Permen karet

10 Okt 2013 | Cetusan

Seminggu yang lalu, aku menemukan permen karet hijau muda di lubang toilet pria. Kubayangkan seorang membuangnya ke situ setelah sekian lama dikunyah di mulutnya.

Awalnya kubiarkan saja. Pikiranku sama dengan pikiran kebanyakan kalian, barangkali, ?Apalah gunanya kalian digaji, wahai petugas kebersihan, kalau untuk mengangkat permen karet seperti itu saja tak bisa dan tak mau?? betulin ritsleting, cuci tangan lalu pergi keluar toilet…

Dua hari berlalu, aku datang ke toilet yang sama dan? permen karet itu masih ada. Warnanya semakin pudar, mungkin karena terlalu sering terkena gelontoran air kencing. Sekali lagi kudiamkan ia; dalam hati umpatanku kian keras ke tukang bersih-bersih yang tak becus mengangkat permen karet.

Sepuluh menit berlalu, pikiranku tentang permen karet itu tak berhenti berkecamuk di kepala. Aku kembali ke toilet, mengambil tissue beberapa lembar lalu menjepit permen karet itu, memasukkannya ke dalam tempat sampah lalu cuci tangan dan? selesai!

kita merasa bahwa diri ini luar biasa karena hal baik yang kita lakukan, sejatinya kita belum menjadi orang yang benar-benar baik?

Kalau aku tak berpendidikan dan tak lagi berbudaya apalagi beragama, perbuatanku itu mungkin baik, boleh juga diembel-embeli mulia, tapi sejatinya itu bukan yang terbaik karena pengetahuanku bahwa sebenarnya masih ada hal lain yang bisa kulakukan selain menunggu dua hari sebelum permen karet itu pada akhirnya kubuang.

Setiap saat kita ditantang untuk menjadi lebih baik dari yang sebelumnya pernah kita lakukan.?Sekali kita berbuat baik, di waktu yang akan datang kita harus jadikan itu sebagai standard untuk melakukan yang lebih baik lagi. Demikian terus-menerus hendaknya terjadi sehingga ketika kita melakukan sesuatu yang barangkali membuat decak kagum orang, kita benar-benar merasa bahwa orang itu berlebihan karena bagi kita itu adalah hal biasa? biasa baiknya karena biasa kita lakukan.

Jadi ukurannya makin mudah sebenarnya karena ketika kita merasa bahwa diri ini luar biasa karena hal baik yang kita lakukan, sejatinya kita belum menjadi orang yang benar-benar baik?

Ayo ke toilet, siapa tahu ada permen karet nyempil di sana dan mari berlatih untuk melakukan kebaikan mulai dari situ…

Sebarluaskan!

4 Komentar

  1. Duh permen karet…
    Mungkin petugas kebersihan hanya mengguyur saja…
    Dan karena lengket, susah juga masuknya

    Dari sisi agama,
    Semoga amal ibadah DV dicatat Tuhan……

    Dari sisi kemanusiaan,
    Jika semua orang kayak DV, betapa bersihnya toilet di sekitar kita.

    Balas
  2. Hal yang mungkin sepele, tapi kalau bisa dilakukan, rasanya luar biasa.

    Balas
  3. kesadaran diri akan lingkungan, atau sense of belonging terhadap tempat itu amat berpengaruh ya…..
    Jika WC itu milikmu di rumahmu, pasti kamu lakukan. Tapi kalau di tempat umum, di kotamu….belum tentu.
    Untung di Jepang hal itu masih terjaga

    Balas
    • Kamu jangan gegabah memastikan, Mel hahahaha ada.. banyak malah orang yang nggak peduli dengan WC milik sendiri di rumah karena ada pembantu yang siap mengerjakannya :)

      Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.