Pesta Nama St John De Britto: beranjak dari kandang dan nama besar

4 Feb 2021 | Cetusan

Tadi pagi, sebenarnya aku kaget karena telat sadar bahwa hari ini adalah Hari Pesta Nama Santo John De Britto. Tapi yang kemudian lebih bikin kaget, karena di hadapanku muncul sesosok manusia yang berlutut tak jauh dari tempat aku berada.

John De Britto a.k.a Arul Anandar

Tubuhnya penuh luka, darah bersimbah memerah. Paras wajahnya seperti Nuno Buttencort, gitaris Extreme berdarah Portugal yang kesohor itu. Ya ganteng dan bikin cewek termehek-mehek meski memar tampak di sana-sini.

“Sa…. sapa kowe?” tanyaku kepadanya.

“Arul, Dab!” jawabnya singkat.

“Arul? Arul… vokalis Power Metal Surabaya? Lha tak kiro kowe ki Nuno jhe!” jawabku.

“Arul Anandar, Dab!…. John De Britto!” jawabnya lantang. Dari sorot matanya terpancar nyala obor emas itu!

“Woh..eh, gek ngapa jhe, Bro?” tanyaku salah tingkah.

Arul Anandar alias John De Britto tak menjawab. Ia hanya melirik ke atas memberiku kode. Sesosok legam tinggi besar dengan pedang berkilauan menatapku tanpa ekspresi. “Buruan kalau mau ngobrol! Gw kasih  lima menit! Nggak lebih!” sergahnya tajam.

de britto menerima murid wanita

Sejauh mana kamu sudah berani beranjak dari kandang?

John tak menanggapi, apalagi aku! John memberi kode supaya aku mendekat. Ia membisikkan beberapa hal, tiba-tiba tangan yang kuat mencengkeram dan menarik bahuku hingga aku terlempar ke belakang . Seiring dengan itu, …mak bresss! Pedang yang tajam tadi pun bagaikan kilat memisahkan kepala Arul dari tubuhnya.

Dalam bisik-bisiknya tadi John bertanya kepadaku, “Dab, sejauh mana kamu sudah berani beranjak dari kandang?”

Atas pertanyaan yang begitu sederhana itu, aku merenunginya.

John De Britto anak perwira tinggi Portugal. Hidupnya kubayangkan nyaman karena bahkan kawan mainnya waktu kecil adalah Don Pedro. Kalian tahu? Don Pedro II adalah orang yang lantas diangkat menjadi Raja Portugal!

Hanya sarana, bukan tujuan

Bayangkan! Jika mau, John bisa jadi pejabat tinggi kerajaan, hidup mewah dan bergelimang harta! Tapi ia tidak mau seperti itu. John menganggap posisinya sebagai anak perwira dan teman calon raja adalah dan hanyalah sarana!

Sarana untuknya belajar mengenal lingkungan bahwa ada daerah namanya Jepang dan India. Bahwa ada yang namanya misi pelayanan. Hingga akhirnya John pun memutuskan pergi ke India, kawasan yang waktu itu terbilang rawan yang oleh Sang Ibu, John sebenarnya dilarang untuk menuju.

berkat sarana itu juga John mau mendengarkan suara Tuhan karena itulah tujuannya. Menanggapi panggilan, mempertobatkan begitu banyak orang di India hingga ditangkap, dianiaya dan dihukum mati dengan cara dipenggal kepalanya.

Sebagai seorang alumni SMA Kolese De Britto Yogyakarta, pagi ini aku diajak berkaca oleh pertanyaan John di atas.

Jika mau, hidup ini bisa kuhentikan hanya dengan terus-menerus mengenang kebanggaan sebagai alumni De Britto saja! Karena jadi alumni dari institusi yang berdiri sejak 1948 itu memang penuh dengan buaian.

Hidup di bawah bayang-bayang nama besar?

Ya nama besarnya, ya karakter murid yang unik serta nyentriknya dan ya… banyak alumni yang ‘jadi orang’. 

Bukankah semua itu bisa jadi litani yang nyaman untuk diperdengarkan dan diceritakan dengan bibir berbuih?

Tapi aku tak mau hidup di bawah bayang-bayang. Sebagaimana John De Britto yang berani lepas dari bayang-bayang nama besar ayah dan kawan dekatnya, aku juga tertantang untuk lepas bebas dari nama besar almamater dan alumni yang jadi orang.

Toh yang besar sekolahku! 

Toh yang ‘jadi orang’ juga alumni yang lainnya yang belum tentu mengenalku (kecuali aku mau sok kenal dan sok dekat dengan alasan, “Halo, Dab! Aku DV! Kita sama-sama manuk JB!”)

Hidup harus diberdayakan dan sialnya pembuktian seberapa berdayanya hidup  kadang muncul justru setelah seberapa jauh melangkah dari sumber daya!

Hidup harus diteruskan demi tujuan utama; memuliakan nama Allah melalui berbagai macam sarana hidup termasuk menjadi siswa De Britto. Demi itu pula kematian John yang kita peringati hari ini pun jadi tak sia-sia.

Oh ya hampir kelupaan satu hal. Selain pertanyaan di atas, John juga bertanya satu hal lain. Pertanyaan itu terlontar sebelum pedang sampai ke lehernya dan sebelum aku dijengkangkan ke belakang. 

John De Britto dan MPK

Mau tahu pertanyaannya? “Desember tahun iki ana MPK ra?”

Karena aku tak sempat menjawab tadi, biarlah kulempar jawabannya di sini. “Mbuh, John! Kudune sida lha wong panitiane ki angkatan paling jos-gandos sak sekolah jhe, Bro! Angkatan 96!”

Santo John De Britto, doakanlah kami!

Donny Verdian,
Alumni SMA Kolese De Britto Yogyakarta angkatan tahun 1996.

Sebarluaskan!

4 Komentar

  1. Semua berawal dari sarana ini >> “Dab, sejauh mana kamu sudah berani beranjak dari kandang?”

    Balas
  2. Nyentrik memang alumnine… bersyukur sing lulus soko sekolah iki.

    Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.