Tapi sayangnya aku bukanlah tipe orang yang suka mencoba-coba aneka jenis makanan yang belum pernah kucoba sebelumnya.
Aku perlu banyak referensi dari orang-orang dekatku terutama istriku tentang bagaimana rasa makanan yang belum pernah kumakan. Kalau sudah mampu meyakinkan hati dan hati mampu jujur kepada lidah, aku baru berani mencobanya.
Hal ini sebenarnya bukan sesuatu yang baru bagiku. Bahkan sejak tinggal di Jogja, makanan yang kupilih dan restaurant/warung yang kudatangi ya itu-itu saja.
Aku mungkin tipe orang kolot yang makin susah ditemui di jaman ini yang menganggap bahwa makan itu bukanlah sesuatu yang bisa dicoba-coba dari sisi kenikmatannya. Makan bagiku harus bisa dinikmati, menyenangkan dan mengenyangkan.
Aku tak bisa menganggap kegiatan santap makan sebagai sesuatu yang, ?Wah, ternyata nggak enak! Ya udah nggak papa besok nggak ke sini lagi deh!? OK, kalian nggak puas dan nggak ke sana lagi besok, tapi kehilangan kesempatan menikmati makanan yang harusnya kamu nikmati barusan bagiku adalah persoalan kecuali memang kamu mendapatkan kenikmatan justru dari mencoba-coba makanan itu tadi.
Sebaliknya, mungkin bagi mereka, makanan yang kumakan dan restaurant yang kudatangi adalah monoton, itu-itu saja.
Tapi kalau aku datang ke restaurant atas pilihan kawan dan baru pertama kali kudatangi, ini yang menarik untuk kuulas di sini.
Jika restaurantnya adalah restaurant khas Asia timur dan Asia tenggara, nasi goreng (fried rice) plus telor dan daging (bisa beef, ayam, babi ataupun seafood) ada di pilihan pertama.?Kalau tak ada nasi goreng, aku toh doyan mie juga. Beres!
Bagaimana dengan restaurant penyedia makanan ala Italia? Aku ?berpegang teguh? pada risotto, nasi Italia.
Kalau ke restaurant yang menjual beraneka macam jenis makanan, misalnya foodcourt, aku akan memilih fish and chips atau steak berukuran sedang dimasak secara medium-rare dan semangkuk saus BBQ.
Kalau tetap tak ada juga, meski jarang, aku akan memilih menghadapi secangkir flat white ataupun latte yang tebal lapisan susunya untuk mengganjal lapar sambil bilang ?Oh, sorry aku masih kenyang!? atau ?Duh, sorry aku baruuu saja makan!?
?Ya kalo gitu ambil dessert apa kek? Cake atau ice cream?!?
Sayangnya aku sangat membenci makanan bercita rasa manis dan selalu menghindari aneka macam es.
Lalu biasanya sepulang dari sana, aku mampir ke McDonald dan memesan burger kesukaan sebagai ?penebusan? dari rasa lapar yang kutahan.
Hidup ini rawan, Kawan!
Cukuplah menjadi purnawirawan petualang cinta, dan tak tertarik sama sekali untuk memetualangkan diri dalam kancah makanan demi kehidupan yang lebih menenangkan.
hahaha. Hidup itu petualangan kawan!
Cobalah, jadilah pioneer, terutama untuk makanan. Aku akan mencoba semua makanan yang edible dan dimasak (aku tidak mau mencoba makan ulat atau kepompong hidup misalnya), sebagai satu petualangan. Dan ya mungkin 90% dari percobaan itu gagal untuk masuk dalam daftar makananku, tapi at least sudah pernah coba. Karena aku tidak mau mengandalkan lidah orang lain untukku :D Banyak masakan yang dikatakan orang lain enak, tapi menurutku tidak enak.
(Pasti kamu belum pernah coba daging kangguru ya? Aku pengen sekali coba loh. Waltu ke Melb cari tapi tidak ketemu :( )
Aku pernah makan daging kangguru dan rasanya yuuuurkkk :))) Serat dagingnya terlalu lembut dan waktu itu diolah terlalu manis…
Kamu boleh percaya boleh tidak, tapi misal kita punya kesempatan ketemu lagi di Jakarta, taruhan aku pasti ngajak kamu ke sup buntut lagi ya karena alasan aku bukan culinary adventurer ini hahaha :))
Dulu aku bukan petualang dalam soal makanan, tapi sejak menikah, aku jadi ikut-ikutan suamiku dalam berpetualang makanan. Tapi aku tidak seberani dia sih, walaupun kalau dibandingkan dengan diriku yang dulu pasti sudah beda. Ternyata asyik juga lo berpetualang dalam rasa makanan. ;)
Hehehehe, thanks but no thanks kalau untuk berpetualang begitu, Menik :)
ya.. karena saya bukan semacam petualang cinta, maka tak ada salahnya mencoba petualangan boga lah.. :D
frase keduanya aku setuju, frase pertamanya itu semacam self denial sih :)
Kayaknya ada kemiripan dikit, Mbah. Aku tuh kalau sudah suka sama tempat makan di suatu tempat, pasti balik lagi ke situ. Apalagi soal angkringan, Angkringan Fatmawati satu-satunya angkringan yang aku singgahi di Jakarta. Kebacut kroso enake..
Kita di barisan yang sama Mas.
Kalau sendirian, aku akan makan di tempat makan yang aku sudah nyaman. Kalaupun nyoba di tempat makan baru, pasti dengan banyak perhitungan :))
Tapi kalau makan bareng-bareng, biasanya ngikut aja mau makan apa dan di mana. Ujung-ujungnya ya pesen nasi goreng :D
Hehehehe.. nasi goreng memang dewa penyelamat :)